"Tuan, kau benar-benar akan membicarakannya?" bisik Solon dalam pikiran Kai, suaranya lembut namun penuh keheranan.
Kai sejenak terdiam, merasakan kehadiran Solon di dalam pikirannya. "Benar, bukankah aneh jika dia tidak kuberitahu sekarang?" pikirnya, merasakan dorongan untuk membuka diri. "Begitu ya, saya tidak masalah jika itu keputusan tuan," jawab Solon, nada suaranya mengandung pengertian.
"Oh iya, Kael. Apa kau tahu sesuatu tentang spirit?" tanya Kai, mengubah topik pembicaraan secara tiba-tiba. "Sudah kubilang panggil aku guru.....!" gerutu Kael, namun ia tetap mendengarkan pertanyaan Kai. Ia mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat. "Eh? Dari mana kau mendengar itu?" tanyanya balik, penasaran bagaimana Kai bisa mengetahui tentang spirit.
"Yah kurasa, aku didatangi olehnya beberapa hari yang lalu?" jawab Kai, suaranya sedikit ragu. "Kau menganggap ku seperti makhluk yang mengerikan tuan." Solon menyela, suaranya terdengar sedikit kesal.
Kael mengangkat alisnya, tertarik. "Begitu ya? Aku tahu sedikit tentang spirit, tapi tidak terlalu banyak," jawab Kael, mencoba mengingat-ingat apa yang pernah ia ketahui tentang spirit. "Spirit biasanya berhubungan dekat dengan Elf, karena ras Elf hampir atau bisa dibilang musnah karena diperangi oleh ras vampir kurasa para spirit sedang bersemayam di suatu tempat." Ia berpikir sejenak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk pembatas balkon. "Tunggu, kau didatangi oleh spirit?" Nada suaranya berubah, lebih serius dan penasaran.
"Benar," jawab Kai dengan tegas. Tiba-tiba, gelang di tangannya bergetar dan berubah menjadi pedang, memancarkan aura yang kuat. "Kau tahu pedang ini kan?" tanya Kai, mengangkat pedang tersebut dengan hati-hati. "Di dalam sini ada spirit, atau lebih tepatnya, bentuk spirit dari pedang ini. Aku tidak sengaja membuatnya bangun."
"Eh, benarkah? Pantas saja aku tidak bisa menggunakan pedang itu," Kael mengangguk perlahan, merenungkan apa yang baru saja dikatakan Kai. "Padahal aku bicara asal kalau pedang itu memilihmu, ternyata itu memang benar ya?" Sinar bulan memantul dari permukaan pedang, menciptakan bayangan Kai yang tajam dan hidup. Ia menatap refleksi dirinya sendiri, matanya berkilat tajam.
"Jadi, seperti apa spirit yang kau temui itu?" tanya Kael, penasaran. "Aku tidak begitu ingat," jawab Kai, sedikit ragu. "Kurasa dia seperti elf, dan mengatakan itu wujud tuannya sebelumnya. Dia mengenalkan dirinya sebagai Solon."
"Begitu ya, aku sudah menduga pedang itu berasal dari Elf," kata Kael, mengangguk-angguk. "Solon... Kurasa aku pernah mendengar nama itu." Ia tampak berpikir keras, mencoba mengingat-ingat informasi yang pernah ia baca. "Aku pernah membaca di sebuah buku tua di kediamanku dulu, bahwa itu adalah senjata yang digunakan oleh kepala ras Elf yang terakhir."
Kai tercengang, ia melihat bayangan dirinya di pedang itu, "Aku awalnya hanya berniat mencari senjata yang cocok untuk menjadi konduktor mana milikku, ternyata di tanganku ini sekarang..." gumamnya, takjub. "Oh iya, kenapa pedang milik Elf ada di tanganmu?"
"Oh, itu aku dapatkan di pelelangan," jawab Kael, sembari tersenyum. "Karena bentuknya menarik, aku jadi tertarik membelinya." Ia menjelaskan.
"Oh..." gumam Kai, masih mencerna informasi yang baru saja diterimanya. "Kenapa reaksimu biasa sekali?!" seru Kael, sedikit terkejut dengan reaksi Kai yang terkesan datar. "Yah, setidaknya kau harus bersyukur, tahu! Tidak banyak orang yang diakui oleh spirit, bahkan elf sekalipun. Jika dia memilihmu, itu artinya dia percaya kepadamu."
