Setelah beberapa menit menunggu, pintu kamar Alfred terbuka dengan pelan. Masuklah Fred, mata-mata vampir yang handal dan setia kepada Alfred. "Anda memanggil saya, Yang Mulia?" tanyanya dengan suara pelan dan hormat, menunjukkan kesetiaannya yang tak tergoyahkan kepada tuannya.
"Oh, kau sudah datang?" Alfred berkata, tanpa menoleh dari artefak kuno yang memancarkan cahaya redup di sudut ruangan. "Benar, akhirnya artefak itu memberikan sinyal setelah 5 tahun terakhir." Fred terkesiap.
"Apakah itu benar, Yang Mulia? Kalau begitu, kita harus bergerak cepat, bukan? Tolong katakan kepada saya di mana lokasinya." Ketegangan tampak jelas dalam suaranya, ia ingin segera mengetahui informasi lebih lanjut dan menjalankan misinya.
Alfred tersenyum licik, sebuah senyum yang dingin dan penuh perhitungan. "Kau terlalu terburu-buru," katanya, matanya masih tertuju pada artefak itu. "Lokasinya di kota Narnia."
Fred terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. "Narnia? Bukankah itu wilayah para manusia itu?" tanyanya, keraguan tersirat dalam suaranya. "Kalau begitu, kenapa Anda menunggu lagi? Kita harus segera bertindak." Ketegangan dalam suaranya semakin kentara, ia tidak sabar untuk memulai misi tersebut.
"Iya, aku juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja mendapatkan sinyal di kota itu," jawab Alfred, matanya masih terpaku pada artefak kuno. "Ini sangat aneh dan tidak terduga. Namun, kita harus berhati-hati. Ingat kegagalan kita di Eldonia? Kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama."Alfred menghela napas panjang. "Tidak, aku tidak akan menyerang mereka sekarang," katanya, suaranya menjadi lebih tenang namun tetap tegas. "Aku harus memikirkan strategi secara matang supaya tidak terjadi kegagalan lagi."
Alfred menatap Fred dengan tatapan tajam. "Jadi, Fred, pergilah ke Narnia untuk mencari informasi, dan juga berhati-hati agar tidak membuat keributan." Fred mengangguk, menerima perintah itu dengan tekad yang bulat. Meskipun ia merasa ragu dengan rencana Alfred yang tampak terlalu berhati-hati,
"Perintah diterima, Yang Mulia," katanya, suaranya terdengar tenang namun teguh. "Kalau begitu, saya permisi." Ia membungkuk hormat, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang tenang dan senyap, menghilang ke dalam bayang-bayang lorong istana.
Alfred kembali menatap artefak kuno itu, pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan dan rencana. Sejenak, ia terdiam, merenungkan langkah selanjutnya. Lalu, dengan suara pelan namun tegas, ia bergumam, "Jadi mari kita tunggu, laporan berikutnya." Tatapannya kembali tertuju pada artefak itu, seakan-akan ia berharap artefak tersebut dapat memberikan petunjuk lebih lanjut.
Di lain waktu, di kota Narnia, Kai berjalan di alun-alun yang ramai. Sinar matahari pagi menyinari wajahnya yang tampak gelisah. Ia terus-menerus menggerutu, berdebat dengan Solon, suara yang hanya ia dengar dalam pikirannya. "Ini semua salahmu, Solon!" geram Kai, suaranya hampir tak terdengar di tengah hiruk pikuk alun-alun. Ia merasa terlambat, sangat terlambat.
Solon, tenang seperti biasanya, membalas dalam pikiran Kai, "Saya sudah mencoba membangunkan Anda beberapa kali, Tuan." Kata-kata Solon menusuk seperti jarum, mengingatkan Kai akan kelalaiannya.
Kai berhenti di tengah alun-alun, mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. "Ah, dasar...!" Umpatannya tertahan, diredam oleh rasa bersalah dan kekhawatiran. "Ini benar-benar tidak akan terlambat, kan?" gumamnya, suaranya dipenuhi kecemasan. Wajahnya pucat pasi, seakan-akan seluruh beban dunia ada di pundaknya.
Dengan langkah tergesa-gesa namun tetap tertatih, Kai melanjutkan perjalanan menuju Akademi. Perdebatan batinnya dengan Solon masih berlanjut, menyertai setiap langkahnya yang semakin cepat. Bayangan kegagalan dan kemungkinan konsekuensi yang mengerikan terus menghantuinya, menambah beban berat di pundaknya.
Di kejauhan, di alun-alun yang sama, Fred dan bawahannya sudah tiba di Narnia. Mereka bergerak seperti hantu, tanpa menarik perhatian, mengamati setiap sudut dan celah alun-alun. Bawahannya, yang tampak lebih muda dan sedikit tidak sabar, berbisik kepada Ferid, "Tuan, apa benar kita hanya menyelidiki di sini? Mana ku benar-benar habis untuk berteleportasi ke sini. Saya berharap ada sedikit aksi."
Fred melirik bawahannya sekilas, tanpa menghentikan langkahnya. "Yang Mulia hanya memerintahkan untuk mencari informasi dan tidak membuat keributan," jawab Fred tenang, suaranya hanya terdengar oleh bawahannya. "Jadi, tolong tahan nafsumu untuk saat ini. Kita tidak ingin menarik perhatian yang tidak perlu. Ingat, kita harus bergerak dalam bayangan." Ia kembali fokus mengamati alun-alun, pandangannya tajam dan waspada.
