Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 48 - ARC 2, 10

Chapter 48 - ARC 2, 10

Di dalam laboratorium penelitian Crimson Veil, Valerius mondar-mandir dengan gelisah. Ruangan itu luas, dipenuhi peralatan-peralatan canggih yang berdengung pelan, namun Valerius tak menghiraukannya. Ia mengusap wajahnya yang pucat, jemarinya gemetar. Aroma tajam zat kimia memenuhi udara, namun bau itu tak mampu mengalahkan aroma keringat dingin yang membasahi tubuhnya.

Di atas meja kerja yang terbuat dari baja tahan karat, terdapat beberapa tabung reaksi berisi cairan merah pekat yang bergelembung perlahan. Itu adalah bahan-bahan untuk eksperimennya, eksperimen yang membutuhkan potongan jiwa fallen angel untuk berhasil. Di seberang meja, seorang wanita dengan rambut seperti susu sebahu, Liora, seorang laboran yang bekerja di bawah Crimson Veil, berdiri tegak. Ia mengenakan jas lab putih yang sedikit kotor karena percikan cairan merah, menunjukkan betapa berdedikasinya ia pada pekerjaannya. Tatapannya tajam mengamati gelembung-gelembung kecil yang naik di dalam tabung reaksi.

"Kau sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Apa yang terjadi?" tanya Liora, suaranya lembut namun penuh perhatian. Ia sudah lama bekerja bersama Valerius, dan ia tahu ketika pemimpinnya itu sedang dilanda masalah. Ia meletakkan sebuah pipet yang dipegangnya dengan hati-hati di atas meja.

Valerius menghela napas panjang, kegelisahan masih terlihat jelas di wajahnya. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, kemudian tanpa menjawab pertanyaan Liora langsung menuju kursi tinggi yang berada di belakang meja. Dengan gerakan yang agak kasar, ia menarik kursi itu dan duduk, membungkuk hingga kepalanya hampir menyentuh permukaan meja baja yang dingin. Kedua tangannya menutupi wajahnya, jari-jarinya terjalin erat.

"Huh," desahnya pelan, suaranya teredam oleh telapak tangannya. Suasana hening sejenak, hanya suara gelembung-gelembung cairan merah yang memecah kesunyian. Kemudian, dengan suara yang sedikit serak, ia menambahkan, "Kakakku barusan berada di sini."

Liora terkesiap, terkejut mendengar pengakuan Valerius. Ia meletakkan pipetnya dengan agak keras, membuat Valerius sedikit tersentak. Ia tahu betapa jarang Victor mengunjungi markas Crimson Veil. Kehadiran Victor selalu memiliki makna yang penting.

"Yang Mulia Victor?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar karena terkejut. Ia menatap Valerius dengan penuh perhatian, menunggu penjelasan lebih lanjut. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba untuk menahan rasa ingin tahunya.

Valerius menurunkan tangannya perlahan, matanya masih terpejam. Ia mengusap wajahnya lagi, mencoba untuk menenangkan diri. "Ya," katanya, suaranya masih terdengar sedikit serak. "Ia datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sangat tiba-tiba." Ia membuka matanya, menatap Liora dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Astaga, kenapa kau baru memberitahuku sekarang?" tanya Liora, suaranya terdengar sedikit kesal. Ia merasa sedikit terabaikan, karena Valerius baru memberitahu setelah Victor pergi. Ia berdiri tegak, menunjukkan sedikit ketidaksukaannya. "Kalau begitu aku akan menemuinya sekarang." Ia sudah bersiap untuk pergi mencari Victor.

Valerius mengangkat tangannya, menghentikan Liora. "Tenanglah, Liora," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lembut. Ia tahu bahwa Liora sangat loyal dan selalu ingin membantu. "Dia sudah meninggalkan tempat ini." Ia menghela napas panjang, merasa sedikit lega karena Victor sudah pergi.

"Astaga. Ini sangat disayangkan," gumam Liora, sedikit kecewa. Ia memang ingin bertemu dengan Victor, tapi ia mengerti bahwa Valerius memiliki alasannya sendiri. Ia kembali duduk, sedikit lesu.

Suasana hening sejenak. Valerius menatap Liora, kemudian berkata dengan nada yang sedikit lebih serius, "Kau sangat bersikap berbeda ketika itu menyangkut kakakku, ya?" Ia mengamati ekspresi Liora dengan seksama, ingin memahami alasan di balik sikapnya.

