"Sial, aku terlalu sibuk dengan itu," geram Alfred, mengerutkan keningnya. "Organisasi manusia yang disebut Hunter itu... kenapa selalu menghalangi ku?! Jika mereka ternak, maka bertindaklah seperti ternak!" Ia menatap kegelapan malam di luar.
Saat ini di wilayah Linden yang berada di tenggara kota Narnia, udara dingin malam menusuk tulang. Di tengah hamparan hutan yang gelap dan sunyi, sebuah perkemahan darurat telah didirikan. Api unggun berkobar, menerangi wajah-wajah tegang para Hunter yang tergabung dalam pasukan Seraphina. Mereka berhasil mencegah kerusakan sesuai di laporan, meskipun banyak Hunter yang terluka setidaknya mereka bisa membuat pasukan vampir itu mundur.
"Huh, perjalanan kesini saja satu hari penuh, ketika sampai kita harus bertarung dengan makhluk yang haus darah itu," keluh seorang Hunter, mengusap keringat di dahinya. Ia meringis, memeriksa luka ringan di lengannya. "Aku harap kita bisa segera menyelesaikan ini dan kembali ke rumah. Tubuhku benar-benar lelah."
"Jaga sikapmu Asher," tegur Zeyn, namun suaranya tidak sepenuhnya keras. "Syukur saja dalam misi kali ini tidak ada yang terluka parah. Kita hanya perlu sedikit perawatan. Yang terpenting, kita berhasil mengusir mereka dari Linden. Tapi kita harus tetap waspada, mereka pasti akan kembali." Ia menatap ke arah hutan, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
"Kau terlalu serius Zeyn, bukankah kita sudah mengatasi itu, benar bukan Kapten?" Asher mencoba mencairkan suasana, namun senyumnya tampak dipaksakan. Ia memperhatikan Seraphina yang masih menatap ke arah hutan, wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang dalam. "Kita berhasil mengusir mereka, setidaknya untuk saat ini."
"Kapten?" Asher memanggil pelan, namun Seraphina masih belum merespon. Ia tampak begitu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah beberapa saat, Seraphina tersentak. "Eh iya, kalian memanggilku?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit linglung. Ia mengusap wajahnya, seolah-olah baru tersadar dari lamunan panjang.
"Tidak, kurasa anda begitu memikirkan sesuatu," kata Zeyn, dengan nada lembut namun penuh perhatian. "Ada sesuatu yang mengkhawatirkan anda, Kapten?"
"Tidak, aku hanya melamun," kata Seraphina, sambil tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kelelahannya. "Ini memalukan, seharusnya sebagai kapten aku tidak menunjukkan ini kepada kalian. Maafkan aku." Ia berjalan masuk ke dalam tendanya, meninggalkan Asher dan Zeyn di luar. "Aku sudah memastikan saat ini aman, kalian semua bisa beristirahat. Kita akan kembali ke kota Narnia besok pagi."
Asher dan Zeyn saling berpandangan. Rasa lega memenuhi dada mereka, mengetahui bahwa pertempuran telah usai dan mereka selamat. Namun, kekhawatiran masih membayangi. Mereka melihat bagaimana Seraphina berusaha menyembunyikan kelelahan dan kekhawatirannya. Mereka tahu bahwa kapten mereka telah memikul beban yang berat, dan mereka bertekad untuk selalu mendukungnya.
Seraphina berusaha membuka tendanya, namun tangannya gemetar hebat. Sebuah kilas balik tiba-tiba menyergapnya—bayangan gelap, simbol yang mengerikan, dan teriakan minta tolong yang memilukan. Napasnya memburu, dadanya sesak. Sebuah perasaan dingin dan mencekam menyelimuti hatinya. "Jejak itu... simbol itu..." gumamnya, matanya melebar karena ketakutan. "Kenapa mereka ada di sini? Apa mereka menculik seseorang dari Linden? Tapi tidak ada laporan kehilangan..." Ia menggenggam dadanya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang.
"Seraphina.." Sebuah suara samar, namun sangat familiar, bergema di telinganya. Seraphina tersentak, matanya melebar. Ia merasakan sebuah denyutan aneh di dadanya, seakan-akan ada ikatan tak terlihat yang menghubungkannya.
"Kenapa aku tiba-tiba mendengar suara Kai di sini?" Ia mengerutkan kening, kebingungan bercampur dengan sebuah tekad yang baru. "Tidak-tidak, aku harus tenang," ia berbisik, mencoba menyingkirkan rasa takut dan keraguan. "Tapi ini bukan sekadar kebetulan. Aku akan melaporkan ini ke komandan nanti,"
"Oiya, aku pergi tanpa pamit darinya," gumam Seraphina, wajahnya dipenuhi penyesalan. "Sebagai pengawasnya, aku sedikit khawatir. Dia akan baik-baik saja kan?" Ia menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan kekhawatirannya. Dengan langkah gontai, ia masuk ke dalam tendanya.
