Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 33 - ARC 1, 33

Chapter 33 - ARC 1, 33

Kai mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Kenangan akan serangan lima tahun lalu kembali menghantuinya, memicu luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Gelombang panas tiba-tiba menyapu tubuhnya, menimbulkan rasa mual yang hebat. Dadanya terasa sesak, seakan-akan ada sesuatu yang berat menekan organ vitalnya. Wajahnya memucat, keringat dingin membasahi dahinya. Ia meringkuk, tangannya memegangi dadanya yang terasa nyeri.

Tubuhnya bergetar hebat, dan tanpa bisa dicegah, seteguk darah segar menyembur keluar dari mulutnya, mewarnai tanah di bawah kakinya. Tubuhnya lemas, lututnya hampir tak mampu menopang berat badannya. Dengan susah payah, ia bersandar pada dinding gang yang dingin dan lembab, mencoba untuk mengatur napas.

"Sial, aku terlalu banyak menggunakan Mana," gumamnya, suaranya lemah dan hampir tak terdengar. Kai terbatuk lagi, seteguk darah segar kembali keluar dari mulutnya. "Tuan, anda benar-benar sudah memaksakan diri." bisik Solon di dalam pikiran Kai, suaranya terdengar khawatir dan mendesak.

Kai menghela napas panjang, mencoba untuk menenangkan diri. "Aku tahu itu," jawabnya dalam pikiran, suaranya lemah dan hampir tak terdengar. "Emosiku meluap begitu saja ketika melihatnya."

Disisi lain, Seraphina dan pasukannya baru saja sampai di kota setelah menjalankan misinya, ia dan pasukannya saat ini berada di alun-alun kota. Ia merasakan adanya energi Mana yang tidak biasa, menunjukkan bahwa telah terjadi pertarungan di dekat sini. "Ada urusan yang harus aku selesaikan, kalian boleh bubar sekarang," ucap Seraphina kepada bawahannya, suaranya tegas dan penuh otoritas. "Kecuali Asher dan Zayn. Kalian ikut denganku," lanjutnya, menunjuk Asher dan Zayn, mereka hanya bisa mengangguk.

Seraphina bersama Asher dan Zayn berpencari di antara gang di kota dan alun-alun untuk mencari tau apa yang terjadi, Hingga akhirnya, di sebuah gang yang gelap dan sunyi, ia menemukan seseorang yang bersandar di dinding dan seseorang wanita yang tergeletak di sisi lain, tubuhnya tampak lemah dan berlumuran darah. Seraphina segera mengambil senjatanya, sebuah pistol yang tersimpan rapi di sarungnya. Ia mengacuhkan pistol itu, menganggapnya tidak perlu untuk situasi ini. Bayangan orang itu semakin jelas, terlihat samar-samar di bawah cahaya bulan yang redup. Seraphina membulatkan matanya, mengenali sosok yang bersandar di dinding itu. Itu adalah Kai.

"Kai! Apa yang kau lakukan di sini?" Seraphina berlari menghampiri Kai, suaranya penuh dengan kekhawatiran. Ia berlutut di samping Kai, menilai kondisinya dengan hati-hati.

Kai membuka matanya, tatapannya kosong dan lemah. Karena pertarungan itu, Hasrat vampirnya mulai muncul, mendorongnya untuk mencari darah. Namun, ia berusaha untuk menahannya, ia tidak boleh kehilangan kendali. Ia harus... Ia terdiam sejenak, mencoba untuk mengendalikan emosinya.

"Seraphina... Tidak punya banyak waktu lagi," gumam Kai, suaranya lemah dan hampir tak terdengar. Mata merahnya mulai bersimnar, menunjukkan bahwa ia sedang berusaha keras untuk menahan hasrat vampirnya. "Kau harus membuatku pingsan sekarang."

"Apa maksudmu?" Seraphina bertanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran. Ia melihat keadaan Kai, dan ia mengerti apa yang terjadi. "Kau sudah paham bukan, tunggu apa lagi, bukankah ini salah satu tugasmu sebagai pengawasku?" ujar Kai, suaranya penuh urgensi meskipun lemah. Ia merasakan hasrat vampirnya semakin menguat, dan ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menahannya lebih lama.

