Leon, tanpa aba-aba, langsung melancarkan serangan. Gerakannya begitu cepat, hampir tak terlihat oleh mata biasa. Pedangnya, yang berkilau di bawah sinar matahari, menyerang Kai dengan kecepatan yang luar biasa. Serangan pertama ditujukan ke sisi kiri Kai, sebuah serangan yang sangat presisi yang bertujuan untuk membuka pertahanan.
Kai terkejut. Kecepatan Leon jauh melebihi ekspektasinya. Ia sempat tertegun sekejap, namun insting bertarungnya yang tajam segera bekerja. Dengan refleks yang luar biasa, ia berhasil memblokir serangan Leon dengan pedangnya sendiri. Suara benturan logam bergema di lapangan latihan, menciptakan percikan api kecil.
"...Hoo, aku terkejut kau bisa menahannya," ucap Leon, suaranya terdengar sedikit terkejut namun tetap tenang. Ia sedikit mundur, memberikan jarak aman dari Kai yang masih terengah-engah, mencoba mengatur napas yang memburu. Pedangnya masih terhunus, siap untuk melancarkan serangan berikutnya. "Bagaimana kau bisa…!" Leon mengerutkan dahi, menilai kemampuan Kai yang berhasil menahan serangannya yang begitu cepat dan kuat. Ia sedikit meremehkan Kai sebelumnya, namun kini ia menyadari bahwa ia telah salah menilai.
"Bagaimana kalau yang ini...!" Leon langsung melancarkan serangan berikutnya. Kali ini, ia menggunakan strategi yang berbeda. Ia tidak lagi mengandalkan kecepatan semata, tetapi juga memanfaatkan kekuatan dan pengalamannya. Serangannya lebih terukur, mencari celah dalam pertahanan Kai dengan lebih cermat. Ia melancarkan serangkaian serangan yang cepat dan presisi, menargetkan titik-titik vital Kai.
Kai, berusaha keras untuk bertahan. Ia memblokir serangan Leon dengan susah payah, menggerakkan tubuhnya dengan lincah untuk menghindari serangan-serangan. Meskipun tidak ada luka fisik, ia merasakan tekanan yang luar biasa pada otot-ototnya. Ia mulai merasakan kelelahan, napasnya memburu, dan keringat membasahi dahinya.
"Sial, kemampuannya benar-benar hebat," gumam Kai di antara giginya, suaranya nyaris tak terdengar di tengah desingan pedang dan benturan logam. Ia mengerahkan seluruh konsentrasinya, mencoba untuk membaca pola serangan Leon dan menemukan celah dalam pertahanannya. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan dan kecepatan semata. Ia membutuhkan strategi yang lebih cerdik dan ketenangan yang lebih baik untuk dapat menghadapi lawan sekuat Leon. Ia harus menemukan cara untuk membalikkan keadaan.
Kai, dengan napas yang memburu, mencoba untuk mengatur kembali posisi tubuhnya. Lengannya terasa pegal, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia baru saja berhasil menahan serangan cepat Leon yang hampir mengenai dirinya. Kecepatan dan presisi Leon benar-benar di luar dugaannya. Ia harus mengakui, Leon jauh lebih kuat dan berpengalaman daripada yang ia perkirakan.
"Sial, kecepatannya luar biasa!" Kai menggeram, suaranya tertahan di antara giginya. Ia harus mengakui, kecepatan dan presisi Leon jauh melebihi ekspektasinya. Rambut putihnya yang berkibar seperti sayap menambah kesan dramatis pada sosoknya yang sedang berjuang keras.
Leon, dengan rambut birunya yang terurai, mengamati Kai dengan tatapan tajam. Senyum tipis terukir di wajahnya. Ia tidak terburu-buru, gerakannya tenang dan terkontrol, setiap serangan dihitung dengan cermat. Ia seperti predator yang sedang bermain-main dengan mangsanya, menikmati perjuangan Kai untuk bertahan. Rambut birunya yang berkibar seakan menggambarkan gelombang kekuatan yang siap menerjang.
