Di sisi lain, di kelas Spesialisasi Alkemis, Lilia, dengan sabar menjelaskan prosedur pembuatan ramuan penenang sebagai praktik pertama. Ia menekankan pentingnya ketelitian dalam mengukur bahan-bahan, seperti lemon balm, lavender, dan valerian root ( tanaman akar), serta teknik pencampuran yang tepat untuk menghasilkan ramuan yang efektif dan aman. Ramuan ini, meskipun sederhana, sangat berguna dalam misi Hunter, terutama untuk menenangkan subjek vampir yang agresif atau tidak terkendali.
"Seperti yang kalian lihat," kata Lilia, sambil menunjuk ke labu ukur yang berisi campuran bening, "ramuan penenang ini bergantung pada keseimbangan yang tepat antara bahan-bahannya. Lemon balm memberikan efek menenangkan yang lembut, lavender membantu meredakan kegelisahan, sementara valerian root memiliki efek menenangkan yang lebih kuat, tetapi juga bisa menyebabkan kantuk jika dosisnya berlebihan."
Kai, duduk di bangku laboratoriumnya, terlihat fokus pada penjelasan Lilia. Namun, di balik ekspresi wajahnya yang tenang, pikirannya berputar-putar. Ia mengaduk bahan-bahan ramuan dengan gerakan mekanis, matanya menatap cairan bening di dalam labu ukur, tetapi pikirannya jauh melayang.
"Tunggu, sepertinya aku kenal dengan ramuan ini." Ekspresi wajah Kai tetap datar, tetapi matanya berkilat-kilat, menunjukkan pikirannya yang sedang bekerja keras.
"Teknik pencampuran juga sangat penting," Lilia menambahkan, sambil mengaduk campuran dalam labu ukur dengan gerakan yang lembut dan terukur. "Kita harus memastikan bahwa semua bahan tercampur secara merata, tanpa merusak sifat-sifat alami dari setiap bahan. Penggunaan panas yang berlebihan, misalnya, bisa mengurangi efektivitas ramuan."
Ia berhenti sejenak, menatap para siswa dengan tatapan tajam. "Ramuan ini mungkin terlihat sederhana, tetapi penggunaannya sangat penting dalam misi Hunter. Kita harus selalu memastikan bahwa kita menggunakannya dengan bijak dan bertanggung jawab. Jangan pernah menggunakannya secara berlebihan, dan selalu perhatikan reaksi subjek setelah meminum ramuan ini. Meskipun begitu, ini juga berefek kepada manusia."
Lilia melanjutkan, "Yah, biasanya ramuan ini hanya berguna untuk vampir liar, tentu saja tidak berguna jika untuk tingkat bangsawan." Ia tersenyum tipis, "Jadi, meskipun ramuan ini terlihat sederhana, penggunaannya membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang fisiologi dan psikologi subjek."
"Sudah kuduga, ini ramuan yang diberikan Seraphina waktu itu...!" Ia mengingat ramuan yang diberikan Seraphina ketika ia baru saja datang ke kota ini. Sementara itu, Claire, di bangku sebelahnya, sudah menyelesaikan pembuatan ramuannya lebih dulu. Ia mengangkat labu ukurnya, cairan di dalamnya tampak jernih dan berkilauan. "Sudah selesai...!" seru Claire, dengan nada bangga.
Kai, yang masih merenungkan makna di balik ramuan tersebut, menoleh ke arah Claire. Ia sedikit terkejut dengan kecepatan Claire. "Kau bisa menyelesaikannya secepat itu?!" tanya Kai, sedikit terkesan.
Claire tersenyum, sedikit malu. "Yah begitulah. Aku sudah membuat ramuan ini sebelumnya," jawabnya, sedikit ragu-ragu. "Aku sering membantu nenekku di kebun rempah-rempah. Dia mengajariku banyak hal tentang tanaman dan ramuan. Ramuan penenang ini cukup sederhana, jadi aku sudah terbiasa membuatnya." Ia menambahkan dengan sedikit senyum, "Ini biasa digunakan untuk mengatasi insomnia, tapi tidak kusangka bisa dimanfaatkan seperti itu."