Seraphina memandang Kai dengan tatapan khawatir, hatinya bergejolak. Ia merasa ragu sejenak, tetapi tekadnya untuk melindungi Kai lebih kuat daripada ketakutannya. "Baiklah, Kai. Kalau begitu, maafkan aku," katanya, suaranya lembut tetapi tegas.

Dengan gerakan cepat, tanpa banyak bicara, Seraphina dengan cepat dan tepat memukul bagian belakang leher Kai. Bukan pukulan keras yang melukai, tetapi pukulan terukur dan terarah, mengarahkan tepat pada titik yang akan membuat Kai pingsan tanpa menimbulkan cedera serius.

"Terimakasih, aku akan membalas ini lain kali." Kai terhuyung, tubuhnya limbung sebelum akhirnya jatuh ke tanah dalam keadaan pingsan. Seraphina segera menopang tubuhnya agar tidak terbentur keras. Asher dan Zayn, yang telah mengikuti dari belakang, segera berlari menghampiri mereka. Ekspresi khawatir tergambar jelas di wajah keduanya. Mereka telah menyaksikan kejadian tersebut dari kejauhan. "Kapten, ada apa yang terjadi?!" seru Zayn, suaranya dipenuhi kekhawatiran.

Seraphina melirik sebentar ke arah Zayn sebelum kembali fokus pada Kai yang tak sadarkan diri di pangkuanya. "Ada pertarungan yang terjadi di sini beberapa menit yang lalu," jawabnya, suaranya terdengar lelah namun tetap tegas. "Tapi pelakunya sudah kabur sekarang."

"Begitu ya," kata Asher, mengamati sekeliling gang yang gelap dan sunyi. Ia memeriksa setiap sudut, memastikan tidak ada bahaya yang mengintai. "Ngomong-ngomong, Kapten, siapa pria yang berada di pangkuan Anda itu?" tanyanya, suaranya sedikit penasaran. "Oh, dia siswa pelatihan di akademi," jawab Seraphina, "Kalian sudah bertemu dengannya beberapa hari yang lalu. Namanya Kai."

"Ah, jangan bilang pria misterius yang Anda bawa dari misi sebelumnya?" tanya Zayn, seketika mengerti. "Sekarang aku mengerti kenapa Anda berada di akademi beberapa hari ini."

"Jangan membuatku seolah aku orang yang mencurigakan," lanjutnya, suaranya sedikit meninggi, namun bukan karena marah, melainkan karena kelelahan dan kekhawatiran yang sudah menumpuk. Ia menghela napas pendek, mencoba menenangkan diri. "Asher, gendong dia. Ada yang ingin aku bicarakan dengannya setelah dia sadarkan diri." Ia menatap Asher dengan tatapan yang meminta pengertian dan bantuan.

Asher tampak bingung, memandang Kai dan Seraphina bergantian. Melihat ini Seraphina mengerutkan keningnya dan menaikan alisnya, "Kenapa? Kau tidak ingin melakukannya? Kalau begitu aku yang—" ucap Seraphina berusaha menggendong Kai di pundaknya terpotong oleh Asher.

"Tidak-tidak, saya akan melakukannya, Kapten," kata Asher, segera menggendong Kai dengan hati-hati, mencoba untuk mengangkat tubuh Kai dengan gerakan yang terampil dan lembut. Ia tahu bahwa ia tidak boleh menolak perintah Kaptennya. Setelah Asher menggendong Kai dengan hati-hati, menyesuaikan posisi tubuh Kai agar senyaman mungkin di punggungnya, Zayn menoleh ke arah Seraphina.

Zayn menelan ludah, mencoba untuk menghilangkan sedikit rasa gugup yang ia rasakan. Ia tahu bahwa situasi ini sangat serius. Dengan suara yang sedikit ragu, ia bertanya, "Ngomong-ngomong, Kapten, ke mana harus membawa dia?" Ia menunjuk ke arah Kai yang tak sadarkan diri di punggung Asher.

