Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 44 - ARC 2, 06

Chapter 44 - ARC 2, 06

Para siswa pelatihan spesialisasi pertarungan, bercampur baur antara mereka yang menguasai pertarungan jarak dekat dan jarak jauh, mulai meninggalkan area latihan. Beberapa mengeluh tentang pegal di otot-otot mereka, sementara yang lain masih bersemangat membahas strategi dan teknik yang baru saja mereka pelajari. Suara langkah kaki dan desisan napas berat memenuhi udara, bercampur dengan aroma keringat dan tanah yang khas dari lapangan latihan. Di tengah keramaian itu, Zayn, yang sudah lebih dulu menyelesaikan sesi latihannya, muncul di ruangan spesialisasi pertarungan jarak dekat. Ia mendekati Kai dan Asher yang sedang memasang kembali blazer seragam mereka. Matahari sore mulai tenggelam, memancarkan cahaya jingga yang menerangi area latihan.

"Yo, terimakasih atas kerja kerasnya," sapa Zayn, suaranya ramah dan bersahabat. Ia tersenyum tipis kepada Kai dan Asher. Asher, yang selalu bersemangat, langsung berteriak riang.

"Zayn! Yaho~!" seru Asher, ia langsung menoleh ketika mendengar suara Zayn sembari tersenyum lebar. Zayn tersenyum menanggapi antusiasme Asher, lalu pandangannya tertuju pada Kai. "Terimakasih atas kerja kerasnya Kai," kata Zayn, suaranya sedikit lebih lembut saat berbicara pada Kai. Ia mendekat sedikit, "Bagaimana kelas Spesialisasi pertamamu?"

"Oh, Senior, yah lumayan untuk hari pertama," jawab Kai, dengan nada yang tetap tenang meski ada sedikit kebanggaan dalam suaranya.

"Hei Zayn, kau tahu? Ternyata Kai benar-benar hebat! Dia menang melawan siswa pelatihan tahun pertama yang terkenal itu lho!" Asher tidak bisa menahan antusiasmenya. Matanya berbinar-binar, Zayn mengangkat alisnya, wajahnya menunjukkan rasa terkejut yang nyata. "Benarkah? Tidak disangka," katanya, mengalihkan pandangannya antara Kai dan Asher.

"Itu hanya keberuntungan, Senior." Kai memejamkan matanya kemudian menatap Zayn dengan tersenyum tipis. Zayn memerankan matanya dan menghela nafasnya.

Asher, Zayn dan Kai mulai bergerak menuju pintu keluar ruangan kelas, langkah mereka ringan meskipun sisa-sisa keringat masih terlihat di wajah mereka. Suasana di sekitar mereka terasa hangat dengan cahaya matahari sore yang masuk melalui jendela, memberikan nuansa ceria pada akhir hari yang melelahkan.

"Sepertinya hari ini berpisah di sini ya," kata Zayn, sambil mengatur tasnya di punggung dan melirik ke arah Kai dan Asher dengan senyum.

"Wah, hari ini benar-benar berjalan dengan cepat," Asher menjawab, mengulurkan tangannya dan merenggangkan tubuhnya, mengeluarkan suara mengerang kecil. "Kalau begitu, sampai jumpa Kai!" Ia kemudian mengedipkan mata dengan nakal, menambahkan sentuhan humor pada perpisahan itu.

Kai tersenyum tipis, "Baiklah, sampai jumpa, Senior," katanya, membalas lambaian tangan Zayn dan Asher. Kedua seniornya itu tersenyum kembali, kemudian berjalan menjauh, meninggalkan Kai sendirian di dekat pintu keluar ruangan latihan.

Kai juga mulai berjalan ke arah sebaliknya, langkahnya lebih lambat dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi oleh pertarungan sengit melawan Leon. Bayangan serangan sihir Leon masih terasa jelas di benaknya. Ia kembali merenungkan kejadian tersebut, berbicara pelan-pelan dalam pikirannya.