Lilia mendekati Claire, memeriksa ramuan yang telah dibuatnya dengan teliti. Ia mengangguk, terkesan dengan ketepatan dan kecepatan Claire. "Sangat mengesankan," katanya, suaranya penuh pujian. "Aku sudah menduga kau memiliki bakat ketika pengukuran mana. Teruslah berlatih." Puji lilia.
Lilia berjalan ke meja yang lain, mengamati pekerjaan siswa lainnya. Claire masih sedikit tersipu, matanya berbinar. Kai memperhatikan interaksi mereka berdua. "Sepertinya kau sangat mengaguminya ya," kata Kai. Ia memperhatikan Claire yang masih tersipu.
Claire tersentak, wajahnya semakin memerah. "Kelihatan sekali ya?" Ia sedikit gugup, namun tetap berusaha tenang. "Maaf, aku sangat mengagumi Nona Lilia... Dia seorang... Yang hebat."
Cerita kembali di waktu Claire kecil, sekitar tujuh atau delapan tahun, sedang mencari rempah-rempah di hutan dekat rumahnya. Ia tersesat dan secara tak sengaja menemukan sebuah pertarungan antara tim Glaen dan seekor vampir liar. Vampir itu menyerang Claire, melukai lengannya. Claire kecil ketakutan, menangis tersedu-sedu.
Tiba-tiba, tim Glaen berhasil menundukkan vampir itu. Lilia, yang merupakan bagian dari tim tersebut, menghampiri Claire yang terluka dan ketakutan. Lilia menatap Claire dengan tatapan lembut dan penuh belas kasihan. "Kau pasti sangat takut ya?" katanya, suaranya lembut dan menenangkan. Lilia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan berwarna ungu muda. "Minumlah ini, ini akan menyembuhkan lukamu perlahan."
Claire kecil, masih gemetar ketakutan, menerima ramuan itu dari Lilia dan meminumnya. Air mata masih membasahi pipinya, tetapi rasa sakit di lengannya mulai mereda. Ia menatap Lilia dengan mata yang penuh kekaguman dan rasa terima kasih. Lilia tersenyum, mengelus lembut kepala Claire kecil. Itulah pertama kalinya Claire bertemu Lilia, dan sejak saat itu, ia selalu mengagumi Lilia.
Claire tersenyum kecut, mengingat kembali kejadian itu. "Tidak kusangka aku bisa belajar banyak dari beliau, ini suatu kehormatan," bisiknya, suaranya masih bergetar sedikit, tetapi kali ini karena rasa haru dan syukur.
Waktu berlalu dengan cepat. Sinar matahari sore mulai menerobos jendela-jendela kelas, menandakan bahwa waktu kelas hampir berakhir. Lilia, yang telah selesai membimbing siswa-siswanya, berdiri di depan kelas. Ia tersenyum lembut, melihat wajah-wajah siswa yang tampak lelah namun puas. "Baiklah, untuk hari ini cukup sekian, kalian boleh meninggalkan kelas untuk hari ini." kata Lilia, suaranya lembut namun tegas.
"Hah. Untunglah aku menyelesaikannya tepat waktu," kata Kai, mengusap keringat di dahinya. Ia mencium aroma samar dari ramuannya. "Dari aromanya itu memang mirip dengan ramuan yang diberikan oleh Seraphina."
Claire, yang berdiri di dekatnya, tersenyum. "Kerja bagus Kai. Itu permulaan yang bagus." Kai mengangguk, sedikit termotivasi. "Terimakasih, tapi itu tidak sebanding denganmu. Ramuanmu jauh lebih sempurna."
Claire menanggapi dengan tersenyum, mengamati siswa-siswa pelatihan yang mulai berhamburan keluar kelas. Lilia masih sibuk membereskan barang-barangnya di meja, tampak lelah namun puas. "Kalau begitu, sampai jumpa besok Kai." Ia melambaikan tangannya kemudian berjalan meninggalkan kelas.
Kai mengangguk, matanya berbinar karena penasaran. "Baiklah, sampai jumpa. Aku juga berharap begitu. Sampai jumpa besok." Ia meninggalkan kelas dengan langkah cepat, penuh antisipasi.
Lilia memanggil Kai, suaranya terdengar jelas di tengah kesunyian kelas yang kini hanya diisi oleh suara detak jam dinding. "Kai, tunggu."