"Itu benar, Tuan!" sahut Solon, suaranya terdengar di pikiran Kai.
"Selain belajar sihir, kurasa kau harus berlatih ilmu pedang," potong Kael. "Akan sia-sia senjata sebagus itu digunakan sebagai tipuan untuk menggunakan sihir."
"Itu benar, Tuan, aku setuju dengan vampir ini," kata Solon lagi. "Dia benar-benar memahami-ku."
"Kalau begitu, kenapa kau tidak memilihnya dulu?" tanya Kai, penasaran. "Tidak bisa, Tuan," jawab Solon. "Karena aku sudah memilihmu sebagai tuanku." Nada Solon terdengar sedikit lebih lembut, menunjukkan kesetiaannya pada Kai.
"Dasar..." Kai menghela napas panjang, kemudian menatap Kael dengan ekspresi yang sulit diartikan – campuran antara lega dan sedikit kecewa. "Apa-apaan ini? Reaksimu terlihat biasa saja dari yang kupikirkan."
"Memangnya kau mengira seperti apa reaksiku?" tanya Kael, sedikit mengangkat sebelah alisnya, tampak geli dengan imajinasi Kai.
"Tidak banyak, seperti..." Kai terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan nada bercanda, "'Aku melakukan kesalahan, Kai, tolong kembalikan pedang itu padaku!' atau 'Aku menyesal memberikan pedang itu, ayo kembalikan kepadaku!'"
Kael menjentikkan jari ke kening Kai, sebuah gerakan yang lebih seperti isyarat persahabatan daripada hukuman. "Kau benar-benar salah menilai-ku," katanya, tersenyum tipis. "Dan juga, aku lebih menguasai sihir daripada pedang. Jadi, memang lebih baik pedang itu ada di tanganmu." Ia menambahkan dengan nada yang lebih serius, "Lagipula, aku percaya padamu, Kai."
"Ugh, kenapa kau berbicara dengan nada menyebalkan seperti itu?" Kai mendengus, meskipun sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas.
"Kau benar-benar bocah kurang ajar, ya." Kael terkekeh, suaranya terdengar geli. Ia mengacak-acak rambut Kai dengan ringan, sebuah gerakan yang menunjukkan keakraban di antara mereka. Kai awalnya ingin protes, tapi akhirnya ikut tertawa, suaranya bercampur dengan tawa Kael. Keduanya tertawa bersama, suara tawa mereka bergema di ruangan tersebut, menghilangkan ketegangan yang sempat ada sebelumnya.
Setelah tawa mereka mereda, suasana menjadi lebih hangat. Kael menepuk bahu Kai. "Aku tidak keberatan jika kau ingin sparring pedang denganku. Aku juga menguasai teknik-teknik dasar ilmu pedang, walau memang lebih ahli dalam sihir." Ia menambahkan dengan sedikit senyum. "Tentunya, jika kau memanggilku dengan 'Guru'." Nada terakhirnya sedikit bercanda, namun ada sedikit tekanan di dalamnya.
"Ya, ya, aku akan memikirkan itu nanti," jawab Kai, sedikit menghindari tatapan Kael. Pedangnya kembali berubah menjadi gelang di tangan kirinya. Ia berjalan menuju pintu balkon, bersiap untuk meninggalkan Kael.
"Oi, bukankah kau ingin menemani berjaga semalaman hari ini?" tanya Kael, sedikit terkejut dengan keputusan mendadak Kai.
"Aku berubah pikiran lagi," kata Kai, sambil tersenyum sedikit. "Kurasa aku benar-benar tidak bisa tidur nyenyak jika harus berjaga sampai besok siang. Lebih baik aku istirahat sekarang." Ia melambaikan tangan, lalu menghilang di balik pintu balkon, meninggalkan Kael sendirian di balkon yang luas.
Kael menyaksikan kepergian Kai, seulas senyum masih tertinggal di bibirnya. Ia menggelengkan kepala pelan, terhibur dengan kelakuan impulsif sahabatnya itu. "Anak itu," gumamnya, suaranya terdengar geli. Ia kembali bersandar di pagar balkon, memandang langit malam yang bertaburan bintang.
Di sisi lain, di wilayah Vampir, tepatnya di mansion Alfred yang megah, Alfred duduk di singgasananya yang terbuat dari kayu gelap, kaki disilangkan dengan santai namun aura kepemimpinan terpancar kuat. Tatapannya tajam menyapu bawahannya yang berdiri tegak di hadapannya, sebuah gelas berisi cairan merah tua—darah—digenggamnya dengan anggun, cahaya lilin menerpa permukaan cairan tersebut hingga berkilauan.
