Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 47 - ARC 2, 09

Chapter 47 - ARC 2, 09

Kai terpaku. Ajakan Leon begitu tak terduga, ia menurunkan tangannya perlahan dari gagang pedang, ketegangan di tubuhnya sedikit mereda, namun kewaspadaannya tetap tinggi. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencerna proposisi ini.

"Sekutu?" Kai mengulang kata itu, suaranya terdengar hampir seperti bisikan. Ia menatap Leon, mencoba membaca setiap perubahan ekspresi di wajahnya. Tidak ada jejak candaan atau manipulasi yang terlihat, hanya keseriusan yang dalam. Namun, hati Kai tetap waspada.

Leon mengangguk, senyum tipis masih terukir di bibirnya. "Ya, sekutu," katanya, suaranya terdengar sedikit aneh, seperti logam yang bergesekan. "Jadi bersyukurlah, aku sebelumnya tidak memiliki niat bersekutu dengan manusia." Ia menekankan kata 'manusia', "Tapi setelah melihatmu, aku jadi berubah pikiran. Bagaimana? Itu tawaran yang menarik, bukan?" Ada nada yang tak terjelaskan dalam suaranya, sesuatu yang dingin dan kalkulatif, yang membuat bulu kuduk Kai merinding.

"Kenapa aku harus menerima itu?" suara Kai tajam, ia menatap Leon dengan tatapan curiga. "Lagipula, kenapa kau berbicara seolah-olah kau bukan manusia di sini?" Ketegangan di udara semakin terasa. Kai melangkah maju, mendekati Leon. "Pada saat duel sebelumnya, kau menggunakan sihir tanpa senjatamu, kan? Manusia tidak bisa melakukan itu, jadi siapa kau sebenarnya?"

Keheningan singkat menyelimuti mereka, hanya suara angin yang berdesir di antara dedaunan. Lalu, Leon tertawa, suara tawanya bergema di tempat sepi itu. "Pfftt, Hahahaha! Aku tidak menyangka identitas ku akan bocor secepat ini," kata Leon, ia menatap Kai dengan tatapan yang sulit dibaca, campuran antara kekaguman dan ancaman. "Jadi, apa kau akan memberitahukannya kepada semua orang di sini?"

Kai terdiam sesaat, menimbang-nimbang kata-kata Leon. Ia menghela nafasnya sejenak, "Yah," jawab Kai akhirnya, suaranya datar, tetapi matanya tajam. "Itu tergantung dirimu." Ia menatap Leon dengan intens, menunggu jawaban selanjutnya.

Leon tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. Tiba-tiba, penampilannya berubah. Telinganya meruncing, menjadi runcing. Di bawah matanya, muncul tato merah dan hitam yang menyerupai guratan tajam, seperti luka bakar yang aneh. Tubuhnya tampak sedikit membesar, otot-ototnya menegang."Inilah diriku yang sebenarnya," kata Leon, "Bagaimana menurutmu?"

Kai terkesiap mundur, matanya membulat karena terkejut. Ia tersentak, tubuhnya menegang. "Kau.... Bagaimana bisa..." suaranya tercekat di tenggorokan. Ia menatap Leon dengan tak percaya, otaknya berusaha mencerna perubahan drastis ini. "Bukankah werewolf sudah dinyatakan punah?"

Leon tertawa, suara tawanya rendah dan dalam, seperti gemuruh yang mengguncang tanah. "Memang sudah kok," katanya, senyumnya masih terukir di bibirnya, tapi sekarang senyum itu tampak lebih menakutkan. "Tapi hanya indukan dan penjantan dewasa. Yang tersisa hanyalah keturunan yang tersembunyi, yang hidup dalam bayang-bayang." Ia menatap Kai dengan tatapan yang tajam dan penuh arti. "Dan aku adalah salah satunya."

Kai terdiam sejenak, ia memejamkan matanya, Kenapa dia bisa membocorkan informasinya semudah ini? Pikirnya. "Sepertinya kau benar-benar percaya padaku ya?" suara Kai terdengar datar, tanpa emosi, namun ada nada sinis yang tersirat. Ia melangkah maju, jaraknya semakin dekat dengan Leon, menciptakan suasana tegang di antara mereka.

