Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 38 - ARC 1, 38

Chapter 38 - ARC 1, 38

Seminggu setelah kejadian tersebut, kedamaian kembali tercipta. Untungnya, informasi mengenai insiden itu tidak sampai bocor ke masyarakat sipil. Kejadian itu berhasil ditutup rapat-rapat. Kejadian itu mendorong Kai untuk lebih giat berlatih dengan berdalih berburu, dan kemampuan pedangnya pun meningkat pesat.

"Kurasa kali ini sudah cukup," gumam Kai. Dengan hati-hati, Kai memindahkan darah hewan buruannya ke dalam botol kecil yang selalu dibawanya. Setelah botol itu penuh, ia meletakkan botol tersebut di sampingnya.

"Kemampuan anda semakin hari semakin meningkat, tuan," komentar Solon, suaranya dingin dan mekanis seperti gesekan logam.

Kai meletakkan botol itu dengan hati-hati di atas rumput yang lembap. Ia mengambil pisau yang sudah diasahnya hingga berkilau, matahari sore memantulkan cahaya ke permukaan baja yang dingin. Gerakan tangannya memotong daging buruan terasa begitu alami, seperti sebuah tarian yang sudah berulang kali ia latih. Setiap sayatan bersih dan tepat, daging terlepas dengan mudah dari tulang.

"Begitukah? Aku juga merasakan sedikit lebih lincah sekarang, ini bukan ulahmu lagi kan, Solon?" tanyanya, suara sedikit ragu, mengingat kejadian sebelumnya di mana emosinya memuncak dan memberikan sebagian mananya pada Solon.

"Tidak, ini semua adalah murni karena usaha anda," jawab Solon, suaranya datar dan tanpa emosi. "Apa kali ini anda ingin menjual dagingnya lagi?"Kai menggeleng pelan, "Kurasa tidak. Aku berencana memberikan ini kepada Lilie untuk santapan orang-orang di penginapan. Uang yang kudapat dari hasil berburu sebelumnya juga masih ada."

"Saya benar-benar tidak terpikirkan anda melakukan itu, tuan," kata Solon, suaranya terdengar sedikit terkejut.

Kai tersenyum tipis, melihat hasil buruannya yang siap dibagikan. Ia menambahkan, "Aku hanya butuh darahnya, walaupun dagingnya bisa kumakan itu tidak ada artinya. Jadi daripada hewan ini membusuk sia-sia kurasa lebih baik dijual. Itu juga menghargai kehidupan mereka. Dan kuingat-ingat juga aku selalu merepotkan Seraphina, apalagi bayaran penginapan itu lumayan." Ia melanjutkan pekerjaannya, memotong daging buruan dengan gerakan yang semakin terampil dan pasti.

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat saat Kai berjalan pulang ke penginapan, membawa daging buruan yang telah ia bersihkan dan botol berisi darah. Cahaya jingga menerangi jalan setapak yang ia lalui, membuat bayangannya memanjang di tanah. Ia membuka pintu penginapan, lonceng kecil di atas pintu berbunyi nyaring.

Lilie, dengan rambutnya yang terikat rapi dan senyum ramah, sedang duduk di meja resepsionis, sedang mencatat sesuatu di buku besar. Ia mendongak saat mendengar lonceng berbunyi.

"Kai, selamat datang. Kau berburu lagi hari ini?" Suaranya ceria, menunjukkan rasa senang melihat Kai kembali.

Kai tersenyum, kelelahan setelah seharian berburu masih terasa, tapi ia merasa puas. Ia meletakkan tas kecil berisi uang di atas meja, lalu membuka bungkusan kain yang berisi daging buruan. Aroma daging segar memenuhi ruangan kecil itu. "Yah begitulah," katanya, suaranya sedikit serak. "Ini biaya penginapan ku, dan daging hasil berburuku tadi, tidak banyak tapi kurasa cukup untuk makan malam." Ia meletakkan bungkusan itu di samping uang.

Mata Lilie berbinar-binar. "Oh? Terimakasih Kai, ohh terakhir kali aku mencoba daging itu daging yang ditangkap olehmu beberapa hari yang lalu. Rasanya sangat lezat! Aku akan mengolahnya dengan baik." Ia mengusap tangannya ke celemek, siap untuk mengambil daging itu. "Tapi penginapannya sudah diatasi sama Kak Seraphina." Ia menjelaskan.