"Apa kalian belum bisa mencari informasi tentang itu?" Alfred bertanya, suaranya rendah dan berat, mengandung ancaman yang terselubung. Gelas darah di tangannya sedikit ditekan, cairan merah di dalamnya bergoyang pelan.
"Belum, Yang Mulia," jawab salah seorang bawahannya, suaranya gemetar. "Informasi terakhir yang kami dapatkan menyebutkan bahwa benda itu berada di wilayah terpencil di Eldoria, namun pencarian kami belum membuahkan hasil."
"Jangan main-main denganku!" Alfred membentak, tatapan matanya yang tajam seperti pisau menusuk bawahannya. Gelas darah itu diletakkan dengan keras di atas meja, suara dentumannya menggema di ruangan sunyi. "Aku sudah datang ke sana lima tahun yang lalu, tetapi pencarian itu tidak memberikan hasil apa pun! Kalian semua mengecewakanku!"
Keheningan menyelimuti ruangan setelah bentakan Alfred. Para bawahannya menunduk dalam ketakutan, tak berani menatap mata sang pemimpin. Alfred bangkit dari singgasananya, mendekati bawahannya dengan langkah tenang namun penuh intimidasi. "Cari tahu. Temukan. Bawa itu kepadaku. Jika kalian gagal lagi, kalian tahu konsekuensinya." Ia tersenyum sinis, sebuah senyum yang lebih menakutkan daripada amarahnya.
"Aku ingin bicara seperti itu tapi, kurasa kalian tidak akan menemukannya lagi. Dasar sialan!" Sejenak ia terdiam, tatapannya masih tajam menyapu wajah-wajah pucat di hadapannya. Kemudian, ia menghela napas berat, suaranya berubah menjadi geraman penuh frustasi. Ia memukul dinding dengan sihir darah miliknya dengan keras, suara dentumannya menggema di ruangan, menandakan amarahnya yang memuncak.
Alfred menghela napas panjang, kemudian kembali duduk di singgasananya, mengusap wajahnya dengan tangan. "Lupakan itu sejenak," katanya, suaranya lebih tenang, namun masih terdengar dingin. "Bagaimana penyelidikan tentang 'mereka' yang dilakukan di Linden sebelumnya? Apakah berhasil?"
"Tidak terlalu berhasil, Yang Mulia," jawab salah seorang bawahannya, suaranya masih gemetar. "Para manusia yang menyebut diri mereka 'Hunter' itu mengetahui pergerakan mereka dan mengusik mereka sebelum kami mendapatkan informasi tentang mereka."
Alfred memukul sandaran singgasananya dengan keras, suara kayu tua berderit. Ia menatap tajam bawahannya, kemarahannya kembali muncul. "Para tikus-tikus itu benar-benar selalu menganggu," geramnya.
"Terima kasih atas laporanmu," kata Alfred, suaranya datar, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa terima kasih yang sebenarnya. "Kau boleh pergi sekarang. Aku ingin istirahat sejenak," Ia menatap tajam bawahannya untuk terakhir kalinya sebelum mengalihkan pandangannya ke gelas darah yang masih tertinggal di atas meja.
"Baik, Yang Mulia," jawab bawahan itu, bergegas meninggalkan ruangan dengan langkah cepat dan hati yang berdebar-debar. Ia lega karena berhasil keluar dari ruangan itu tanpa mendapat hukuman lebih lanjut.
Alfred diam sejenak, kemudian meraih gelas darah itu. Cairan merah tua itu masih utuh, menunggu untuk diminum. Dengan gerakan pelan dan terukur, ia beranjak dari singgasananya, langkah kakinya sunyi di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia berjalan menuju jendela besar di mansionnya, pandangannya tertuju pada pemandangan Mansion miliknya.
Cahaya bulan menerangi wajahnya yang tampak lelah namun tetap berwibawa. Ia meneguk darahnya perlahan, menikmati rasa dingin yang mengalir di tenggorokannya, sambil terus menatap ke luar jendela, merenungkan langkah selanjutnya. "Aku benar-benar harus mencarinya," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. "Jika tidak, sesuatu yang dikatakan Raja akan benar-benar terjadi. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi." Ia mengepalkan tangannya, ketegasan terpancar dari raut wajahnya.
( To be continued)