Leon mengangkat alisnya, senyumnya masih terukir di bibirnya, tetapi sekarang senyum itu tampak lebih seperti sebuah tantangan. "Aku percaya kau tidak akan membocorkannya kepada siapa pun," jawabnya, suaranya tenang namun penuh keyakinan.

"Kenapa kau semudah itu mempercayaiku?" Kai bertanya, suaranya sedikit meninggi. Ia ingin memahami logika Leon, mencari celah dalam kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Leon mendekat, jaraknya hanya sejengkal dari Kai. Ia menatap mata Kai dengan intens, seolah-olah ingin melihat langsung ke dalam jiwanya. "Karena aku juga merasa, kau sedang menyembunyikan sesuatu sekarang," bisik Leon, suaranya hampir tak terdengar, namun penuh arti. "Yah, walaupun aku tidak tahu pastinya apa." Ia tersenyum tipis, senyum yang penuh teka-teki.

Kai terkejut mendengar pengakuan Leon. Dia menaikkan alisnya, lalu menatap Leon dengan ekspresi yang sulit diartikan – campuran antara ketidakpercayaan, keraguan, dan sedikit... ketertarikan? Sebuah "side-eye" yang penuh makna tertuju pada Leon. "Baiklah, kalau begitu, kenapa kau memintaku menjadi sekutumu? Apa yang kau harapkan dariku?"

Penampilan Leon kembali berubah menjadi manusia biasa. Telinganya kembali normal, dan tato di bawah matanya menghilang. "Sebelum aku menjawab itu," kata Leon, suaranya kembali tenang dan terdengar manusiawi, "jika kau berada di posisiku, menurutmu apa yang seharusnya kulakukan di sini?" Ia menatap Kai dengan tajam, menunggu jawabannya.

Kai mengerutkan kening, memikirkan pertanyaan Leon. Posisi Leon sebagai werewolf yang tersembunyi di antara manusia, dengan kekuatan yang luar biasa, membuatnya berpikir keras. "Balas dendam?" ucapnya, suaranya terdengar datar, hampir seperti bisikan. Jawabannya itu keluar begitu saja, mirip dengan hal yang dilakukan olehnya.

Leon tersenyum tipis, sebuah senyum yang sulit diartikan. "Oh, kau menebaknya," katanya, suaranya terdengar sedikit geli. "Apa itu terdengar klise?" Kai terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Tidak. Itu hal yang wajar," katanya, mengingat jawabannya sebelumnya.

"Sebenarnya, aku tidak terlalu peduli dengan masa lalu," kata Leon, suaranya tenang, namun tatapannya tetap tajam. "Seperti hukum rimba, mereka yang lemah akan dimangsa oleh yang kuat. Pemimpin sebelumnya dikalahkan oleh kaum kelelawar itu karena lemah, karena mereka gagal melindungi kawanannya."

Kai mengerutkan kening, mendengar Leon menyebut "kaum kelelawar" sebagai pengganti kata "vampir". "Jadi, kau ingin membalaskan dendam mereka?" tanya Kai, menekankan kata "mereka" untuk menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap istilah yang digunakan Leon.

Leon tersenyum tipis, sebuah senyum yang tampak sedikit dingin dan tanpa emosi. "Umm? Tidak. Sudah kubilang aku tidak peduli dengan masa lalu, bukan?" katanya, suaranya terdengar datar. "Aku ingin membalas kawanan ku yang dijadikan tawanan oleh kaum kelelawar itu. Yah, setidaknya itu tugasku sebagai pemimpin saat ini." Ia menekankan kata "ku" untuk menunjukkan bahwa ia tidak hanya membalas dendam untuk pemimpin sebelumnya, tetapi untuk kawanannya sendiri.

Kai terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Leon. Namun, ia juga ragu terhadap Leon dan motifnya yang sebenarnya. "Begitukah..." gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia mulai berjalan menjauh dari Leon, punggungnya menghadap Leon.

"Hei, tunggu! Bagaimana dengan tawaranku sebelumnya?" Leon memanggilnya, suaranya terdengar sedikit cemas.

