Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 26 - ARC 1, 26

Chapter 26 - ARC 1, 26

Kai memasuki kamarnya, ruangan sederhana namun bersih dan nyaman. Bau kayu dan linen segar memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang menenangkan setelah sesi latihan yang melelahkan. Ia berjalan menuju tempat tidur. Kelelahan mulai menyerangnya, otot-ototnya terasa pegal, dan pikirannya masih dipenuhi dengan sensasi aliran mana yang baru saja ia kendalikan.

Ia merebahkan diri di atas kasur, matanya masih tertuju pada langit-langit. "Kurasa aku akan di omelin lagi setelah ini." Kai menghela nafas kemudian memejamkan matanya sejenak, "Yah apa boleh buat, bisa-bisa ada keributan jika aku keluar sekarang. Kurasa keluar pagi-pagi buta seperti beberapa hari yang lalu itu pilihan yang tepat." Ia membuka matanya kembali dan memandangi kabin ruangan.

"Tuan, aku merasakan ada seseorang yang mondar-mandir di depan ruangan ini," bisik Solon, suaranya seperti desiran angin yang lembut namun menusuk di pikiran Kai.

Kai tersentak, seolah baru terbangun dari lamunannya. Ia duduk, merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. "Apa itu Kael? Tidak, dia tidak akan melakukan hal seperti itu," gumam Kai, mencoba menepis rasa was-wasnya. Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan mendekati pintu, tangannya meraih gagang pintu dengan perlahan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu sedikit demi sedikit, mengintip ke luar dengan hati-hati.

"Thalia? Bukankah kau sebelumnya sudah ke ruanganmu?" tanya Kai, sedikit terkejut melihat Thalia berdiri di ambang pintu, sosoknya tampak samar dalam cahaya remang-remang. "Ada apa?" lanjutnya, merasa ada yang aneh.

"Itu benar," jawab Thalia lembut, sambil tersenyum sedikit, tangannya memegang sebuah bantal bulu lembut yang terlihat empuk. "Aku tidak bisa tidur," lanjutnya, "Bisakah kau menemaniku sebentar? Kau tidak bisa mengatakan sedang mengantuk. Beberapa hari yang lalu kau dan ayahku berjaga semalaman kan?" Matanya yang indah menatap Kai dengan ekspresi yang sulit diartikan, campuran antara memohon dan sedikit… menggoda.

Kai terdiam sejenak, sedikit bingung dengan permintaan Thalia yang tiba-tiba. Ia meletakkan tangannya di pinggang, menatap Thalia sejenak, "Baiklah," jawabnya akhirnya, sedikit ragu.

"Baiklah, kalau begitu ikuti aku," ujar Thalia, senyumnya mengembang. Tangannya meraih tangan Kai, menariknya dengan lembut namun tegas. Kai terkejut, ia terpaku sejenak sebelum akhirnya mengikuti langkah Thalia. "Baiklah, tapi kemana kau akan membawaku?" tanyanya, sedikit penasaran. Ia masih merasakan sentuhan lembut Thalia di tangannya, dan jantungnya berdebar lebih cepat.

"Kenapa? Apa kau kecewa aku tidak masuk ke ruanganmu?" tanya Thalia, senyumnya mengembang sedikit, mengungkapkan deretan gigi yang putih dan rapi. Thalia berhenti di depan sebuah pintu kayu, dengan gerakan halus, ia membuka pintu itu, mengungkapkan sebuah balkon yang luas dengan pemandangan malam yang menakjubkan. Bulan purnama bersinar terang di langit, menyinari pepohonan dan bangunan-bangunan di kejauhan. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah dan dedaunan yang basah oleh embun. Thalia melepaskan tangan Kai, berbalik menghadapnya dengan senyum yang sedikit menggoda. "Aku ingin kau menemaniku sebentar disini.." katanya, suaranya berbisik seperti rahasia yang hanya bisa didengar oleh Kai. "Udara segar dan pemandangan yang indah, bukankah begitu?" Ia menunjuk ke arah pemandangan di depan mereka, matanya berkilau dalam cahaya bulan.

"Ini...?" Kai bergumam, matanya terpaku pada pemandangan di hadapannya. Cahaya bulan purnama membasahi seluruh pemandangan, membuat setiap detail terlihat begitu jelas dan indah. Di kejauhan, kota tampak seperti hamparan bintang-bintang kecil yang berkilauan. Angin malam yang sejuk membelai kulitnya.

"Indah bukan? Jika tidak bisa tidur aku juga biasanya pergi ke sini," kata Thalia, suaranya lembut dan tenang, mencampur dengan suara angin malam yang berdesir. Ia berjalan mendekati pembatas balkon, menyangga tubuhnya dengan kedua tangannya. Ia menoleh ke arah Kai, mengajaknya untuk bergabung. "Tenang sekali, bukan?" lanjutnya, matanya menatap langit malam yang penuh bintang. Dengan gerakan yang anggun, ia bersandar pada pembatas balkon, menatap ke arah langit yang luas dan gelap. Kai, sedikit ragu-ragu, mendekati Thalia dan bersandar di sampingnya, jarak di antara mereka hanya beberapa sentimeter

"Iya, aku tidak menyangka ada pemandangan seperti ini di malam hari," kata Kai, suaranya terdengar sedikit takjub. Ia masih terpesona oleh keindahan langit malam dan kota yang berkilauan di kejauhan.