"Ah~ tidak biasanya Yang Mulia melakukan ini." Jawab bawahannya Fred sembari melirik ke sekitar. Fred mengerutkan kening, "Kau meragukan rencana Yang Mulia?" Nada suaranya dingin, menimbulkan rasa takut pada bawahannya. "Meskipun kau bawahanku, aku tidak segan melukai mu jika kau terus meragukan perintah Yang Mulia." Fred menatap tajam ke arah bawahannya, matanya memancarkan aura dingin yang mengancam.
"Ugh! Saya minta maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud meragukan Yang Mulia. Hanya saja, ini terasa berbeda dari biasanya." Bawahan Fred buru-buru meminta maaf, nada suaranya gemetar karena ketakutan.
"Humu. Tidak ada kesempatan kedua untuk lain kali. Fokus kepada misi kita sekarang. Kita harus mencari tahu apa yang sedang terjadi di sini dan melaporkan kepada Yang Mulia." Jawab Fred singkat. Fred kembali fokus pada tugasnya, mengingatkan bawahannya tentang pentingnya misi mereka. Saat itu juga, mereka berpapasan dengan Kai yang tengah beradu argumen sengit dengan Solon, suara Kai terdengar penuh frustrasi. Tiba-tiba, Fred berhenti, sebuah aroma samar namun tajam menusuk indranya. aroma yang asing namun familiar—aroma vampir. Ia menoleh ke arah belakangnya.
"Tunggu, ini kan?" Fred bergumam, suaranya hampir tak terdengar. Ia merasakan denyutan aneh di dadanya, sebuah insting pemburu yang terusik. "Kenapa, Tuan?" Bawahan Fred bertanya, bingung dengan perubahan sikap Fred yang tiba-tiba.
"Apa? Jangan bilang...!" Bawahan Fred tersentak, suaranya dipenuhi ketakutan dan keterkejutan. "Tidak, ini belum pasti," kata Fred, menarik napas dalam-dalam. "Kalau begitu kita berpencar dari sini," kata Fred, suaranya tegas. "Kau bebas ke mana pun sekarang, tetapi jangan bikin keributan. Laporkan kepadaku setelahnya." Ia melirik bawahannya sekilas, menilai kesetiaan dan kemampuan bawahannya.
"Anak muda yang barusan itu sangat mencurigakan," gumam Fred, pandangannya masih tertuju pada Kai yang berjalan menjauh. "Eh?" Bawahan Fred tampak terkejut dengan keputusan Fred yang tiba-tiba. "Oh, baiklah. Kalau begitu, ayo bersenang-senang." Ia tersenyum tipis, lalu melangkah menjauh, mencari target lain untuk diamati.
Fred menghela napas, mengamati bawahannya dari kejauhan. "Kuharap dia tidak membuat masalah," gumamnya, memulai pengejarannya secara diam-diam. "Jadi, mari kita cari tahu tentangnya lebih banyak." Ia bergerak dengan lincah di antara kerumunan, menjaga jarak aman dari Kai, mengamati setiap langkah dan gerak-geriknya dengan penuh perhatian.
Sementara itu, Kai yang tengah berjalan menuju Akademi Acies, tiba-tiba merasakan ada yang mengikutinya. Ia melirik ke belakang sesekali, namun tidak melihat siapa pun yang mencurigakan. Rasa was-was mulai muncul dalam dirinya. Apakah itu hanya perasaan atau memang ada yang mengikutinya? Ia mempercepat langkahnya, namun tetap menjaga kewaspadaannya. Kegelisahan itu semakin menguat, menggerogoti ketenangannya. Dengan napas yang sedikit memburu, ia bergumam pelan, suaranya hanya terdengar oleh Solon, "Solon, apa kau menyadari sesuatu? Aku merasa sedang diikuti."
Hening sejenak. Hanya suara langkah kaki Kai dan deru angin yang terdengar. Kemudian, suara Solon mengalun lembut di pikirannya, tenang namun tegas, "Tidak, Tuan," jawab Solon. "Yang terdeteksi saat ini hanyalah Mana milik Anda dan beberapa orang yang lewat di jalan ini."
Kai menghela napas panjang, meremas pelipisnya. Kepalanya terasa pening, pandangannya sedikit kabur. "Apa aku terlalu kelelahan ya?" Ia bertanya pada dirinya sendiri, suaranya terdengar lesu.
Sementara itu, Fred yang masih mengikuti Kai dari kejauhan, tersenyum tipis. "Tingkat kepekaannya lumayan juga," gumamnya, suaranya hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. "Untuknya, aku menyembunyikan aura milikku." Ia semakin tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Kai. Pengejarannya akan terus berlanjut.
Namun, ketika Kai memasuki Akademi Acies, Fred mengerutkan kening. "Kenapa dia masuk ke sana, itu tempat organisasi manusia itu kan?" gumamnya, suaranya penuh ketidakpercayaan. "Apa yang dia lakukan disana?" Fred merasa ada sesuatu yang janggal, seolah-olah ada misteri baru yang terkuak di hadapannya. "Ini info yang menarik..." Ia menatap gerbang Akademi Acies dengan tatapan tajam.
Fred mencoba menyusup masuk ke dalam Akademi Acies, berharap bisa mengikuti Kai dari dekat. Namun, ia terhenti di depan gerbang. Sebuah penghalang energi yang tidak terlihat menghalangi langkahnya. "Alat Alkemis?" Ferid menggeram, meraba-raba penghalang itu dengan tangannya. "Sial, kenapa manusia bisa menggunakan sihir pelindung?" Ia mencoba menerobos penghalang itu, namun energi yang mengalir di dalamnya terlalu kuat untuk ditembus. "Aku harus mencari cara lain untuk masuk ke dalam," putus Fred, menatap gerbang Akademi Acies dengan tatapan penuh tekad.
( To be continued )