"Anggap saja untuk biaya bulan depan," kata Kai, tersenyum sedikit canggung. Ia menggeser uang di atas meja mendekati Lilie. "Aku merasa tidak enak dengan Seraphina jadi..." Ia menunduk sedikit, menunjukkan rasa hormatnya kepada Lilie. "Rahasiakan ini darinya ya. Aku tidak ingin dia merasa direpotkan."

Lilie tertawa kecil, menunjukkan keakraban mereka. "Oh? Baiklah," katanya, mengangguk mengerti. Ia mengambil uang itu dengan senyum hangat. "Kalau begitu aku terima ya. Terima kasih banyak, Kai." Dengan cekatan, Lilie mengambil bungkusan daging dari meja, aroma harum daging segar langsung memenuhi hidungnya. Ia tersenyum puas, lalu bergegas menuju dapur, langkahnya ringan dan penuh semangat.

Sementara itu, Kai berpamitan singkat kepada Lilie, lalu bergegas menuju kamarnya. Ia membuka pintu kamarnya, meletakkan ranselnya, dan segera mengganti pakaiannya yang basah keringat dengan pakaian yang lebih nyaman.

Cahaya senja telah lama berlalu, digantikan oleh kegelapan malam. Hanya cahaya lampu minyak yang menerangi lorong-lorong penginapan. Kai baru saja selesai mengganti pakaiannya ketika ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya. "Seraphina...?" Kai bertanya, sedikit terkejut. Ia membuka pintu dan melihat Seraphina berdiri di ambang pintu, wajahnya tampak sedikit lelah, tetapi senyum ramah tetap terpancar darinya.

"Lilie meminta tolong kepadaku untuk memanggil makan malam, kau bisa menurutinya kan?" Suaranya lembut, menunjukkan kelembutannya. "Dia sudah menyiapkan makanan spesial dari hasil buruanmu hari ini."

Kai tersenyum kecil. "yah, kurasa bisa. Aku masih bisa memakannya, jika aku menolak itu akan membuatnya sedih." Seraphina tersenyum lega. "Kau paham ternyata." Ia menghela napas pelan. "Ayo," Ia menunjuk ke arah ruang makan. "Lilie sudah sangat menunggumu."

"Aku akan menyusul setelah meneteskan ramuan itu," kata Kai, ia tersenyum tipis. Senyumnya menyiratkan rasa percaya diri meski ada sedikit keraguan di matanya. Seraphina memejamkan matanya sejenak, kemudian berbalik badan, "Baiklah, aku paham. Kalau begitu aku duluan." Ia melangkah pergi dengan lembut, meninggalkan Kai dalam suasana yang tenang.

Setelah Seraphina pergi, Kai kembali ke ruangannya. Ia menutup pintu sambil menghela napas, merasakan ketegangan yang perlahan menghilang. Ia mencari botol kecil berisi ramuan di atas meja yang berantakan. Menemukan botol itu di antara tumpukan kertas dan alat tulis, ia mengangkatnya dengan hati-hati.

Ketika melihat isinya, Kai merasakan sedikit kegugupan. Ia berniat meneteskan ramuan itu ke mata dan taringnya, tetapi saat membuka tutup botol, ia menyadari bahwa ramuan itu tinggal sedikit lagi.

Hanya tersisa beberapa tetes di dasar botol, membuatnya merasa frustrasi. "Kurasa aku terlalu sering menggunakan ini," gumam Kai, menyesali keputusannya menggunakan ramuan itu terlalu boros. Ia mengusap dahinya yang berkeringat. Ia menatap botol kecil itu dengan tatapan penuh penyesalan.

"Yah itu tidak masalah, aku akan bertanya bahan-bahannya kepada Lilia di kelas Alkemis besok," katanya, suaranya sedikit lebih ceria.

Setelah bertekad, Kai segera menyusul Seraphina menuju meja makan. Begitu ia memasuki ruangan, ia melihat Seraphina, Lilie, Lilia, dan beberapa orang lain yang berada di penginapan itu. Suasana hangat dan penuh tawa menyambutnya. Ia berjalan mendekati meja tempat Seraphina, Lilie, dan Lilia duduk. Namun, ia terkejut melihat Lilia berada di sana, menikmati makan malam bersama mereka.

"Kenapa ekspresi mu seperti itu? Apa aneh aku makan malam di rumahku?" tanya Lilia, suaranya datar, tanpa sedikitpun nada ramah. Nada bicaranya terasa dingin, menciptakan jarak di antara mereka.

"Ah tidak, aku hanya terkejut," jawab Kai, suaranya sedikit gemetar. Ia berusaha untuk tetap tenang, namun tangannya gemetar saat ia menarik kursi dan duduk di samping mereka. Ia merasa tidak nyaman dengan tatapan dingin Lilia.

