Saat ini kawasan paling utara wilayah vampir terkenal dengan bentangan pegunungan yang menjulang tinggi dan hutan lebat yang gelap gulita. Di tengah-tengah wilayah yang terpencil dan suram ini, tersembunyi sebuah markas rahasia milik Crimson Veil, sebuah organisasi vampir yang terkenal sebagai organisasi pemberontak dari kaum vanpir. Markas ini sebuah kompleks bangunan bawah tanah yang tersembunyi di balik air terjun yang deras. Hanya sedikit yang mengetahui keberadaan tempat ini, dan aksesnya dijaga ketat oleh para pengawal elit Crimson Veil.
Di dalam markas, suasana terasa dingin dan mencekam. Lampu-lampu redup menerangi lorong-lorong panjang yang berliku, dinding-dindingnya dihiasi dengan ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan adegan pertempuran dan ritual kuno. Aroma besi bercampur dengan bau tanah lembap memenuhi udara, menambah kesan mistis dan menakutkan.
Di sebuah ruangan besar yang terletak di jantung markas, beberapa anggota Crimson Veil berkumpul. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja bundar besar dari kayu gelap yang tampak kuno. Di atas meja, terdapat beberapa cangkir berisi cairan merah pekat yang mengeluarkan uap tipis. Para anggota Crimson Veil ini mengenakan jubah hitam panjang dengan lambang Crimson Veil yang terukir di dada mereka. Wajah mereka tampak serius dan tegang.
Di ujung meja bundar besar itu, duduk seorang vampir veteran dengan rambut panjang keperakan menjuntai keluar dari penutup kepalanya yang terbuat dari kain beludru hitam. Dia adalah Valerius, Ketua Crimson Veil, aura kekuatan dan misteri terpancar darinya. Matanya, merah menyala seperti bara api, menatap tajam ke arah seorang anggota Crimson Veil yang berdiri tegak di hadapannya.
"Tidak bisa mendapatkan objek satupun maksudmu?!" suara Valerius rendah dan berat, bergema di ruangan besar itu, membuat para anggota Crimson Veil lainnya menegang. Kekecewaan dan kemarahan tersirat dalam nada bicaranya.
"Benar, Lord Valerius," jawab anggota tersebut, suaranya gemetar sedikit di bawah tatapan tajam Valerius. Ia menunduk dalam-dalam, menunjukkan rasa hormat dan juga rasa bersalah. Keheningan menyelimuti ruangan untuk beberapa saat. Hanya suara lilin yang berderak pelan yang memecah kesunyian. Valerius mengusap dagunya yang runcing dengan jari-jari panjangnya, merenungkan laporan tersebut. Ekspresinya sulit dibaca, antara frustrasi dan perhitungan.
"Dasar tidak berguna!" Valerius menggebrak meja dengan tangannya, membuat cangkir-cangkir berisi cairan merah pekat bergetar. "Kali ini siapa yang menganggu? Bangsawan pureblood lagi?" tanyanya, suaranya dipenuhi amarah yang terkendali.
"Itu..." Anggota Crimson Veil itu ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan, "para budak itu dikalahkan oleh manusia Lord." gemetar hebat. Ia tahu bahwa informasi ini akan membuat Valerius sangat marah. Mendengar itu, Valerius dengan gerakan cepat dan penuh amarah, Valerius mengambil sebuah gelas berisi cairan merah pekat dari atas meja. Ia melemparkan gelas itu ke dinding, membuat cairan itu berhamburan dan meninggalkan noda merah yang menjijikkan. Pecahan gelas berhamburan di lantai.
"Dasar para ternak itu!" Valerius berteriak, suaranya menggelegar di ruangan itu. Kemarahannya memuncak. "Sebaiknya mereka bersikap layaknya seperti ternak! Mereka tidak pantas untuk menggunakan sihir! Mereka tidak pantas untuk menghalangi kita!" Ia menggebrak meja lagi, membuat seluruh ruangan bergetar.
Suasana tegang di ruangan itu tiba-tiba terputus oleh bunyi pintu yang terbuka. Seorang vampir tampan dengan rambut hitam panjang dan mata merah gelap memasuki ruangan. Dia adalah Victor, saudara laki-laki Valerius, dan juga salah satu anggota Crimson Veil yang paling berpengaruh. Aura kekuatan yang tenang namun mematikan terpancar darinya, kontras dengan amarah Valerius yang masih membara.
"Oh? Sebaiknya kau mengendalikan sikap tempramentalmu itu, Valerius," kata Victor dengan tenang, suaranya terdengar lembut namun tegas. Ia tidak terpengaruh oleh amarah Valerius. Ia berjalan dengan tenang menuju meja bundar besar itu.
"Kakak!" seru Valerius, terkejut namun sedikit lega dengan kedatangan saudaranya. "Ada apa yang membuatmu datang kemari?" Amarahnya sedikit mereda, digantikan oleh rasa heran.
