Beberapa hari telah berlalu. Lonceng tanda berakhirnya kelas berdentang nyaring, menggema di lorong-lorong Akademi. Kelelahan tampak jelas di wajah para siswa yang berhamburan keluar dari ruang kelas, beberapa mengeluh tentang otot-otot yang pegal, sementara yang lain masih bersemangat mendiskusikan teknik-teknik baru yang telah mereka pelajari. Aroma kayu dan buku tua masih tercium samar di udara.
Seperti biasa, Kai biasanya menghabiskan waktu dengan berkeliling akademi, namun kali ini dia berada di tempat yang biasanya tidak dia datangi. Di kantin yang ramai, dengan aroma makanan yang menggugah selera memenuhi ruangan.Kai duduk lesu di sebuah meja dekat jendela.
"Setelah kelas itu, makan adalah cara yang baik untuk mengisi kembali energi." kata Claire, sambil tersenyum ramah dan menyendok sepotong ayam panggang ke dalam mulutnya. Ia memperhatikan Kai yang hanya menatap makanannya dengan tatapan kosong.
Kai hanya diam, menatap nasi putih dan ayam panggang di depannya dengan ekspresi datar. Ia mengangkat sumpit, mencoba mengambil sepotong ayam, dan memasukkannya ke dalam mulut. Ia mengunyahnya dengan perlahan, tetapi sebuah perasaan aneh muncul. Makanan itu terasa, dan entah kenapa, rasanya seperti tidak ada satupun nutrisi yang diserap oleh tubuhnya. Karena tubuhnya saat ini hanya bisa mendapatkan nutrisi dengan darah dari makhluk lain, ia meletakkan sumpitnya, merasa frustrasi. Ini bukan pertama kalinya hal ini terjadi. Ia selalu merasa seperti hanya sekedar menelan makanan, bukan benar-benar memakannya.
Kai menggeleng pelan, suaranya terdengar datar dan tanpa emosi, "Tidak, itu hanya membuang-buang waktu," katanya, suaranya hampir seperti bisikan. "Aku mengerti jika Seraphina berada di sini, tapi kenapa kau berada di sini juga?" Ia menunjuk ke arah Brad dengan sumpitnya, tatapannya sedikit tajam. Brad, yang sedang mengunyah sandwich, tersedak dan menatap Kai dengan bingung.
"Emang ada masalah jika aku berada di sini?" tanya Brad, wajahnya memerah karena tersedak. Ia menyeka mulutnya dengan punggung tangannya, tampak sedikit gugup.
Kai menatap Brad dengan ekspresi yang sulit dibaca, seolah-olah ia sedang mencoba memahami sesuatu yang tidak masuk akal. Sejak kemenangannya melawan Leon, Brad tampak lebih sering mendekatinya, menunjukkan antusiasme yang berlebihan. Sikap Brad yang tiba-tiba berubah ini membuat Kai merasa sedikit tidak nyaman. Ia mengerutkan keningnya, "Tidak, tidak ada masalah. Hanya saja... aku heran. Kau selalu berada di dekatku akhir-akhir ini. Ada apa?" Suaranya terdengar sedikit curiga, namun ia berusaha untuk tetap tenang.
"Aku hanya penasaran bagaimana kau bisa mengalahkan bajingan sombong itu. Kupikir jika mengikuti mu maka aku akan mempelajari sesuatu, dan mungkin juga bisa mengalahkannya suatu hari nanti," kata Brad, suaranya penuh semangat. Ia tampak sangat mengagumi Kai, menganggapnya sebagai sosok yang kuat dan misterius.
"Itu tidak ada gunanya, tau," jawab Kai, suaranya datar. Ia tidak terkesan dengan pujian Brad, bahkan sedikit merasa risih. Claire, yang sedari tadi memperhatikan interaksi Kai dan Brad, menambahkan, "Aku juga mendengar tentang duel itu, Kai. Kau benar-benar luar biasa. Bahkan Nona Seraphina terlihat sedikit terkejut ketika aku memberitahunya." Ia tersenyum tipis ke arah Kai, menunjukkan rasa bangga dan kekagumannya.
Seraphina, yang sedari tadi mengamati Kai dengan tatapan tajamnya, menambahkan dengan suara tenang namun berwibawa, "Yah, itu mengejutkan. Kemenanganmu atas Leon memang di luar dugaan. Aku dengar dia salah satu siswa pelatihan terbaik di angkatan pertama, bahkan di antara para Hunter sekalipun." Tatapan tajam Seraphina tetap tertuju pada Kai, seolah-olah ia sedang menilai sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar sebuah kemenangan.
Brad, yang tampak tidak menyadari tatapan tajam Seraphina, terus berbicara dengan antusias, "Kau juga bahkan akrab dengan Nona Seraphina ya, Kai? Sebenarnya kekuatan apa yang kau miliki? Kalian berdua terlihat sangat dekat." Ia menatap Kai dan Seraphina bergantian, penasaran dengan hubungan mereka.
"Ah itu karena aku bertugas mengawasi—...." Belum selesai Seraphina dengan percakapannya, ntah kenapa kai saat ini tersedak dan semua perhatian menuju kepadanya. Claire, yang duduk di sebelahnya, langsung panik. "Kai! Kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Ia segera berdiri dan menepuk-nepuk punggung Kai, mencoba membantu temannya itu.
Seraphina juga terlihat khawatir, ia segera berdiri dan mendekat, tatapannya tajam, menilai situasi dengan cepat. Namun, setelah beberapa saat mengamati Kai, Seraphina justru memejamkan matanya sejenak, lalu melanjutkan makannya dengan tenang, seolah-olah kejadian itu tidak terlalu mengganggunya.
