Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 27 - ARC 1, 27

Chapter 27 - ARC 1, 27

"Tuan, aku merasakan seseorang di balik tirai jendela," bisik Solon, suaranya seperti desiran angin yang lembut, namun dengan nada yang menegangkan.

Kai tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak sampai ke matanya. Ia bersandar pada pembatas balkon, menikmati sejuknya angin malam yang membelai wajahnya. Namun, kedatangan Kael mengusik ketenangannya. "Setelah Thalia, kau juga, Kael? Kalian benar benar ayah dan anak." katanya, nada suaranya sedikit mengejek, namun di baliknya tersimpan rasa hormat yang terselubung.

Kael berjalan mendekati Kai, Suarnya terdengar, mencampur dengan suara angin malam, "Huh, setidaknya panggil aku mentor atau guru, kau benar-benar murid kurang ajar ya." Ucapnya, Jari-jarinya bergerak lembut, menelusuri helai rambutnya yang jatuh terurai di bahu.

"Kenapa, apa kau ingin mengajakku berjaga semalaman lagi? Kurasa aku sekarang tidak bisa. Aku tidak bisa tidur siang seperti mu besok." Kai perlahan membalikkan tubuhnya, namun tetap menyender pada dinginnya besi pembatas balkon. Ia memejamkan matanya sejenak, tangannya tergenggam di pinggang, jari-jarinya menegang. Udara malam terasa dingin dan menusuk.

"Huh," Kael menghela nafasnya, "Kalau beberapa jam saja tidak masalah kan?" Nada suaranya terdengar sedikit meremehkan, Kai membuka matanya perlahan, tatapannya tajam dan waspada. "Tergantung..." jawabnya, suaranya datar.

Kael tersenyum tipis, sebuah senyum yang sedikit canggung. "Aku tidak sengaja mendengar pembicaraanmu dan Thalia," katanya, suaranya terdengar sedikit menyesal. "Meskipun begitu, dia tidak bermaksud menghinamu." Nada suaranya menunjukkan rasa pengertian dan sedikit kekhawatiran,

"Tidak kok, semua yang dia katakan itu benar." Kai kembali menyender ke pembatas balkon, menatap jauh ke kegelapan malam. Angin malam berhembus dingin, membawa aroma tanah dan sedikit embun. Kael ikut menyender di sebelahnya, jarak di antara mereka hanya beberapa sentimeter. Keheningan menyelimuti mereka, diselingi hanya oleh desiran angin.

Suasana menjadi berat. Kael memulai, suaranya pelan dan berat, seakan-akan ia sedang mengingat kembali sebuah kenangan yang menyakitkan. "16 tahun yang lalu, Kekasihku melahirkan Thalia dengan lemah, karena dia yang seorang manusia mengandung anakku."

Kai menoleh ke arah Kael. Kael terlihat lesu, matanya redup seolah sedang tenggelam dalam kenangan masa lalu yang menyakitkan. Wajahnya pucat, bibirnya sedikit gemetar, dan bahunya tampak terkulai. Kai menaikkan alisnya, tatapannya tajam namun dipenuhi dengan rasa simpati.

"Kau pasti bisa membayangkan kan, bagaimana kondisinya waktu itu, dia tahu akan kehilangan nyawanya tapi dia bersikeras melahirkan Thalia." Kael berkata dengan suara yang datar, namun ada getaran emosi yang tersirat di dalamnya. Ia menghela napas panjang, seolah-olah sedang mencoba mengendalikan emosinya.

"Bahkan ketika Thalia lahir pun, dia dibuang oleh keluarganya, dan dengan keadaan tubuh yang lemah dia berjalan menemuiku di kediamanku dulu sembari membawa Thalia." nm Kael melanjutkan, suaranya masih datar, namun ada sedikit ketegaran di dalamnya. Kael memejamkan matanya, Kai yang dari tadi menyimak mengerutkan keningnya. Ia bingung kenapa Kael tiba-tiba menceritakan ini, ia merasa tidak ingin bertanya sekarang dan mendengarkan cerita Kael.