Victor duduk di salah satu kursi kosong di sekitar meja bundar, menyilangkan kedua kakinya dengan santai. Ia menatap Valerius dengan ekspresi datar. "Dasar, itulah kenapa kau selalu ketinggalan satu langkah," katanya, suaranya masih tenang namun penuh sindiran. Ia tahu bahwa amarah Valerius seringkali mengaburkan penilaiannya.
"Apa maksudmu?" tanya Valerius, mengerutkan keningnya. Ia merasa sedikit tersinggung dengan sindiran saudaranya. Victor menatap Valerius dengan tatapan tajam. "Seven Archdukes melakukan pertemuan beberapa hari yang lalu," katanya, suaranya datar namun penuh makna. Ia tahu bahwa Valerius pasti sudah mendengar desas-desus tentang pertemuan tersebut, namun ia memilih untuk mengabaikannya.
"Lalu? Apa peduliku?" Valerius menjawab dengan acuh tak acuh. Ia belum menyadari pentingnya informasi yang disampaikan Victor. Victor tidak menjawab, ia hanya mengangkat sebelah alisnya. Dengan gerakan cepat dan tepat, ia menggunakan kemampuan manipulasi darahnya – sebuah bentuk telekinesis yang memungkinkannya mengendalikan benda-benda dengan darahnya – untuk menggerakkan sebuah garpu di atas meja menuju Valerius. Garpu itu melayang di udara, berhenti tepat di depan wajah Valerius.
"Itulah kenapa kau ketinggalan jauh," kata Victor dengan tenang, namun suaranya mengandung nada superior. Garpu itu kembali ke tempat semula dengan gerakan halus. "Potongan jiwa fallen angel, Archduke Eusford sudah mengetahui lokasinya." Valerius terkesiap. Ia menyadari bahwa Victor sedang berbicara tentang sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang jauh melampaui masalah manusia yang menggunakan sihir. "Apa? Bagaimana bisa?" suaranya terdengar gemetar, menunjukkan keterkejutan dan sedikit kepanikan.
Ia menatap tajam ke arah para anggota Crimson Veil lainnya yang masih berada di ruangan itu. Mereka tampak bingung dan ketakutan, menyadari bahwa mereka telah menyaksikan percakapan yang seharusnya tidak mereka dengar.
"Kalian semua boleh keluar," perintah Valerius, suaranya terdengar dingin dan tegas. Ia tidak ingin informasi penting ini bocor ke luar. "Aku ingin berbicara hanya dengan kakakku saat ini."
Para anggota Crimson Veil itu segera bangkit dari tempat duduk mereka dan meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa, meninggalkan Valerius dan Victor sendirian di ruangan besar itu. Suasana menjadi lebih tegang dan mencekam. Hanya suara langkah kaki yang menjauh dan derak lilin yang memecah kesunyian.
Setelah para anggota Crimson Veil itu pergi, Valerius menatap Victor dengan ekspresi serius. "Ceritakan semuanya padaku," katanya, suaranya terdengar lebih tenang, namun masih dipenuhi oleh rasa khawatir dan ketegangan.
Victor menatap Valerius dengan tatapan serius. "Potongan jiwa itu... berada di Narnia," katanya, suaranya rendah dan berat. Informasi ini mengejutkan Valerius, bahkan lebih dari yang ia duga.
Valerius terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. Ekspresinya berubah dari terkejut menjadi marah. "Narnia? Bukankah itu tempat tinggal para ternak yang menyebalkan itu?" suaranya dipenuhi oleh amarah dan ketidakpercayaan. "Ini bukan omong kosong seperti di Eldoria 5 tahun yang lalu, kan? Aku bahkan hampir membunuh semua ternak yang ada di sana untuk mencarinya. Dan hasilnya nihil!" Kenangan pahit tentang pencarian yang sia-sia di Eldoria kembali menghantuinya.
Victor menggeleng pelan. "Tidak ada yang tahu pasti," katanya. "Bagaimana potongan jiwa bisa berada di Narnia masih menjadi misteri. Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan." Ia menatap Valerius dengan tatapan penuh perhitungan. "Apa yang kau lakukan dengan informasi ini? Apa kau akan kembali ke rencana awal?" Ia meragukan rencana Valerius yang terkesan gegabah dan penuh amarah.
Valerius mengusap dagunya, merenungkan kata-kata Victor. "Yah, memang benar itu sangat dibutuhkan untuk Eksperimen itu, tapi itu masih bisa dilanjutkan tanpa menggunakan potongan jiwa, asal ada objek pengganti yang tepat," katanya, suaranya masih terdengar sedikit ragu. "Tapi tidak ada salahnya mencoba lagi rencana awal," lanjutnya, suaranya sedikit lebih tegas.