"Aku tidak apa-apa," katanya, suaranya masih sedikit serak. Ia mencoba tersenyum, namun senyumnya terlihat dipaksakan. Keheningan masih menyelimuti meja mereka, ketika tiba-tiba Leon datang dan duduk di antara Kai dan Claire, senyum tipis terukir di wajahnya. "Akhirnya aku menemukanmu," katanya, suaranya tenang namun mengandung ancaman terselubung. Kehadiran Leon membuat suasana menjadi tegang. Semua orang menatapnya dengan berbagai ekspresi.
Brad menggenggam garpu yang berada di tangannya, ia menatap Leon dengan tajam, "Apa yang kau lakukan di sini? Apa kekalahan itu tidak membuatmu puas, dasar maniak petarung!" suaranya meninggi, menunjukkan kemarahannya. Ia berdiri, siap untuk menghadapi Leon.
Leon hanya tertawa kecil, "Oh? Aku tidak menyangka kau akan mendekatinya, Finnian. Kau tampaknya sangat mengaguminya." Ia melirik ke arah Kai, senyumnya semakin lebar. "Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kemenanganmu kemarin, Kai." Suaranya terdengar tulus, namun tatapan matanya tajam dan penuh arti.
Kai menunduk, mengamati sumpitnya yang masih tergeletak di atas meja. Ia menghela napas panjang, merasa lelah dan frustrasi. "Jadi, kenapa kau mencariku?" tanyanya, suaranya datar, tanpa emosi. Ia mengangkat wajahnya, menatap Leon dengan tatapan tajam, mencoba untuk membaca niat sebenarnya dari lawannya itu.
Leon tersenyum tipis, "Kau terlalu mencurigaiku, Kai." Ia berdiri, menawarkan tangannya kepada Kai. "Ada hal yang ingin kubicarakan kepadamu, tentu saja hanya berdua. Di tempat yang lebih tenang." Tatapan Leon tetap tenang, namun ada sesuatu yang tersirat di balik senyumnya yang membuat Kai merasa tidak nyaman.
Kai ragu-ragu. Ia melirik ke arah teman-temannya, yang menatapnya dengan khawatir dan penasaran. Ia bisa merasakan tatapan tajam Seraphina dan Brad, dan kekhawatiran yang terpancar dari Claire. "Huh," katanya, mengeluarkan napas pendek. "Yah, kurasa hanya sebentar tidak masalah. Aku akan segera kembali." Ia berusaha untuk meyakinkan teman-temannya, namun suaranya terdengar sedikit tidak yakin.
Leon tersenyum puas, "Bagus." Ia melirik ke arah Claire, Seraphina, dan Brad, "Maaf ya, aku pinjam Kai sebentar. Kalau begitu, sampai jumpa." Ia menarik tangan Kai, dan mereka berdua berjalan meninggalkan kantin, meninggalkan teman-temannya yang masih diliputi kekhawatiran dan pertanyaan.
Kai ragu-ragu, biarkan Leon menarik tangannya menuju ke belakang bangunan akademi. Leon sengaja memilih tempat yang sepi, jauh dari keramaian. Hanya deru angin dan kicauan burung yang menemani langkah mereka. Akhirnya, mereka berhenti di sebuah sudut tersembunyi di balik tembok tinggi, ditumbuhi tanaman rambat yang lebat. Leon melepaskan tangan Kai, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Baiklah, sepertinya di sini sudah bagus," katanya, suaranya tenang namun penuh arti. Ia menatap Kai, tatapannya tajam namun tidak mengancam. Keheningan singkat menyelimuti mereka sebelum Kai angkat bicara. "Jadi, apa yang ingin kau bicarakan kepadaku?" tanyanya, suaranya datar, menunjukkan rasa tidak percaya.
Leon tersenyum tipis, "Bukankah kau terlalu curiga kepadaku?" Ia mengangkat bahu, seolah-olah pertanyaan Kai itu tidak penting. "Aku hanya ingin bicara, tidak lebih."
Kai menyipitkan matanya, "Bukankah itu wajar jika aku mencurigaimu?" Ia bersiap untuk menghadapi apapun yang akan dikatakan Leon, siap untuk melawan jika perlu. Ketegangan di antara mereka semakin terasa, menciptakan suasana yang mencekam di tempat terpencil itu.
Leon tertawa, suaranya bergema di tempat sepi itu. "Ahahaha, sudah kuduga... kau memang berbeda." Ia menggelengkan kepalanya, seolah-olah kagum. "Aku sudah bertemu berbagai macam-macam manusia sebelumnya, tidak kusangka ada manusia yang sepertimu. Si Finnian itu memang sedikit berbeda, tapi itu jauh dibanding denganmu." Leon berhenti sejenak, menatap Kai dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku sampai berpikir..... Apa kau benar-benar manusia?"
Reaksi Kai langsung terlihat. Ia sudah menyiapkan tangannya di sarung pedangnya, siap untuk menyerang kapan saja. Jari-jarinya menegang, siap untuk menarik pedangnya dan menghadapi apapun yang akan terjadi selanjutnya. Tatapannya tajam dan waspada, ia tidak mempercayai sepatah katapun yang diucapkan Leon. Ketegangan mencapai puncaknya, pertarungan mungkin akan segera dimulai.
"Tentu saja itu tidak benar, kan?" Leon menatap Kai dengan tajam, suaranya penuh skeptisisme. "Jadi sudah diputuskan..." Ia mengambil langkah maju, menegaskan posisinya. "Kai, jadilah sekutuku," kata Leon, suaranya kini lebih serius, mengandung nada ajakan yang sulit ditolak.
( To be Continued)