Sasuga merasakan suhu udara yang berubah drastis seiring wanita itu melangkah mendekat. Tanpa sepatah kata pun, ruangan di sekitarnya mulai berputar, mengubah bentuk, membelokkan ruang dan waktu dengan cara yang tak dapat dijelaskan. Rasanya seperti berada di pusat semesta, di tempat di mana semua dimensi bertemu dan berpisah. Dalam ketenangan yang mencekam, Sasuga tahu bahwa ini bukan sekadar pertarungan fisik. Ini adalah ujian dari dalam dirinya sendiri.
Wanita itu berdiri di hadapannya, dengan pandangan yang penuh kebijaksanaan, namun tak terhindarkan pula ada ketegangan yang mendorong Sasuga untuk bersiap. Matanya yang cerah seolah menembus kedalaman jiwanya, menggali setiap lapisan kekuatannya, setiap kegelapan yang pernah terkubur dalam dirinya.
"Untuk menjalani takdirmu, Sasuga," wanita itu mulai berbicara, "kau harus memahami bahwa kekuatan yang kau miliki bukan hanya tentang pertempuran, tetapi juga tentang pengendalian dan pemahaman. Jika kau hanya berfokus pada kekuatan luar, maka kau akan kehilangan arah dan tujuan."
Sasuga menggenggam erat tangan, merasakan aliran energi baru dalam dirinya. "Apa yang harus kulakukan untuk lulus ujian ini?" tanyanya, matanya menunjukkan tekad yang dalam. Ia sudah cukup merasakan beban dari kekuatan yang ia miliki. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ia merasa seperti berada di ambang peralihan besar dalam hidupnya.
Wanita itu mengangkat tangannya dengan lembut, dan seketika, ruang di sekitar mereka berubah. Sasuga mendapati dirinya berdiri di tengah sebuah hutan yang gelap, dengan pohon-pohon raksasa yang tampak seolah menutup langit. Suasana yang mencekam dan sunyi, hanya suara angin yang terdengar. Tetapi itu bukan hutan biasa. Setiap langkah yang ia ambil, tanah di bawah kakinya bergetar seolah menghitung detik yang berlalu.
"Kau harus menemukan jalan keluar dari tempat ini," wanita itu berkata, suaranya bergema dalam keheningan. "Namun, untuk melakukannya, kau harus menghadapi tiga tantangan—masing-masing mewakili aspek dalam dirimu yang paling dalam: keberanian, pengorbanan, dan pengendalian."
Sasuga menatap sekeliling, merasa berat di dada. Hutan ini seolah hidup, dengan setiap pohon seakan berbisik padanya, membawa kenangan dan keraguan yang telah lama terkubur. Tanpa banyak bicara, ia mulai melangkah, mengingat apa yang harus dihadapi.
Tantangan pertama: Keberanian.
Di tengah hutan, sebuah suara misterius mengalun, menyebut namanya dengan nada yang menantang. "Sasuga... Jika kau benar-benar berani, tunjukkan dirimu yang sejati. Bukan Sasuga yang terikat pada kekuatan, tetapi Sasuga yang berani menghadapi ketakutannya."
Seketika, bayangan-bayangan gelap muncul di hadapan Sasuga, seolah menggambarkan segala hal yang pernah ia takuti. Masa lalunya yang kelam, ketidakmampuannya dalam menjaga orang yang ia cintai, dan beban dari kekuatan yang ia bawa. Setiap bayangan itu terasa nyata, setiap ketakutan tampak seperti ancaman yang akan menghancurkannya.
"Sasuga!" teriak Luna dari bayang-bayang tersebut. "Apakah kau siap mengorbankan aku juga demi dunia ini?"
Sasuga terhenti, matanya terbuka lebar. Bayangan Luna itu berbicara dengan nada yang penuh kebimbangan, seolah meragukan kemampuannya. "Apakah kau benar-benar siap untuk menjadi siapa yang kau takuti?"
Keringat dingin mengalir di dahi Sasuga, dan untuk sesaat, ia merasa dunia seakan runtuh. Namun, ia mengingat apa yang telah ia lewati, dan seiring dengan kedalaman rasa takut itu, ia juga merasakan sebuah kekuatan yang bangkit dalam dirinya. "Aku bukan orang yang takut pada masa laluku," bisiknya pada diri sendiri. "Aku adalah Sasuga. Aku akan menghadapi ini. Apa pun yang datang."