Pagi harinya, udara dingin menusuk tulang di Linden. Matahari baru saja mengintip dari balik pepohonan, namun pasukan Seraphina sudah bersiap. Kuda-kuda mereka telah siap, perlengkapan telah diperiksa kembali, dan setiap Hunter terlihat waspada. Seraphina, meskipun tampak lelah, memimpin pasukannya dengan tegap. Ekspresinya serius, namun sorot mata menunjukkan kekhawatiran yang masih membayangi. Perjalanan kembali ke Narnia akan panjang dan melelahkan, namun mereka harus segera kembali. Ancaman vampir belum sepenuhnya sirna, da laporan tentang simbol misterius itu harus segera disampaikan kepada komandan.
Di sisi lain, di Rumah Kael yang terletak di sudut gang di kota Narnia, suasana jauh lebih tenang. Sinar matahari pagi yang temaram menyelinap melalui jendela-jendela, Kai masih tertidur pulas. Di luar, burung-burung berkicau merdu, namun Kai tak terusik. Tiba-tiba, sebuah suara lembut namun tegas membuyarkan tidurnya. Bukan suara dari dunia nyata, melainkan bisikan yang langsung masuk ke dalam pikirannya. "Tuan," bisik Solon, suaranya seperti desiran angin sepoi-sepoi, "Anda harus bangun. Bukankah anda harus kembali ke penginapan sebelum dini hari?"
Kai perlahan membuka matanya, cahaya matahari pagi yang masuk melalui celah tirai terasa menyilaukan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya yang masuk. "Oh, begitu ya? Terima kasih sudah membangunkan ku, Solon," gumam Kai, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.
Dengan gerakan yang masih sedikit lamban, Kai bangun dari dipan sederhana tempatnya tidur. Selimut tipis yang menutupi tubuhnya ia rapikan dengan hati-hati, Kai keluar dari kamarnya. Lantai kayu yang sedikit berderit menyambut langkah kakinya yang pelan. Sesampainya di lantai bawah, Kai melihat Kael yang sedang berjaga di toko ramuan miliknya.
"Oh, kau akan pergi sekarang?" Kael berkata, suaranya terdengar sedikit tenang, di meja resepsionis tokonya sembari membersihkan botol ramuannya.
"Ya begitulah," jawab Kai, "Terima kasih telah mengajariku menggunakan sihir kemarin." Ia tersenyum tipis, menunjukkan rasa syukurnya kepada Kael atas bimbingan yang telah diberikan. "Aku akan berkunjung lagi," ucapnya menuju pintu keluar.
"Tunggu Kai." Kael menghentikan Kai, ia ia mengambil sebuah jubah tebal berwarna hitam pekat. "Aku tidak bisa melakukan sihir seperti sebelumnya," Kael berkata, suaranya sedikit lebih rendah. "Jadi setidaknya pakai ini untuk menutupi matamu." Ia memberikan jubah itu kepada Kai.
"Terima kasih Kael, aku akan mengembalikannya nanti." Ucapnya sembari memakai jubah itu, ia tersenyum kearah Kael sejenak kemudian berjalan dari toko itu. "Dasar anak itu," gumam Kael pelan setelah Kai pergi, sebuah senyum kecil terukir di bibirnya. "Sudah kubilang panggil aku Guru, tapi tetap saja memanggilku dengan namaku." Ia menggelengkan kepalanya.
Untungnya Di dini hari tidak begitu banyak aktivitas yang dilakukan di Narnia. Kai berjalan di tengah alun-alun kota menuju ke penginapan yang berada di ujung kota. Tidak lama berjalan ia sampai di penginapan itu.
"Ini sangat merepotkan, seharusnya aku bawa saja ramuan itu." Ia menghela nafasnya, kemudian membuka pintu penginapan. Semuanya masih terlihat gelap, Lilin masih dimatikan, yah tentu saja ini terlalu dini hari.
"Ngomong-ngomong Seraphina belum pulang kan? Kupikir dia akan menunggu di sini seperti waktu itu." Ucapnya sembari menuju ke kamarnya di Lantai atas, lalu masuk ke ruangannya, membuka jubahnya kemudian berbaring di kasurnya.
"Ini terlalu cepat untuk ke akademi, kurasa aku harus tidur sebentar?" Kai berkata, ia merentangkan tubuhnya di kasur, kemudian memejamkan matanya. "Solon, tolong bantuannya seperti sebelumnya ya." Kai berbisik. "Baiklah tuan, serahkan saja kepada saya." Jawab Solon singkat.