Seraphina melirik sekilas ke arah Zayn, tatapannya tajam dan penuh perhitungan. Ia tidak ingin membuang waktu dengan percakapan yang tidak perlu. Ia menjawab dengan singkat dan padat, suaranya terdengar sedikit dingin dan penuh otoritas, "Penginapan yang ada di ujung kota," ujarnya, nada suaranya tidak menunjukkan banyak emosi. Ia melanjutkan, "Kalian sudah tahu tempatnya kan?" Pertanyaannya lebih merupakan penegasan, menunjukkan bahwa ia berharap Asher dan Zayn tidak akan bertanya lagi.

Asher dan Zayn mengangguk, memahami arahan Seraphina. Mereka mulai berjalan menuju penginapan yang dimaksud, langkah kaki mereka tergesa-gesa namun tetap terkoordinasi. Seraphina hendak menyusul, namun dia berbalik untuk mengecek wanita yang tergeletak disana, dia tidak bisa ditolong, dari lukanya Seraphina menaikkan alisnya, "Sepertinya ini gigitan vampir, Kai tidak mungkin melakukanya apa ada vampir lain yang melakukan ini?" Ia menghela nafasnya kemudian mendoakan wanita itu.

"Aku akan meminta seseorang untuk mengurusnya nanti, " Gumamnya, ia hendak menyusul Asher dan Zayn namun matanya menangkap sesuatu yang berkilauan di tanah—sebuah pedang dengan permata emerald yang tertancap di gagangnya. Cahaya dari permata itu memantul di matanya, menarik perhatiannya. Ia menunduk, mengambil pedang tersebut.

"Pedang siapa ini?" gumam Seraphina, mengamati pedang tersebut dengan seksama. Ia memutar-mutar pedang itu di tangannya, merasakan keseimbangan dan beratnya. "Apa ini milik Kai?" Ia mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-ingat apakah ia pernah melihat pedang seperti ini sebelumnya. "Yah, untuk sementara aku bawa dulu," putusnya, menaruh pedang tersebut ke dalam sarung pedangnya sendiri. Setelah itu, ia menyusul Asher dan Zayn menuju penginapan.

Disisi lain, Ferid dan Lacius sudah kembali ke mansion Alfred untuk melaporkan yang di amati di Narnia sebelumnya. Fred, dengan postur tegap dan langkah pasti, diikuti Lacius dibelakangnya melewati halaman mansion yang luas. Sesampainya di pintu ruang kerja Alfred, Ferid mengetuk pintu tiga kali dengan ritme yang teratur. Suara ketukan itu terdengar nyaring di tengah kesunyian mansion. Setelah beberapa saat, suara berat Alfred mengizinkan mereka masuk. Ferid membuka pintu, menunjukkan Lacius untuk masuk di belakangnya.

Fred dan Lacius berdiri tegap di hadapan Alfred, siap menyampaikan laporan mereka. Alfred, dengan tenang mengamati keduanya, tatapannya tajam dan penuh perhitungan. Setelah beberapa saat hening, Alfred membuka suara, suaranya berat dan berwibawa, "Kau sudah kembali? Aku tidak menyangka kau kembali secepat ini." Nada suaranya datar, tidak menunjukkan emosi yang berarti.

Fred membungkuk hormat, "Benar, Yang Mulia," jawabnya, suaranya tegas dan lugas. "Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada Anda." Ia merasakan beban tanggung jawab yang berat di pundaknya. Ia harus menyampaikan informasi ini dengan akurat dan detail.

Alfred mengangguk pelan, "Kau boleh berbicara." Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya tetap tertuju pada Fred. Ia menunggu dengan sabar, tanpa menunjukkan rasa tidak sabar.

Fred menarik napas dalam-dalam, kemudian mulai menyampaikan laporan mereka. "Saya menemukan jejak Vampir di Narnia, Yang Mulia," lapornya, suaranya tenang namun tegas. Ia menyampaikan informasi tersebut dengan lugas dan jelas, tanpa basa-basi. Alfred mengangkat alisnya, "Oh? Apa kau mengenalnya? Dari faksi mana?" Ia menunjukkan ketertarikannya, namun tetap menjaga ketenangannya.