Liora terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan tenang, "Karena itu adalah Yang Mulia Victor." Ia menatap Valerius dengan hormat, menunjukkan rasa hormatnya kepada Victor. "Ia selalu tenang, bijaksana, dan selalu berpikir strategis. Berbeda denganmu, Lord Valerius," tambahnya, nada suaranya sedikit bercanda, namun tetap dengan hormat.

Valerius terkekeh pelan, sedikit merasa tersinggung namun juga sedikit terhibur. "Cih, tapi ketua organisasi ini adalah aku, kau tahu," katanya, suaranya terdengar sedikit menantang. Ia sedikit cemburu dengan cara Liora memperlakukan Victor.

Liora mengabaikan perkataan Valerius dan kembali fokus kepada eksperimennya. Ia mengamati tabung reaksi dengan seksama, mengaduk cairan di dalamnya dengan hati-hati. "Jadi, apa objeknya sudah didapatkan?" tanyanya, suaranya penuh harap.

"Tidak sama sekali, para ternak itu menggagalkannya," jawab Valerius, nada suaranya terdengar frustrasi. Ia masih merasa tertekan dengan hasil yang tidak memuaskan dari misi sebelumnya.

"Sayang sekali, padahal aku sudah menyiapkan semuanya untuk para objek itu," Liora menghela napas, tampak kecewa. "Ngomong-ngomong, kenapa Yang Mulia Victor datang ke sini? Dia tidak mungkin datang tanpa alasan, kan?" Ia menatap Valerius, penasaran dengan informasi yang mungkin dimiliki saudaranya.

"Yah, hanya info tentang Seven Archdukes," Valerius menjawab, menggerakkan tangannya dengan tidak sabar. "Dan, info mengenai potongan jiwa itu."

"Itu ditemukan?!" Liora terkejut, matanya membulat. "Astaga, kupikir itu hilang begitu saja lima tahun yang lalu." Ia merasa bersemangat dengan berita ini. "Aku bahkan sampai membuat eksperimen fragmen yang sedikit mirip dengan potongan jiwa itu." Ia tersenyum bangga pada pencapaiannya, tetapi rasa ingin tahunya segera kembali. "Jadi, kapan kau akan mencari itu?" tanyanya, penuh antisipasi.

Valerius mengerutkan kening, "Itu berada di kota para ternak itu," katanya, suaranya terdengar sedikit jengkel. Ia mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Kakak memintaku untuk mengumpulkan informasi terlebih dahulu, jadi saat ini aku hanya menyuruh bawahan ku melakukan itu," lanjutnya, nada suaranya sedikit lebih tenang.

Liora mengangguk, memahami pentingnya kehati-hatian dalam situasi ini. "Aku akan tetap siap dengan eksperimen ini. Jika kita mendapatkan potongan jiwa itu, kita harus memastikan bahwa kita menggunakannya dengan sebaik-baiknya." Ia kembali fokus pada pekerjaannya, bersiap untuk mempersiapkan segala sesuatu yang mungkin diperlukan.

Di sisi lain, saat ini di kota Narnia, anggota Crimson Veil yang diperintahkan oleh Valerius bergerak dengan sangat hati-hati, ia menyembunyikan aura miliknya dengan menyamar sebagai pedagang dan penduduk biasa. Bau rempah-rempah dan makanan memenuhi udara, bercampur dengan aroma tanah yang lembab. "Huh, keluar dengan keadaan terik seperti ini sangatlah merepotkan," gumamnya sambil menyeka keringat di dahinya. Ia mengipas-ngipas dirinya dengan selembar kain. "Untunglah aku menggunakan jubah sekarang, kalau tidak kulitku sudah pasti terbakar." Ia melewati sebuah kios yang menjual buah-buahan segar, mengamati para penduduk yang berlalu-lalang.

"Menurut perintah Lord Valerius, potongan jiwa itu berada di sini," katanya pelan, memandang sebuah bangunan tua yang tampak usang di kejauhan. "Lord... dia tidak mendapatkan laporan palsu, kan?" Ia merasa ada sesuatu yang janggal.