"Tentu saja aku waktu itu kaget, dan tidak lama itu dia kehabisan waktunya, dan aku bertekad merawat Thalia dan menetap di kediamanku, itupun sampai dia berusia 5 tahun." Kael berkata dengan suara yang datar, namun sorot matanya menunjukkan kesedihan yang terpendam. Kai mengamati Kael dengan seksama, mencoba memahami emosi yang tersembunyi di balik kata-katanya.

"Dia selalu dihina, keturunan aneh, darah hina dan semacamnya." Kael melanjutkan, suaranya masih datar, namun ada sedikit ketegaran di dalamnya. Ia mengingat kembali masa lalu yang berat, namun ia tidak membiarkan kesedihan menguasainya. Kai mengangguk pelan, menunjukkan rasa hormatnya terhadap kekuatan Kael.

"Thalia selalu bertanya kepadaku, ayah kenapa mataku tidak sama seperti yang lainnya? Akupun terdiam, kemudian memeluknya dan mengatakan matanya juga cantik, karena itu mengingatkanku dengan kekasihku." Kael melanjutkan, suaranya sedikit bergetar, namun ia tetap berusaha untuk tegar. Kai terkesan dengan cara Kael menghadapi situasi tersebut, ia melihat kekuatan dan kasih sayang yang mendalam di balik kata-kata Kael.

"Hingga suatu saat aku melihatnya melukai dirinya sendiri karena hinaan itu. Aku berfikir dengan santai kalau Thalia tidak keberatan dengan hinaan itu seperti dirimu, ketika aku mengetahuinya waktu itu aku merasa gagal sebagai ayah." Kael berkata dengan suara yang datar, namun sorot matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Ia berusaha untuk tetap tegar, namun getaran suaranya menunjukkan beban emosi yang ia tanggung. Kai memperhatikan Kael dengan seksama, mencoba memahami perasaannya.

"Ketika usianya 6 tahun, aku masuk ke kota ini dan menyembunyikan auraku untuk membesarkan Thalia sendirian. Dia tidak kepikiran untuk menyakiti dirinya sendiri tapi dia menjadi tidak pandai mengungkapkan semuanya." Kael melanjutkan, suaranya masih datar, namun ada sedikit ketegaran di dalamnya. Ia menatap Kai dengan tatapan yang penuh makna.

"Hoo.. jadi kenapa kau tiba-tiba menceritakan masa lalumu kepadaku?" Kai mengerutkan kening, sedikit heran dengan perubahan topik pembicaraan yang tiba-tiba. Kael menjawab dengan sedikit gelisah, matanya menatap ke arah lain. "Kau benar-benar tidak mencoba menjadi pendengar yang baik ya, apa kau sadar perkataan mu itu seharusnya tidak dilakukan."

"Ntah kenapa aku ingin membicarakan ini padamu." Kael berkata dengan suara yang lembut, menatap Kai dengan tatapan yang penuh makna. "Ketika melihatmu pertama kali, aku langsung kepikiran dengan Thalia." Kael berkata dengan suara yang pelan.

"Tapi setelah berbicara denganmu beberapa kali, malah aku merasa kau sedikit mirip dengan kekasihku." Kael tersenyum tipis, sebuah senyum yang sedikit getir. Kai mengerutkan keningnya, raut wajahnya menunjukkan sedikit ketidaknyamanan. "Maaf, aku tidak ingin menjadi kekasih om-om seperti mu. Dan juga aku masih menyukai wanita." Ia berkata dengan nada sedikit sinis, menunjukkan rasa tidak senangnya.

"Apa maksudmu?! Aku juga tidak kepikiran menjadikanku seperti itu aku juga masih suka dengan wanita, dan juga aku masih muda, umurku baru 85 tahun." Kael tampak terkejut, suaranya sedikit meninggi. Ia merasa tersinggung dengan perkataan Kai.