"Luar biasa, aku tidak menduga ini sama sekali," gumam Leon, suaranya rendah dan berat, hampir tak terdengar di tengah desingan pedang mereka. Ia sedikit menggoyangkan pedangnya, menciptakan percikan api kecil yang bersinar di bawah sinar matahari. "Kecepatanmu memang mengesankan, tapi... itu saja tidak cukup untuk mengalahkanku." Ia sedikit membungkuk, posisi tubuhnya berubah menjadi lebih agresif.
Mendengar ucapan Leon, Kai menggertakkan giginya. Komentar Leon, walaupun terdengar seperti pujian, merupakan sebuah penghinaan terselubung. Ia merasakan amarah yang membakar dadanya, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Napasnya memburu, keringat membasahi dahinya, namun matanya tetap tajam, tertuju pada Leon.
"Kita lihat saja nanti," gumam Kai, suaranya hampir tak terdengar, namun tekadnya terlihat jelas di matanya yang menyala. Ia mengencangkan cengkeramannya pada pedangnya, siap untuk menghadapi serangan berikutnya.
Namun, serangan berikutnya Leon tidak datang seperti yang diharapkan Kai. Alih-alih melancarkan serangan fisik, Leon tampak menarik napas dalam-dalam, tubuhnya sedikit bergetar. Aura yang berbeda terpancar darinya—suatu kekuatan yang tidak berasal dari otot dan pelatihan fisik, tetapi dari sumber yang lebih dalam. Kai menyadari dengan ngeri bahwa Leon sedang mengumpulkan Mana, bersiap untuk menggunakan sihir. Hal ini mengejutkan Kai, karena ia tahu bahwa manusia tidak bisa menggunakan sihir tanpa konduktor Mana, seperti artefak atau senjata khusus. Ia mengerutkan keningnya.
"Kau memaksaku untuk menggunakan ini," kata Leon, suaranya terdengar sedikit dingin, tanpa sedikitpun emosi. "Semoga kau siap menghadapi konsekuensinya." Di tangannya, cahaya biru mulai berkumpul, membentuk bola energi yang semakin membesar dan memancarkan aura yang menaku
tkan.
"Itu sihir, bukan?" gumam Kai, suaranya nyaris tak terdengar di tengah desingan pedang dan aura sihir yang semakin kuat. Ia tercengang. Tiba-tiba Solon berbicara di pikirannya, " "Tuan, dia tidak menggunakan senjatanya sebagai konduktor mana,"
"Apa?" Kai bergumam, matanya terpaku pada Leon. "Tapi manusia tidak bisa menggunakan sihir tanpa artefak atau senjata, bagaimana bisa...!" Pikirannya berpacu, mencoba untuk memahami apa yang sedang terjadi. "Jangan-jangan....."
Leon, dengan ekspresi wajah yang tetap dingin dan tanpa emosi, mengarahkan pedangnya—dan pusaran sihir biru yang terpancar darinya—ke arah Kai. Cahaya biru itu tampak seperti makhluk hidup, memanjang dan membentuk sebuah pancaran energi yang terarah, mengarungi jarak antara Leon dan Kai dengan kecepatan yang luar biasa. Udara di sekitar pancaran energi itu berdesir, membentuk gelombang panas yang terasa oleh Kai. Pancaran itu bukan hanya memiliki kekuatan penghancur, tetapi juga mengandung aura yang dingin dan mematikan, menciptakan rasa takut yang menusuk tulang. Kai tahu bahwa ia harus menghindar, jika tidak, ia akan terkena serangan sihir yang dahsyat itu.
"Oi, dia serius melakukan itu padahal ini duel biasa?" Kai berseru, suaranya dipenuhi dengan keterkejutan dan sedikit kemarahan. "Solon, tolong tahan serangan itu, kau boleh mengambil Mana milikku sepuasmu."
"Baik tuan," jawab Solon. Tiba-tiba batu emerald yang ada di pedangnya memancarkan cahaya, dengan gerakan yang luar biasa lincah dan cepat, Kai berhasil menangkis sebagian besar serangan sihir Leon dengan pedangnya, menciptakan percikan api dan gelombang kejut yang mengguncang udara di sekitarnya.