Fred menggeleng, "Tidak, Yang Mulia. Saya tidak mengenalnya," jawabnya, "Tapi dia masuk ke tempat organisasi manusia itu. Saya ingin mengikutinya, tapi tidak disangka ada pelindung yang sangat kuat di sana. Jadi, saya menyelediki di gang-gang Narnia dan menemukan toko yang mencurigakan, dan mencium aroma Vampir juga di sana. Saya ingin menyelidiki lebih lanjut, tapi mendengar bawahan saya sedang bertarung dengan seseorang di sana." Ia berhenti sejenak, menunggu reaksi Alfred.

Alfred, dengan wajah serius, mengamati Fred sejenak sebelum melanjutkan, "Kalau begitu, bisa kau jelaskan lebih lanjut?" Suaranya menunjukkan ketertarikan, dan ia beralih menatap Lacius yang berdiri di samping Fred.

Lacius, yang merasa dipanggil, segera mengambil kesempatan untuk menjelaskan. "Tentu saja, Yang Mulia. Sebelumnya, perkenalkan nama saya Lacius, bawahan dari Tuan Fred." Suaranya terdengar jelas dan penuh hormat. "Dia mengetahui sihir penyamaran, Yang Mulia. Kupikir dia manusia saat itu, tetapi tiba-tiba penampilannya berubah dan langsung menyerang saya."

Alfred mengerutkan keningnya, seolah mencoba mencerna informasi baru ini. "Aku sudah bilang kepada Ferid untuk tidak membuat masalah. Apa kau tidak mendengarnya?" Nada suaranya mengandung sedikit penekanan, mencerminkan kekhawatirannya terhadap potensi konflik yang dapat muncul.

"Tentu saja, Yang Mulia," jawab Lacius, berusaha mempertahankan ketenangannya. "Tuan Fred telah mengatakan itu beberapa kali kepada saya, tetapi dia yang menyerang saya terlebih dahulu. Saya hanya melakukan pembelaan diri." Ia merasa perlunya menjelaskan posisinya, agar tidak terlihat seperti menyalahkan Fered.

Lacius mengangguk, berusaha mengingat kembali pertarungan itu. "Dia menyerang saya dengan teknik berpedang dan sihir biasa. Dari pengamatan saya, dia tidak bisa menggunakan manipulasi darah," jelasnya, suaranya tegas dan penuh keyakinan. Ia ingin memastikan bahwa laporan mereka akurat dan memberikan gambaran yang jelas tentang situasi yang mereka hadapi.

Alfred mengangguk perlahan, wajahnya masih serius namun menyiratkan rasa puas atas laporan yang diberikan oleh Ferid dan Lacius. "Begitu. Kerja bagus. Laporan kalian aku terima," ujarnya, suaranya mantap dan penuh otoritas. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, memikirkan semua informasi yang telah mereka sampaikan.

Alfred melanjutkan, "Kalian bisa melanjutkan tugas kalian kembali." Ia memberikan izin kepada mereka, menunjukkan bahwa mereka dapat melanjutkan misi mereka yang lain. Dengan penuh rasa hormat, Ferid dan Lacius membungkuk sebelum meninggalkan ruangan. Mereka merasa lega bahwa laporan mereka diterima dengan baik dan siap untuk melanjutkan misi berikutnya. Dengan langkah pasti, mereka beranjak dari ruang kerja Alfred, bersiap untuk menjalankan tugas mereka di luar mansion yang megah itu.

Alfred duduk termenung di balik meja kerjanya yang besar, menatap keluar jendela yang menampilkan pemandangan taman yang indah. Ia menghela napas pelan, "Mereka belum bisa menemukannya ya," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Ia merujuk pada informasi rahasia yang selama ini ia cari.

Ia kembali bersandar pada kursinya, menatap langit senja yang mulai gelap. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya. "Yah, tidak masalah," ujarnya, suaranya sedikit lebih lantang. "Lagipula, ini informasi yang menarik."

( To be Continued)