"Orang yang bernama Leon itu, tidak salah lagi dia menggunakan sihir tanpa menggunakan senjatanya," gumamnya, "Manusia biasa tidak akan bisa melakukan itu. Itu sangat aneh…"

Pikirannya berpacu, mencoba mencari penjelasan logis. "Jangan-jangan dia…!" kemudian ia menggelengkan kepala, "Tidak, tidak. Jika dia vampir, penampilannya berbeda. Kulitnya tidak sepucat itu, dan matanya juga tidak bersinar merah… lagipula Jika dia vampir dia tidak akan berada disana."

Ia mencoba mencari kemungkinan lain. "Apa dia menggunakan ramuan penyamaran sepertiku?" Pertanyaan itu muncul di benaknya, namun ia segera menggeleng lagi.

"Tidak, tidak. Jika itu benar, maka Kael tidak akan mendesakku untuk memberi tahu rahasia ramuan itu," Kai menghela napas panjang, merasa semakin bingung. Ia melewati sebuah tiang penyangga di dekat lobi bangunan yang berada di dekat gerbang Akademi, tanpa menyadari sosok Seraphina yang berdiri di baliknya, memperhatikan Kai dari kejauhan.

Seraphina, yang telah memperhatikan Kai sejak tadi, akhirnya memutuskan untuk menyapanya. Suaranya lembut dan sedikit mengejutkan Kai yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Kau terlihat serius sekali ya, apa sedang memikirkan sesuatu?" tanyanya.

"Seraphina?!" Kai tersentak kaget, berbalik dengan cepat. Ia tidak menyadari keberadaan Seraphina di sana. Wajahnya menunjukkan campuran terkejut dan sedikit malu karena telah melamun tanpa memperhatikan lingkungan sekitar.

"Yo," Seraphina menjawab santai, mengangkat tangannya sedikit sebagai sapaan. Senyum tipis terukir di wajahnya, seolah-olah ia sudah menduga reaksi Kai.

Kai masih sedikit terkejut, "Apa yang kau lakukan di sana?" tanyanya, ia masih belum sepenuhnya pulih dari keterkejutannya. Seraphina tersenyum lebih lebar, "Menunggumu," jawabnya, suaranya lembut dan ramah. "Bukankah sudah lama kita tidak pulang bersama?" Ia menatap Kai dengan tatapan yang hangat dan penuh pengertian, seolah-olah ia memahami pikiran yang sedang menggelayuti Kai.

Kai menghela napas, "Bilang saja ingin mengawasiku?" katanya, nada suaranya terdengar sedikit sarkastik. "Bukankah kau terlalu lama mengabaikan tugasmu itu? Aku kira kau sibuk dengan urusanmu sendiri."

Seraphina terkekeh pelan, "Jahat sekali, jadi kau memandangku seperti itu selama ini?" tanyanya, nada suaranya terdengar geli namun tidak tersinggung. "Yah, aku tidak menyangkalnya," ia mengakui dengan jujur. "Tidak ada salahnya kan? Toh arah dan tujuan kita sama." Senyum Seraphina masih terukir di wajahnya, menunjukkan bahwa ia tidak tersinggung dengan komentar sarkastik Kai.

Kai terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Seraphina. Ia menyadari bahwa, meskipun caranya terlihat seperti pengawasan, mungkin Seraphina memang memiliki niat baik. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. Kemudian, ia mulai berjalan meninggalkan Seraphina, langkahnya lebih ringan dari sebelumnya. Namun, setelah beberapa langkah, ia berhenti dan menoleh ke belakang, suaranya terdengar sedikit lebih lembut daripada sebelumnya. "Kenapa? Katanya ingin pulang bersama?"

Seraphina tersenyum tipis kemudian berjalan menyusul Kai dan menyesuaikan langkahnya dengan langkah Kai. Mereka berjalan berdampingan, meninggalkan Akademi dan memasuki jalan setapak menuju penginapan. Cahaya senja mulai meredup, digantikan oleh kerlap-kerlip bintang yang mulai bermunculan di langit. Suasana menjadi lebih tenang, hanya diiringi oleh suara langkah kaki mereka dan kicauan serangga malam.