Dia masih mengawasi sekitar. Kaelus, yang kebetulan sedang membelikan sesuatu untuk Thalia, merasakan sesuatu yang aneh. Suatu aroma samar, seperti logam berkarat dan darah kering, menusuk hidungnya. Seorang sosok berjubah, yang menyembunyikan wajahnya di balik tudung, baru saja lewat di dekatnya. "Aroma ini...?" gumam Kaelus, hidungnya mengerut. Bau itu sesuatu yang berhubungan dengan vampir. "Jangan-jangan...." Ia langsung mengikuti sosok berjubah itu, langkahnya cepat dan penuh kewaspadaan.

Sementara itu, anggota Crimson Veil itu mulai merasa tidak nyaman. Ia memperlambat langkahnya, berpura-pura memeriksa barang dagangannya. "Ada yang mengikutiku?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Sensasi dingin menjalar di tulang punggungnya. "Ini aneh. Padahal aku sudah menyembunyikan aura milikku."

Ia memutuskan untuk menuju gang-gang kecil dan sepi, berharap bisa melepaskan diri dari pengikutnya. Namun, Kaelus, tanpa ragu, terus mengikuti dari kejauhan, langkahnya tetap waspada. Ketegangan mulai terasa di udara saat mereka berdua memasuki area yang lebih gelap.

Anggota Crimson Veil itu berhenti di tengah gang sempit, punggungnya menempel di dinding bata yang dingin. "Aku penasaran siapa yang menyadari keberadaanku," gumamnya, suaranya sedikit bergetar. Ia merasakan tatapan tajam itu semakin dekat. "Aku sudah mengetahui posisimu, sebaiknya kau keluar sekarang," katanya, suaranya terdengar lebih tegas, mencoba untuk menyembunyikan rasa gugupnya.

Dari balik bayangan, Kaelus melangkah maju, menunjukkan wajahnya. "Astaga, sepertinya aku harus mengatakan kalau sensorik keamanan kota ini sudah tidak berfungsi sekarang," katanya, suaranya terdengar sedikit sarkastik. Ia tersenyum tipis, memperlihatkan mata merahnya yang tajam.

Anggota Crimson Veil itu terkesiap. "Astaga, aku tidak menyadari ada yang mendahuluiku di sini," katanya, suaranya terdengar terkejut. "Jadi, apa kau bawahan dari para bangsawan itu?" Ia mengerutkan kening, mencoba untuk menilai kemampuan Kaelus. "Heh... Bukankah kau bangsawan Amanarnthe itu? Apa yang kau lakukan di sini?" Ia tampak sedikit ragu-ragu. "Oh, aku baru ingat, kau telah diusir dari kediamanmu, kan? Tidak disangka kau bersembunyi di tempat tinggal para ternak ini." Nada suaranya terdengar mengejek.

"Memang pantas sih, kau yang seorang vampir bercumbu mesra dengan seorang ternak, Seleramu benar-benar rendahan ya," ujar anggota Crimson Veil itu, suaranya penuh dengan ejekan. Sebuah pisau yang terbuat dari darah pekat muncul di tangannya, bergerak cepat, mengarah ke wajah orang itu. Namun, ia dengan mudah menghindar, pisau itu meleset tipis di samping pipinya.

"Sekali lagi kau mengatakan itu aku akan menghancurkanmu," geram Kaelus, matanya menyala merah. Ia mengayunkan pisau darahnya lagi, kali ini lebih cepat dan lebih akurat.

Orang itu dengan mudah menghindar lagi, senyum sinis terukir di bibirnya. "Aku tidak yakin kau melakukan itu," katanya, suaranya tenang namun penuh dengan ancaman. "Karena kita sudah bersumpah karena orakel bodoh itu." Senyum sinis terlihat di wajahnya.

"Aku mempunyai misi yang penting, bermain denganmu membuang waktu," kata anggota Crimson Veil itu, suaranya dingin. Ia menghilang dengan kecepatan yang mengejutkan, meninggalkan Kaelus sendirian di gang sempit itu. "Jadi sampai jumpa," suaranya terdengar samar dari kejauhan.

Kaelus menghela napas, menatap ke arah tempat anggota Crimson Veil menghilang. "Sial," gumamnya, Ia kemudian memperhatikan sesuatu yang tertinggal di tanah: sebuah potongan kain kecil yang jatuh dari jubah anggota Crimson Veil. Ia mengambilnya, memperhatikan logo Crimson Veil yang terukir di atasnya. "Itu..." matanya melebar. "Apa yang dilakukan mereka di sini..." pikirannya mulai bekerja keras, mencoba untuk menghubungkan semua petunjuk yang ia temukan.

( To be Continued)