"Terima kasih, Kakak," katanya, menunjukkan rasa hormat kepada Victor. Ia menyadari bahwa Victor telah membantunya berpikir lebih jernih.
Victor menatap Valerius dengan ekspresi datar. "Jadi bagaimana rencanamu selanjutnya?" tanyanya, suaranya terdengar tenang namun penuh antisipasi. Ia ingin melihat bagaimana Valerius akan menghadapi tantangan ini.
Valerius tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh dengan perhitungan. "Yah, kurasa aku akan berjalan-jalan di wilayah para budak itu," katanya, suaranya terdengar penuh percaya diri. Ia merencanakan untuk mengunjungi Narnia secara langsung dan menggunakan kekuatannya untuk mengintimidasi penduduknya.
Victor mengerutkan keningnya. "Kau sendiri yang melakukan itu?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit khawatir. Ia tahu bahwa Valerius bisa sangat impulsif dan berbahaya, dan ia khawatir bahwa Valerius akan membuat kesalahan yang fatal.
Valerius menatap Victor dengan tatapan menantang. "Itu benar, memangnya kenapa?" tanyanya, suaranya terdengar penuh percaya diri. Ia masih yakin bahwa kekuatan dan intimidasi adalah solusi terbaik. Ia belum sepenuhnya memahami kekhawatiran Victor. "Memangnya masalah? Jika ternak itu melawan, kan tinggal membunuhnya saja," lanjutnya, suaranya terdengar meremehkan. Ia menganggap penduduk Narnia sebagai ancaman yang lemah dan mudah dikalahkan.
Victor menghela napas panjang, kecewa dengan sikap Valerius yang keras kepala. "Kau benar-benar tidak belajar dari pengalaman ya, ini yang kau lakukan juga di Eldoria, kan?" katanya, suaranya terdengar sedikit tajam. "Resiko kegagalan akan terjadi lagi." Valerius terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Victor. Ia menyadari bahwa Victor benar. Pengalaman di Eldoria seharusnya menjadi pelajaran berharga, namun ia tampaknya mengabaikannya.
"Tch, baiklah, baiklah," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. Ia tidak ingin berdebat lebih lanjut dengan Victor. "Aku akan menyuruh beberapa anggotaku untuk mencaritahu di sana. Mereka akan mengumpulkan informasi lebih dulu sebelum kita mengambil tindakan." Ia akhirnya setuju untuk menggunakan pendekatan yang lebih hati-hati, meskipun masih dengan sedikit keraguan.
Victor mengangguk pelan, "Itu bagus," katanya, suaranya tenang namun penuh makna. Ia lega karena Valerius akhirnya mau mendengarkan sarannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Victor berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Valerius sendirian.
"Eh, Kakak akan kembali?" Valerius bertanya, suaranya terdengar sedikit ragu. Ia merasa sedikit tidak nyaman ditinggal sendirian.
Victor berhenti di ambang pintu, berbalik untuk menatap Valerius sekilas. "Begitulah," jawabnya, suaranya terdengar tenang. "Terlalu lama meninggalkan wilayah ini tidak baik. Bisa saja ketinggalan informasi yang bagus. Kita harus selalu waspada terhadap pergerakan musuh." Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang sulit diartikan.
"Kalau begitu, aku pergi dulu," kata Victor, kemudian ia benar-benar meninggalkan ruangan, meninggalkan Valerius sendirian dalam keheningan. Valerius menyender ke kursinya yang tinggi, tangannya menggaruk pelan rambutnya yang panjang. Ekspresinya berubah menjadi berpikir keras. "Ini aneh, bagaimana bisa...?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Ia masih merasa bingung dan sedikit tidak percaya dengan informasi yang baru saja ia terima.
Ia terdiam sejenak, merenungkan informasi tentang lokasi potongan jiwa yang berada di Narnia. "Jika itu benar," katanya, suaranya pelan namun penuh perhitungan, "maka kemungkinan potongan jiwa itu ada di Eldoria lima tahun yang lalu adalah benar... tapi kenapa tiba-tiba ada di Narnia? Apa ada yang membawanya...? Atau... apakah potongan jiwa itu sendiri memiliki kemampuan untuk berpindah tempat?" Pikirannya melayang, mencoba mencari penjelasan yang masuk akal.
Valerius menghela napas panjang, mengeluarkan rasa frustrasinya. "Ah, ntahlah, aku tidak ingin berpikir lebih banyak lagi," katanya, suaranya terdengar sedikit putus asa. Ia merasa kewalahan dengan misteri yang mengelilingi potongan jiwa. Pikirannya terlalu banyak yang harus diproses.
Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangan itu. "Saatnya menugaskan seseorang untuk mengamati di Narnia," katanya, suaranya terdengar lebih tegas. "Sebelum Bangsawan Pureblood sialan itu mendapatkannya lebih dulu."
( To be Continued)