Kai berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. Ia hanya mengangkat tangannya, gerakannya halus namun tegas. "Aku akan memikirkannya," katanya, suaranya tetap tenang, namun ada sedikit nada sinis yang tersirat. "Oh ya, tenang saja. Aku tidak akan membocorkan rahasiamu. Meskipun... lucu juga ya, seorang serigala menggunakan nama Leon. Sejenak aku mengira kau adalah singa." Ia melanjutkan langkahnya, senyum tipis terukir di bibirnya, sebuah senyum yang menyimpan banyak misteri.

Leon menggeram, suaranya terdengar rendah dan mengancam. "Jangan samakan aku dengan kucing itu!" Ia mengepalkan tangannya, marah dan frustrasi. Kai terus berjalan, langkahnya tenang dan penuh keyakinan, meninggalkan Leon sendirian dalam kegelapan, dengan tawarannya yang belum terjawab.

Dengan langkah tenang dan terukur, Kai kembali ke kantin. Ia berjalan menuju meja tempat Seraphina, Claire, dan Brad menunggu, wajahnya datar tanpa ekspresi. Namun, getaran halus di tangannya dan kedalaman napas yang ia ambil sebelum duduk menunjukkan bahwa ia sedang berusaha untuk tetap tenang. Ia memejamkan mata sejenak.

"Apa si bajingan itu mengajakmu bertarung lagi?" tanya Brad, suaranya terdengar lantang menatap Kai dengan tajam.

Kai menggeleng, namun raut wajahnya menegang. Gerakannya sedikit kaku, tangannya mengepal di bawah meja. "Tidak," jawabnya, suaranya datar, hampir tanpa emosi. "Dia hanya membicarakan sesuatu yang tidak penting." Ia menghela napas panjang, suara napasnya terdengar berat, menunjukkan beban yang ia pikul. Ia menatap ke arah jendela kantin, kemudian menatap Brad kembali, "Ngomong-ngomong, kau masih di sini ternyata."

"Memangnya salah jika aku berada di sini?!" Brad membalas, suaranya sedikit meninggi, menunjukkan sedikit kekesalan. Ia merasa sedikit tersinggung oleh nada bicara Kai yang seolah mengusirnya.

Kai terdiam sejenak, kemudian berkata dengan nada sedikit lebih lembut, "Huh." Ia berdiri dari kursinya, "Aku akan ke kelas Spesialisasi Alkemis selanjutnya. Bagaimana denganmu?" Ia bertanya dengan sedikit ragu, menunjukkan bahwa ia sedikit menyesali nada bicaranya sebelumnya. "Kau tidak akan mengikutiku ke sana juga, kan?"

Brad, masih sedikit kesal, namun berusaha untuk bersikap tenang, berdiri dari tempat duduknya. "Tidak, aku akan ke ruangan latihan sekarang," jawabnya, suaranya terdengar datar. Ia mengambil piringnya dan membuangnya ke tempat sampah. "Kalau begitu, sampai jumpa." Ia pergi meninggalkan mereka, tanpa menoleh lagi.

Kai memperhatikan kepergian Brad, sebuah ekspresi khawatir tergambar di wajahnya. Ia menghela napas panjang, kemudian menatap Seraphina. "Bagaimana denganmu, Seraphina?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit mendesak, menunjukkan kekhawatirannya. Nada bicaranya seolah menekankan bahwa Seraphina bertugas mengawasinya.

Seraphina tersenyum tipis, ia menatap Kai dengan tenang. "Aku akan menunggu di sini, ada yang akan kulakukan sebentar lagi," jawabnya, suaranya terdengar tenang dan penuh keyakinan. "Lagipula Nona Lilia berada di sana bukan?" Ucapnya tenang.

Kai mengangguk, kemudian tersenyum tipis. "Baiklah kalau begitu." Ia berjalan keluar, namun sebelum melangkah jauh, ia menoleh ke arah Claire. "Ayo, jangan bilang kau akan bolos di kelas ini kan?" suaranya terdengar sedikit cemas, menunjukkan kekhawatirannya terhadap Claire.

Claire terlihat panik, ia terlihat terburu-buru. "Kalau begitu aku permisi juga, sampai jumpa Nona Seraphina." Ia menunduk hormat kepada Seraphina, lalu berlari mengejar Kai. "Kai, tunggu aku..." suaranya terdengar cemas, menunjukkan bahwa ia takut ditinggal Kai.

( To be Continued)