Disisi lain, Asher, Zayn dan Seraphina sudah sampai di penginapan. Seraphina mengarahkan Asher untuk naik ke lantai atas. Mereka menaiki tangga kayu yang kokoh, suara langkah kaki mereka bergema di penginapan itu. Asher, dengan hati-hati membaringkan Kai di ranjang yang empuk di penginapan sederhana itu.
Seraphina mengambil kursi kayu yang kokoh dari sudut ruangan dan mendekatkannya ke samping ranjang. Kursi itu sedikit berderit saat ia menariknya, suara yang nyaring di ruangan yang sunyi. Ia duduk perlahan, tubuhnya sedikit lelah namun tetap tegak. Seraphina mengulurkan tangannya, menyentuh lembut jari-jari Kai. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa ia harus sabar, menunggu Kai untuk siuman.
"Kapten, apa perlu memanggil dokter?" tanya Zayn lagi, suaranya sedikit ragu-ragu. Seraphina melirik sekilas ke arah Zayn dan Asher, kemudian kembali menatap Kai. Di dalam hatinya, ia menganalisis luka-luka Kai dengan teliti. "Melihat lukanya tidak separah sebelumnya, sepertinya regenerasi di tubuh Kai mulai bekerja." Ia berbicara di pikirannya.
"Tidak perlu," jawab Seraphina, suaranya tenang namun tegas. Ia berusaha untuk menyembunyikan kekhawatirannya. "Aku yakin dia akan sadar sebentar lagi. Kerja bagus kalian berdua. Kalian boleh keluar. Bukankah dia akan terbebani jika sadar nanti dan melihat kalian masih di sini?" Ia menambahkan kalimat terakhir dengan nada lembut.
Asher dan Zayn saling bertukar pandang sebelum mengangguk patuh. Mereka mengerti bahwa Seraphina ingin memberikan Kai privasi dan ketenangan untuk pulih. Dengan hati-hati, mereka meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan perlahan, meninggalkan Seraphina sendirian bersama Kai. Keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Seraphina menghela napas panjang, udara dingin memenuhi paru-parunya. Ia menatap wajah Kai, mengamati setiap detailnya dengan seksama. Mata Kai masih terpejam, namun bibirnya sedikit terbuka, seakan-akan ia sedang berjuang untuk mengatakan sesuatu. Tiba-tiba, sebuah suara aneh, seperti bisikan angin yang menusuk, muncul di benaknya. Suara itu bukan berasal dari dunia nyata, melainkan langsung masuk ke dalam pikirannya.
"Hei gadis rambut merah," suara itu berbisik, suara yang terdengar lembut namun dengan nada yang sedikit mendesak. "Aku ingin meminta bantuanmu." Seraphina tersentak kaget. Ia menarik tangannya dari genggaman Kai, matanya membulat. Ia menunduk, memeriksa sekeliling ruangan, mencari sumber suara tersebut. Namun, tidak ada siapa pun di ruangan itu selain dirinya dan Kai.
"Siapa...?" bisik Seraphina, suaranya hampir tak terdengar. Ia merasa bulu kuduknya merinding, sebuah firasat buruk muncul dalam hatinya.
Suara itu melanjutkan bisikannya, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. "Tidak perlu tahu siapa aku. Saat ini Tuan membutuhkan darah hewan yang ia buru beberapa hari yang lalu. Jika tidak, setelah dia sadar nanti, dia benar-benar tidak bisa menahannya." Kata-kata itu terasa seperti perintah, namun dibungkus dengan nada yang memohon. Ada keputusasaan yang tersirat dalam suara itu, sebuah rasa urgensi yang mendesak Seraphina untuk bertindak.
Seraphina mengerutkan keningnya, mencerna informasi yang baru saja diterimanya. "Aku tidak tahu siapa kau," jawab Seraphina, suaranya tegas meskipun sedikit gemetar. "Tapi 'tuan' yang kau maksud itu Kai, bukan?" Ia melirik ke arah Kai yang masih tertidur lelap, mencoba untuk tetap tenang. "Apa kau tahu di mana Kai menyimpannya?" Pertanyaannya langsung pada intinya, menunjukkan bahwa ia sudah siap untuk bertindak.
Suara itu menjawab dengan cepat, nada yang terdengar sedikit terkejut. "Kau cepat tanggap dari yang kuduga, Rambut Merah." Ada sedikit kekaguman dalam suara itu. "Tuan menyimpannya di laci meja di sana." Seraphina segera menoleh ke arah meja yang dimaksud. Ia berdiri dan berjalan menuju meja, Ia membuka laci itu dengan hati-hati. Di dalam laci, terdapat sebuah botol kecil yang terbuat dari kaca gelap.
Seraphina mengambil botol kecil itu dengan hati-hati, dengan gerakan cepat namun lembut, Seraphina membuka tutup botol itu. Ia kemudian membungkuk, mendekatkan botol itu ke bibir Kai yang sedikit terbuka. Dengan hati-hati, Seraphina memiringkan botol itu, meneteskan beberapa tetes darah hewan ke bibir Kai. Cairan merah gelap itu mengalir perlahan ke dalam mulut Kai. Seraphina memperhatikan dengan seksama, memastikan bahwa itu masuk ke dalam mulut Kai. Ia mengulangi proses itu beberapa kali, sampai beberapa tetes telah masuk ke dalam mulut Kai.
Setelah beberapa saat, Seraphina merasakan perubahan pada tubuh Kai. Kulitnya mulai terasa lebih hangat. Ia menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit lega. Ia menunggu dengan sabar, mengawasi kondisi Kai dengan seksama.