Di sisi lain, di wilayah Vampir, tepatnya di Mansion Alfred yang megah namun suram, Alfred sendiri berniat menuju kamarnya untuk beristirahat, setelah berfikir semalaman. Langkah kakinya berat, menginjak lantai marmer yang dingin dan mengkilap. Cahaya lilin yang remang-remang menerangi lorong-lorong panjang dan sunyi di mansion tersebut, menciptakan suasana yang mencekam.
Alfred, dengan wajah pucat dan mata merah menyala, tampak lelah namun tetap tegar. Ia mengenakan jubah panjang yang mewah, namun tak mampu menyembunyikan aura kegelisahan yang terpancar darinya. Ia melewati lukisan-lukisan kuno yang menghiasi dinding mansion, kemudian Akhirnya, ia sampai di kamarnya, sebuah ruangan yang luas dan mewah, namun terasa dingin dan hampa. Ia melemparkan jubahnya ke atas kursi, lalu merebahkan tubuhnya ke atas ranjang besar yang empuk.
"Sial, kenapa setelah sinyal di Eldonia, tidak terdeteksi lagi?" Alfred menggeram, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. "Aku harus menemukannya sebelum semua itu terjadi."
Tiba-tiba, sebuah cahaya redup muncul dari sebuah artefak kuno yang terletak di sudut kamarnya. "Jangan bilang ini..." Alfred bergumam, suaranya hampir tak terdengar. Ia menatap artefak itu dengan tatapan yang harapan. "Artefak ini mendapatkan sinyal setelah 5 tahun, jangan-jangan...." Alfred berpikir keras, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan pelan ia mengamatinya dengan seksama.
"Ini wilayah Narnia kan? Bukankah itu wilayah para tikus-tikus itu?" Alfred mengerutkan kening. Ia mengingat kembali peta yang ia miliki. "Eldonia dan Narnia itu sangat jauh, apakah ada yang membawanya? Tapi kenapa di tempat para tikus itu?"Logika beradu dengan instingnya. Membawa sesuatu sejauh itu membutuhkan kekuatan sihir yang luar biasa, dan hanya sedikit yang mampu melakukannya. Lalu, siapakah yang membawa itu ke Narnia? Dan apa tujuannya?
Tiba-tiba, sebuah senyuman licik terukir di bibir Alfred. Wajahnya yang pucat tampak sedikit lebih bersemangat. "Tidak, ini sinyal yang didapatkan setelah 5 tahun. Ini bukan sekadar kebetulan. Aku harus mengamati Narnia terlebih dahulu." Ia memutuskan untuk mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab untuk sementara waktu. Prioritasnya sekarang adalah menyelidiki Narnia.
Ia mengambil sebuah lonceng perak kecil, berukir rumit dengan simbol-simbol kuno, dari meja sisi tempat tidurnya. Dengan gerakan yang terampil, ia menggoyangkan lonceng tersebut tiga kali. Bunyi lonceng yang nyaring dan tajam bergema di ruangan, menciptakan getaran yang terasa hingga ke tulang. Tidak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka dengan pelan, mengungkapkan sosok seorang pelayan vampir yang tinggi dan kurus. Pelayan itu mengenakan seragam hitam yang rapi, dengan wajah yang pucat dan mata merah yang sayu. Ia menunduk hormat kepada Alfred, menunjukkan sikap patuh dan hormat yang tinggi. "Anda memanggil saya, Yang Mulia?" Suara pelayan itu pelan dan lembut, menunjukkan rasa hormat yang dalam kepada tuannya.
"Sampaikan kepada Fred untuk menemuiku sekarang. Katakan padanya bahwa ini sangat penting dan aku menunggunya di ruang kerja." Alfred memerintah dengan suara tegas, matanya tetap tertuju pada artefak itu. Ia membutuhkan informasi lebih lanjut tentang Narnia, dan Fred, sebagai mata-matanya yang paling handal, adalah orang yang tepat untuk itu. Ia harus memastikan bahwa Fred dapat memberikan informasi yang akurat dan terpercaya. Keberhasilan rencananya bergantung pada informasi yang didapatkan dari Fred.
"Perintah diterima, Yang Mulia," jawab pelayan itu dengan suara pelan dan hormat. Ia membungkuk dalam-dalam, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan dengan langkah yang tenang dan senyap. Ia menghilang di balik pintu, meninggalkan Alfred sendirian di ruangan yang dipenuhi dengan cahaya merah misterius dari artefak kristal. Alfred kembali menatap artefak tersebut, sebuah rencana besar mulai terbentuk di benaknya.
( To be Continued).