"Kakak, sudah kubilang untuk tidak berbicara seperti itu kepada Kai. Dasar, sebenarnya siapa yang dewasa di sini?" Lilie menyela, suaranya lembut, namun matanya tajam menatap Lilia. Ia berusaha untuk mencairkan suasana yang telah menegang.

"Tidak Lilie, ini karena dia membuat daging yang kau masak ini menunggu," Lilia akhirnya mengalihkan pandangannya dari Kai, namun ekspresi dinginnya masih terlihat jelas. Ia mengambil sepotong daging, memakannya dengan tenang.

Keheningan masih menyelimuti meja makan. Kai masih merasa tidak nyaman di bawah tatapan dingin Lilia. Tiba-tiba, Lilie bersuara, "Begitu ya?" suaranya lembut, namun sedikit bernada menggoda. Ia menatap Lilia dan Kai bergantian. "Itu benar juga, Makanan itu enak dimakan ketika hangat." Ia mengambil sepotong daging panggang dan memakannya dengan lahap, mencoba untuk mencairkan suasana tegang. Seraphina tersenyum tipis, menunjukkan dukungannya kepada Lilie.

Lilie dan Seraphina tampak lahap menyantap hidangan yang tersedia, tawa dan cerita mereka memenuhi ruangan. Begitupun dengan Lilia dan Kai. Kai mencoba memotong daging itu dan memasukkannya ke mulutnya, "Ugh benar-benar hanya terasa di lidah." Pikir Kai sembari menelan daging itu. Suasana makan malam yang awalnya tegang kini mulai mencair. Mereka hampir mengambiskan makanan masing-masing.

Lilia membuka pembicaraan, "Oh ya, untuk spesialisasi kau memilih Alkemis juga?" suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. "Ya, kurasa aku ingin mempelajari itu," jawab Kai, merasa sedikit lega karena Lilia memulai percakapan.

"Oh, aku benar-benar tidak menyangka," seru Seraphina, suaranya terdengar sedikit terkejut. "Aku baru mendengar ini." Lilia menatap Kai intens, "Apa karena ramuan itu? Aku bisa membuatkannya lagi jika kau mau." Nada bicaranya terdengar mengancam.

"Tidak, aku tidak ingin terlalu merepotkanmu," jawab Kai, tetapi ia merasa tidak nyaman. "Aku juga tidak tahu kapan aku akan berada di sini, setidaknya buat persiapan aku bisa membuat itu sendiri, dan memberikan resepnya kepada Kael untuk pembelajaran manipulasi darah." Pikir Kai.

"Yah, aku tidak masalah dengan itu," kata Lilia, suaranya masih datar, namun ada sedikit kelembutan yang tersirat. Ia menatap Kai dalam-dalam, seakan-akan menyampaikan pesan tersembunyi. "Ini adalah teknik yang ditemukan dan dikembangkan oleh Manusia, kuharap kau tidak memberi tahu ini kepada siapa pun ketika sudah mempelajarinya."Terimakasih makanannya, Lilie," katanya, sambil mengelus rambut Lilie dengan lembut. "Masakan adikku ini selalu saja enak." Ia berdiri dari tempat duduknya kemudian meninggalkan meja makan.

Kai mengangguk, ia mengalihkan pandangannya. "Maaf tapi aku memberitahukan ini kepada kaelus. Tapi hanya ramuan penyamaran itu saja." Pikir Kai. Lilie mulai membereskan meja makan itu dan membawa sisanya ke dapur.

"Aku tidak bisa mengawasimu ketika kelas spesialisasi, aku memilih pertarungan jarak jauh," kata Seraphina, suaranya terdengar tenang namun penuh keyakinan. "Jadi jangan membuat masalah ya," lanjutnya, nada bicaranya berubah menjadi sedikit mengejek, seolah-olah menganggap Kai tidak akan berani melakukan hal itu.

"Aku mengerti itu, kau pikir aku ini anak-anak berusia 5 tahun?" Kai menjawab dengan nada kesal, mencoba menunjukkan bahwa ia tidak bisa diremehkan. "Aku akan berhati-hati, jangan khawatir." Ia menambahkan dengan sedikit senyum, mencoba meredakan ketegangan.

Seraphina mengangkat alisnya, seakan-akan sedikit terkesan dengan keberanian Kai. "Baiklah," katanya, suaranya terdengar sedikit kagum. "Aku percaya padamu." Ia tersenyum tipis.

( To be continued)