Kai terkejut, langkahnya terhenti sejenak. Ia menoleh dan melihat Lilia masih berdiri di belakang mejanya, wajahnya menunjukkan keseriusan yang jarang ia lihat sebelumnya. Dengan rasa penasaran, ia berjalan mendekati meja Lilia, berusaha menyusun kata-kata. "Ada apa?" tanyanya penasaran.
Lilia menatapnya, matanya yang tajam seperti ingin menembus pikirannya. "Besok. Apa kau memiliki waktu?" Suaranya tenang, tetapi ada ketegasan yang membuat Kai merasa ini adalah sesuatu yang penting.
Kai mengerutkan kening, sedikit bingung. "Tidak. Aku hanya berencana berburu dan berlatih berpedang. Kenapa?" Ia merasa ada yang aneh dengan cara Lilia memanggilnya.
"Begitukah? Kalau begitu bagus," Lilia berkata, senyumnya menyiratkan sesuatu yang lebih. "Besok temui aku di ruangan ku di penginapan." Kai menaikkan alisnya, dia menatap Lilia sembari kebingungan.
"Kenapa reaksimu begitu?" Lilia tersenyum sinis, dia menopang dagu di tangannya. "Aku hanya ingin mengajarkanmu membuat ramuan penyamaran itu, bukankah itu tujuanmu masuk kelas ini?" Ia mengangkat alis, menantang Kai untuk berargumen. "Aku tidak bisa mengajarkannya di akademi, karena ramuan ini hanya diketahui oleh Glaen dan belum dipublikasikan," Lilia melanjutkan, suaranya kembali menjadi serius.
"Tidak kusangka kau akan mengatakan itu secepat ini," Kai menjawab, sedikit terkejut. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Lilia di balik tawarannya yang tiba-tiba. Ada ketegangan yang tersirat dalam kata-katanya.
"Aku tidak bisa selalu membuat ramuan itu, aku terlalu sibuk dengan penelitianku," Lilia menjelaskan, nada suaranya sedikit lebih lembut. "Jadi, kebetulan besok aku memiliki waktu luang. Jadi aku akan mengajarimu." Ia menatap Kai dengan tajam. "Tidak masalah kan aku mengambil waktu liburmu sehari?"
Kai menghela nafas panjang, merasa sedikit terbebani. "Tidak, aku juga tidak berencana merepotkanmu terlalu lama," jawabnya, mencoba untuk bersikap tenang. "Kalau begitu aku permisi." Ia membungkuk sedikit dan berbalik untuk pergi, meninggalkan Lilia yang masih duduk di mejanya, ekspresi wajahnya tidak terbaca. Lilia hanya menatap kepergian Kai, senyum sinisnya masih tertinggal di wajahnya, seolah-olah ia memiliki rencana lain.
Saat ini di ruangan Glaen, ruangan itu tampak sedikit berantakan, dengan kertas-kertas berserakan di meja dan lantai. Ia terlihat frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia tampak lebih seperti seorang peneliti yang sibuk daripada seorang komandan atau kepala akademi.
"Hah, benar-benar dokumen ini menyebalkan," Glaen menggerutu, melempar pena ke atas meja. Pena itu memantul dan hampir mengenai sebuah cangkir kopi yang sudah setengah kosong. "Lagipula kenapa mereka mempromosikan ku di posisi ini, tidak hanya komandan tapi kepala akademi juga." Ia menghela nafas panjang, bersandar di kursinya, tampak benar-benar kelelahan. Rambutnya yang sedikit berantakan semakin menambah kesan frustasinya.
Suara ketukan pintu, tiga ketukan tajam dan keras, memecah kesunyian ruangan yang dipenuhi aroma kopi dingin dan kertas. Glaen, masih bersandar di kursinya, rambutnya sedikit berantakan, menatap tumpukan dokumen di mejanya dengan ekspresi lelah. "Masuk saja, pintu itu tidak dikunci kok," katanya, suaranya datar, berusaha menyembunyikan sedikit ketegangan.
Pintu itu berderit terbuka, memperlihatkan seseorang berjubah yang berjalan masuk ke ruangan itu. Glaen menegakkan tubuhnya, menyesuaikan kerah kemeja putihnya. Meskipun terkejut, ia berhasil mempertahankan ekspresi tenang dan sedikit sinis. "Astaga, tidak kusangka kau akan datang ke sini," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih tajam dari sebelumnya.
( To be Continued)