Setelah beberapa menit berlalu, Kai perlahan membuka matanya. Mulut Kai sedikit terbuka, napasnya masih tersengal-sengal. Ia bangun dari tidurnya, kemudian menatap Seraphina. Seraphina menatap Kai dengan penuh perhatian, suaranya lembut dan penuh kekhawatiran. "Bagaimana kondisimu sekarang? Apa sudah mendingan?"
Kai mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. "Ah ya? Sebelumnya aku ingat berada di gang itu dan bertemu denganmu. Lalu... semua menjadi gelap." Ia mengerutkan keningnya, mencoba untuk mengingat detail-detail yang hilang. Kenangannya masih kabur, seperti potongan-potongan puzzle yang belum tersusun.
Tiba-tiba, Kai merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia menyentuh tenggorokannya, merasakan sensasi yang asing. "Tunggu," katanya, suaranya sedikit terkejut. "Tenggorokanku tidak panas lagi." Ia merasakan kelegaan yang mendalam. Rasa haus yang membakar tenggorokannya telah hilang.
Seraphina tersenyum lega, menjelaskan apa yang telah terjadi. "Aku memasukkan darah hewan yang kau simpan sebelumnya ke mulutmu," katanya, suaranya tenang. "Sepertinya kau sekarang baik-baik saja." Ia mengamati Kai dengan seksama,
Kai mengerutkan dahi, ingatannya masih sedikit kabur. "Ngomong-ngomong, kenapa aku tiba-tiba berada di penginapan? Apa kau yang...?" Pertanyaannya terpotong oleh Seraphina.
Seraphina tersenyum tipis, menjelaskan dengan singkat. "Bawahan-ku yang membawamu ke sini," katanya, nada suaranya sedikit menggoda. "Kenapa? Apa kau kecewa karena tidak digendong oleh gadis sepertiku?" Ia mengangkat alisnya, menambahkan sedikit sentuhan humor untuk meredakan suasana tegang.
Kai terkejut, lalu tertawa kecil. "Tidak," jawabnya, "aku malah tidak percaya jika kau yang membawaku ke sini seorang diri."
Seraphina terkekeh, merasa sedikit tersinggung namun juga geli. "Kau benar-benar meremehkanku ya," katanya, suaranya sedikit kesal namun tetap ramah. "Aku bisa menggendongmu, tahu! Dan juga, aku tidak akan membawamu dengan bridal style, tapi sepertinya membawa karung beras." Ia menirukan gerakan membawa karung beras, menambahkan sentuhan humor untuk meredakan suasana.
Kai tertawa lepas, suaranya sedikit serak karena kelelahan namun penuh dengan kegembiraan. "Maaf, maaf," katanya, "aku hanya tidak menyangka hal itu." Bayangan Seraphina yang membawa tubuhnya seperti karung beras membuatnya tertawa lagi. "Membayangkannya saja sudah lucu," katanya, sambil menggelengkan kepala. "Terima kasih, Seraphina."
Seraphina tersenyum kecil, nada suaranya sedikit jenaka namun tetap menunjukkan kepedulian. "Kau tidak perlu berterima kasih, karena ini tugasku," katanya, sambil menyerahkan pedang Kai kepadanya. "Dasar, baru dua hari aku tidak mengawasimu, bisa-bisanya kau terlihat masalah seperti ini." Ia sedikit menggelengkan kepala, "Aku membawa ini, kurasa ini milikmu. Apa aku salah?"
Kai menerima pedangnya, mengamati pedang kesayangannya itu dengan seksama. "Ah, ini memang pedangku, tapi..." Ia terdiam sejenak, mencoba untuk mengingat kejadian yang telah terjadi. "Reaksimu benar-benar tidak kuduga, ya." Ia terkekeh, menunjukkan bahwa ia merasa sedikit terkejut dengan reaksi Seraphina yang tenang dan tidak terlalu marah.
Seraphina mengangkat alisnya, nada suaranya sedikit menantang. "Memang kau akan menduganya ekspresiku seperti apa?"
Kai tersenyum, seolah-olah ia merasakan déjà vu. "Aku akan mengira kau akan berkata, 'Kai, bisa kau jelaskan dari mana kau mendapatkan ini?' Atau 'Kai, bisa-bisanya kau tidak memberitahuku soal ini, aku pengawasmu, tahu!' dan sebagainya." Ia menirukan nada suara Seraphina yang biasanya tegas dan sedikit otoriter, menambahkan sentuhan humor ke dalam percakapan mereka.
Seraphina tertawa kecil, merasakan sedikit kesal namun juga geli. "Dasar, kau menganggapku seperti apa?!" katanya, suaranya sedikit kesal namun tetap ramah. "Begini-begini aku menghargai privasi orang, tahu?" Ia sedikit membuang muka,
Kai tertawa terbahak-bahak, suaranya penuh dengan kegembiraan dan kelegaan. Ia menggelengkan kepalanya, masih tidak percaya dengan reaksi Seraphina yang jauh lebih tenang dari yang ia duga. "Maaf, maaf," katanya di antara tawanya.
Seraphina, meskipun ikut tersenyum melihat tawa Kai, akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar sedikit jengah namun tetap lembut. "Baik-baik, bisa kau selesaikan tawamu itu sekarang?" Ia menambahkan sedikit sentuhan ketus di akhir kalimatnya, namun senyum tipis masih terlihat di wajahnya, menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak terlalu marah.
Seraphina menghela napas pelan, memperhatikan Kai yang masih duduk di tepi tempat tidur, "Aku tahu kau butuh istirahat sekarang," katanya, suaranya lembut namun tegas, "tapi bisakah kau menjawab beberapa pertanyaanku? Ini penting." Ia menatap Kai dengan tatapan yang serius namun penuh pengertian, menunjukkan bahwa ia menghargai waktu istirahat Kai namun juga membutuhkan informasi penting darinya.
(To be Continued)