Namun, pikiran Kai masih dipenuhi oleh pertarungannya dengan Leon dan kecurigaannya. Ia masih ragu-ragu apakah harus menceritakan kecurigaannya tentang Leon kepada Seraphina atau tidak."Haruskah aku beri tahu Seraphina?" gumam Kai dalam hati, pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. "Tidak, itu keputusan yang gegabah," ia memutuskan dalam hati. "Kurasa merahasiakannya adalah pilihan yang tepat untuk saat ini. Dengan keputusan yang telah diambil, Kai melanjutkan perjalanannya menuju penginapan bersama Seraphina. Percakapan ringan mereka kembali berlanjut, mengurangi beban pikiran Kai.

Sementara itu, di sisi lain akademi, di atas genteng salah satu gedung pelatihan, Leon berbaring santai. Kakinya bersilang, ia memandang langit sore yang mulai berubah warna menjadi jingga dan ungu. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga-bunga dari taman akademi. Ekspresi wajahnya tenang, namun sorot matanya tajam dan penuh perhitungan. Ia termenung memikirkan pertarungannya dengan Kai.

Leon masih memandang langit senja, dengan tajam, "Orang itu," gumamnya, "dia bisa menangkis sihirku seperti itu hanya dengan pedang." Ia terdiam sejenak, merenungkan kekuatan Kai yang berhasil membuatnya sedikit terkejut.

Leon meringkuk sejenak, menutup matanya seolah sedang mengingat kembali pertarungan tersebut. "Aku menggunakan sihir karena terlalu bersemangat," ujarnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia membuka matanya kembali, sorot matanya tajam. "Dia juga terlihat sadar aku menggunakan tipuan dengan senjataku," lanjutnya, suara penuh perhitungan. Sebuah senyum licik muncul di bibirnya.

"Untunglah duel tadi itu dipenuhi oleh debu lapangan pelatihan," ujarnya, suara penuh kelegaan. "Jadi tidak ada yang menyadarinya di luar area duel. Rahasia kecilku masih aman untuk saat ini."

Leon terduduk, punggungnya bersandar pada dinding genteng. Mata tajamnya menatap langit malam yang dihiasi bintang-bintang, namun pikirannya masih terpaku pada pertarungan tadi. Ia mengusap dagunya, seolah sedang mencoba untuk memahami sesuatu yang sulit dipahami. "Aku tidak tahu ada manusia seperti itu," gumamnya, suara berat dan penuh penekanan. Kata-kata itu keluar seperti sebuah pernyataan yang mengejutkan dirinya sendiri. Bayangan Kai dengan pedangnya yang mampu menangkis sihirnya masih terbayang jelas di benaknya. Kekuatan dan kecepatan Kai melampaui apa yang pernah ia lihat sebelumnya.

Ia terdiam sejenak, kemudian menggeleng pelan. Keraguan mulai menggerogoti pikirannya. "Tidak," ia berkata, suaranya sedikit lebih tinggi, menunjukkan ketidakpercayaan yang semakin besar. "Apa dia benar-benar memang seorang manusia? Atau..." Ia berhenti, membiarkan kalimatnya menggantung di udara. Kemungkinan lain mulai muncul di benaknya, kemungkinan yang lebih mengerikan dan menantang.

Leon menghela napas panjang, kemudian berdiri. Angin malam berhembus sepoi-sepoi, membuat rambutnya yang sedikit panjang tertiup dan melayang-layang di sekitar wajahnya. Ia menatap langit malam sejenak, kemudian tersenyum tipis, seolah telah menemukan jawaban atas keraguannya. "Tidak. Itu keputusan yang gegabah," katanya, suaranya terdengar lebih tenang dan yakin. "Lagipula, dilihat dari sisi mana pun, dia benar-benar terlihat seperti manusia." Ia menambahkan kalimat terakhir itu dengan senyum misterius, menunjukkan bahwa ia masih menyimpan rasa ingin tahu dan tantangan yang besar terhadap Kai.

(To be Continued)