"Apa?!" Leon terkejut, ia mengerutkan dahinya. Ekspresinya berubah, seolah-olah ia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Namun, kejutannya berlipat ganda ketika, dengan kecepatan yang mengejutkan, Kai dengan cepat menghunus pedangnya ke samping leher Leon, pisau dingin itu hanya berjarak beberapa milimeter dari kulitnya. Leon terkesiap, matanya melebar karena terkejut. Ia tidak menyangka Kai masih memiliki cukup kecepatan dan kekuatan untuk melakukan serangan balik secepat itu.
"Ini kemenangan ku," kata Kai, suaranya terdengar tenang namun penuh keyakinan, pedangnya masih terhunus di dekat leher Leon.
Pedang di tangan Leon jatuh ke tanah dengan bunyi clang yang nyaring. Ia mengangkat tangannya, keringat menetes di dahinya. "Hah, dasar," gumamnya, suaranya terdengar sedikit terengah-engah, namun ada sedikit kekaguman dalam nada bicaranya. "Baiklah, aku terima kekalahan ku."
Adam, yang mengamati pertarungan dari kejauhan, mendekati kedua petarung. Ia tersenyum tipis, menunjukkan kepuasannya. "Pertarungan selesai," katanya, suaranya tenang dan berwibawa. Ia mengamati kedua petarung, menilai kemampuan dan strategi mereka. "Pemenangnya, Kai." Adam menyatakan, suaranya tegas dan jelas.
Asher dan Brad, yang mengamati duel ini dari kejauhan, ternganga kaget. Mulut mereka terbuka lebar, mata mereka terbelalak tak percaya. "Wah... gila banget!" seru Asher, suaranya bergetar karena terkejut. Brad mengerutkan keningnya seolah ia tidak percaya apa yang dilihatnya saat ini. Para murid lain yang menyaksikan pertarungan juga berbisik-bisik satu sama lain, wajah mereka dipenuhi dengan campuran rasa takjub, kaget, dan kagum.
"Kurasa aku sedang beruntung hari ini, senior," kata Kai sambil tersenyum. "Kemampuannya luar biasa. Aku hampir tidak menang." Ia mengalihkan pandangannya "Jika bukan karena Solon aku benar-benar kalah." Kai berbicara di pikirannya.
Leon, menggaruk kepalanya, meninggalkan area duel dan berjalan mendekati Brad. "Bagaimana rasanya merasakan kekalahan?" tanya Brad, nada suaranya sedikit mengejek namun juga penuh kekaguman.
"Yah, tidak begitu buruk," jawab Leon, nada suaranya datar, namun ada sedikit senyum tipis di wajahnya. Brad menatap Leon dengan tajam, ia menaikkan alisnya, "Kau juga akan merasakan kekalahan juga dariku nanti." Suaranya terdengar percaya diri.
Leon tidak menanggapi Brad, ia kembali menatap Kai dengan tajam, seolah-olah masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ekspresinya berubah, dari kekaguman menjadi renungan yang dalam. "Aku kehilangan kesadaranku sampai menggunakan sihir," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Brad. "Tapi dia bisa menahannya? Aku tidak menyangka ada manusia sehebat ini." Ia tersenyum tipis.
Setelah duel antara Leon dan Kai, kelas masih berlanjut dengan duel dari beberapa siswa lainnya. Mentor Adam mengamati satu persatu pasangan maju berduel. Mentor Adam, dengan tatapan tajam dan menilai, mengamati setiap duel yang terjadi. Ia mencatat setiap strategi, setiap teknik, setiap kekuatan dan kelemahan dari setiap peserta. Tatapannya beralih dari satu arena ke arena lainnya, menilai pertarungan dengan tenang dan teliti. Ia sesekali mengangguk, menunjukkan persetujuannya terhadap strategi yang cerdas, atau mengerutkan dahi, menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap kesalahan yang dibuat oleh para peserta. Suasana kelas tetap tegang dan penuh konsentrasi, dengan setiap duel yang terjadi menambah ketegangan dan antisipasi, hingga tidak disangka waktu berjalan dengan cepat, kelas Spesialisasi pertarungan hari ini berakhir.
( To be Continued )