"Oh? Ternyata kau sudah kakek-kakek. Aku mengetahui fakta baru." Kai berkata dengan nada mengejek, menunjukkan sedikit rasa geli. Ia tidak menyangka bahwa Kael ternyata sudah berusia 85 tahun. "Aku kira kau masih muda." Ia menambahkan dengan nada yang sedikit bercanda.

"85 tahun bagi vampir itu masih muda tau! Kalau dihitung dari usia manusia itu sekitar 28 atau 29 tahun." Kael menjelaskan dengan sedikit kesal, mencoba untuk mengklarifikasi kesalahpahaman. "Dan juga aku tidak ingin mendengar itu dari bayi seperti mu."

"Bayi kau bilang...." Kai mengepal tangannya menaikan alisnya, kemudian menghela nafas. Ia memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Sebenarnya aku ingin mengatakan ini padamu, kenapa kau setuju mengajariku?" Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit keraguan di dalamnya. Ia membuka matanya, menatap Kael dengan tatapan yang penuh harap. Ia berharap mendapatkan jawaban yang jujur dan tulus dari Kael.

"Bukankah sudah kubilang? Untuk mengetahui rahasia ramuan itu. Lagipula kau belum belajar apa apa dariku, aku hanya memberikan petunjuk." Kael menjawab dengan nada datar, mencoba untuk bersikap tenang. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit keraguan. "Itu sama saja pembelajaran berharga bagiku," Kai membela diri, suaranya terdengar sedikit defensif.

"Tidak khusus, alasannya sederhana. Aku menawari itu karena aku juga membenci vampir, tentu saja aku juga membenci manusia." Kael menjawab dengan nada yang sedikit dingin, menunjukkan kebenciannya yang mendalam terhadap vampir dan manusia.

"Kau juga membenci vampir kan? Karena orakel itu aku tidak bisa melawan itu, tapi menurutku kau bisa melakukannya. Setidaknya lakukan itu juga untukku." Kael menatap Kai dengan tatapan yang penuh harap, suaranya terdengar sedikit memohon. Ia menggantungkan harapannya pada Kai.

"Aku akan membalas dendam ku karena diriku sendiri, dan itu tidak ada hubungannya denganmu." Kai menjawab dengan tegas, suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi. Ia menolak permintaan Kael, menunjukkan bahwa ia tidak akan terlibat dalam urusan pribadi Kael. Ia menatap Kael dengan tatapan yang tajam, menunjukkan bahwa ia tidak akan mudah terpengaruh. "Tidak masalah, aku sudah cukup dengan itu." Kael berkata dengan suara yang pelan, menunjukkan bahwa ia menerima penolakan Kai.

Kai tersenyum semringah, sebuah senyuman yang tulus dan hangat. "Kael, kurasa aku bisa menemanimu semalaman ini," katanya, suaranya dipenuhi oleh ketulusan. Ia memutuskan untuk tetap menemani gurunya ini.

"Dasar, bisakah kau memanggilku dengan sebutan mentor atau guru, bukankah kau mengatakan sudah mendapatkan pembelajaran dariku?" Kael berkata dengan nada sedikit kesal, menunjukkan rasa tidak senangnya. Ia merasa Kai tidak menghargai pembelajaran yang telah ia berikan.

"Kenapa tiba-tiba? Bukankah kau bilang besok tidak bisa tidur siang sepertiku?" Kael mengerutkan keningnya, menunjukkan rasa bingungnya. Ia tidak mengerti mengapa Kai tiba-tiba berubah pikiran. "Apa yang membuatmu berubah pikiran?" Ia menambahkan dengan nada yang sedikit curiga.

"Aku akan memikirkan itu nanti." Kai berkata pelan, matanya berkilat tajam, menatap Kael dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya, menambah kesan misterius pada dirinya. "Ada yang ingin aku beritahu kepadamu."

(To be Continued)