Dengan satu langkah, ia menghadap bayang-bayang itu dan menghilangkannya. Keberanian, meskipun berakar dari ketakutan, telah menguasai dirinya.
Tantangan kedua: Pengorbanan.
Saat bayangan itu menghilang, hutan di sekitar Sasuga mulai bertransformasi. Suasana menjadi suram, dan di depannya, muncul sebuah gerbang yang terbuat dari energi yang berkilauan. Di balik gerbang itu, ia melihat Luna, berdiri dengan wajah yang penuh dengan keraguan.
"Luna!" Sasuga berteriak, berlari mendekat.
Namun, sebelum ia mencapai gerbang itu, sebuah suara yang dalam dan menggema terdengar, "Untuk melangkah lebih jauh, Sasuga, kau harus memilih—apakah kau rela mengorbankan segala yang kau cintai untuk mengalahkan ancaman yang ada?"
Sasuga berhenti sejenak, hatinya berdebar kencang. Di balik gerbang itu, Luna menatapnya dengan tatapan yang penuh harapan. Tetapi, suara itu terus mengulang, "Jika kau ingin menyelamatkan dunia, kau harus mengorbankan yang terpenting bagi dirimu."
Hati Sasuga terasa terombang-ambing. Ia tahu bahwa ia tidak bisa kehilangan Luna—ia adalah segalanya baginya. Tetapi, suara itu tidak berhenti. "Apa artinya dunia jika kau kehilangan orang yang kau cintai?"
Setelah beberapa saat yang terasa seperti berabad-abad, Sasuga akhirnya menatap Luna, dengan air mata yang mengalir di wajahnya. "Aku siap mengorbankan apapun untuk dunia ini, namun aku akan tetap menyayangimu," katanya, berbicara lebih pada dirinya sendiri. "Aku tidak bisa membiarkan ketakutan mengendalikan pilihanku."
Dengan itu, gerbang itu terbuka. Pengorbanan bukan berarti kehilangan, tetapi lebih kepada menerima bahwa ia bisa terus mencintai tanpa harus mengorbankan jiwanya.
Tantangan ketiga: Pengendalian.
Ketika Sasuga melewati gerbang itu, ia mendapati dirinya berada di tepi jurang yang dalam. Di seberang sana, ada kristal yang berkilauan, yang memancarkan energi yang sangat kuat. Namun, angin yang keras dan gelombang energi yang menggila menghalangi jalannya. Setiap langkah terasa seperti ia hampir terjatuh ke dalam jurang yang tak terhingga.
"Sasuga!" suara wanita itu terdengar sekali lagi. "Kekuatanmu luar biasa, namun jika kau tidak bisa mengendalikan kekuatan itu, ia akan menghancurkanmu. Lihatlah jurang itu. Keinginan untuk menggapai kristal itu akan menghancurkanmu jika kau tidak mengendalikannya."
Sasuga menatap kristal itu, rasanya ada dorongan besar untuk mendekatinya. Namun, di dalam dirinya, ada suara lain yang berbisik, mengingatkannya untuk berhati-hati. "Kekuatan yang luar biasa harus diimbangi dengan pengendalian yang bijaksana."
Dengan napas dalam, Sasuga berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa jika ia terburu-buru, ia akan kehilangan kendali. Perlahan, ia melangkah maju, menjaga keseimbangan di setiap langkahnya. Setiap energi yang ia rasakan, ia biarkan mengalir tanpa membiarkannya merusak kedamaian batinnya.
Akhirnya, ia mencapai kristal itu, meraihnya dengan tangan yang tenang dan penuh pengendalian. "Aku mengerti sekarang," katanya pada dirinya sendiri. "Kekuatan sejati bukanlah tentang seberapa besar kekuatan yang dimiliki, tetapi tentang seberapa baik kita mengendalikannya."
Dengan itu, ketiga ujian selesai. Sasuga berdiri tegak, merasakan bahwa ia telah melewati ujian terberat dalam hidupnya—bukan hanya sebagai pejuang, tetapi sebagai manusia yang tahu bagaimana mengendalikan kekuatannya demi kebaikan.