Thalia menoleh, matanya menatap maya Kai dengan intens. Cahaya bulan purnama memantul di matanya, menonjolkan warna merahnya yang sedikit lebih terang dari biasanya. Sinar bulan seolah memperkuat kilauan di matanya, seperti api kecil yang menyala dalam kegelapan. "Matamu itu, cantik ya? Aku sedikit iri," katanya, suaranya terdengar seperti bisikan yang lembut namun menusuk. Tatapannya tidak lepas dari mata Kai.

"Eh?" Kai tersentak, sedikit terkejut oleh pujian Thalia yang tiba-tiba. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dari pemandangan malam yang indah, mencoba untuk mencerna kata-kata Thalia. "Terimakasih telah mengatakan itu," jawabnya, "Tapi untuk sekarang aku belum bisa menerima mata ini," lanjutnya, menurunkan pandangannya ke arah tangannya sendiri.

"Kenapa? Itu cantik kok," kata Thalia, suaranya terdengar lembut dan sedikit menghibur. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Kai, jarak di antara mereka semakin dekat. "Ayahku juga punya mata seperti itu," lanjutnya.

Kai terdiam sejenak, mencerna kata-kata Thalia. "Thalia, kau…" Kai memulai, suaranya sedikit bergetar karena rasa penasaran. Angin malam berhembus lebih kencang, membuat rambut Thalia terurai dan beterbangan di udara. Ia berdiri tegak, menatap ke arah pemandangan di depan mereka dengan ekspresi yang tenang namun penuh arti. Tubuhnya bersandar pada pembatas balkon. "Kau ternyata memahami maksud perkataanku ya," kata Thalia, suaranya terdengar lembut namun tegas.

Thalia terdiam sejenak, menatap ke arah langit malam yang gelap dan bertabur bintang. Angin malam berhembus lembut, Ia menghela nafas panjang, suaranya terdengar seperti desahan yang lembut namun sarat makna. "Ketika ayahku membawamu kesini, dan mengatakan mencium bau manusia dan vampir darimu. Aku merasakan, ternyata ada yang sama seperti ku di dunia ini." Ucapnya sembari memandang langit.

Kai hanya mendengarkan, menatap wajah Thalia yang terlihat sedikit lesu di bawah cahaya bulan. Thalia menunduk sedikit, menutup matanya sejenak, seolah-olah sedang mengumpulkan keberanian. "Aku pikir kau seseorang yang terlahir dari manusia dan vampir sama sepertiku," katanya, suaranya terdengar sedikit ragu. "Tapi kurasa… kau dulunya manusia," lanjutnya, tatapannya bertemu dengan tatapan Kai. "Apakah aku salah?" Ia menunggu jawaban Kai dengan penuh harap, seolah-olah jawaban Kai akan menentukan segalanya.

"Tidak, itu benar," jawab Kai, suaranya terdengar pelan namun tegas. "Sudah kuduga," kata Thalia, suaranya terdengar sedikit lega. Ia tersenyum sedikit, senyum yang sedikit misterius dan penuh arti. Aku tidak mengerti, berapa lama kau sudah menahan itu?"

"Kurang lebih, 5 tahun kurasa," kata Kai, suaranya tenang namun matanya mengamati reaksi Thalia dengan tajam. Jangan bercanda, kau tidak bisa bertahan jika selama itu, kupikir kau baru saja turning beberapa hari yang lalu..." " Thalia menggelengkan kepala perlahan, jari-jarinya menelusuri ukiran halus pada pegangan balkon. Ekspresinya bercampur aduk antara heran dan tak percaya. Ia menatap mata Kai dengan intens.

Di kejauhan, cahaya kota berkedip-kedip seperti isyarat dari dunia lain, menambah suasana misterius di antara mereka. Sebuah daun kering jatuh dari pohon di dekat mereka, berputar-putar perlahan sebelum akhirnya menetap di lantai balkon, seperti waktu yang berlalu dengan perlahan tetapi pasti. Keheningan menyelimuti mereka sesaat, hanya diiringi oleh desiran angin malam dan suara-suara samar dari kota di bawah.

"Tidak kusangka selama itu, kau benar-benar naif ya," kata Thalia, suaranya terdengar lembut namun ada sedikit nada sindiran di dalamnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk meredakan ketegangan yang terasa di antara mereka. Pandangannya beralih dari wajah Kai ke pemandangan kota di kejauhan, seakan-akan mencari jawaban atas pertanyaan yang tak terucapkan. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya, senyum yang sulit diartikan, campuran kekaguman dan sedikit kasihan.

"Ya, terimakasih, aku sering mendengar itu," jawab Kai, suaranya datar. Ia tidak tersinggung dengan komentar Thalia, bahkan ia sedikit mengharapkan reaksi seperti itu. Ia sudah terbiasa dengan pandangan orang lain yang menganggapnya naif atau terlalu polos. Ia mengalihkan pandangannya ke arah tangannya sendiri, mengamati garis-garis halus di telapak tangannya dan mengepal tangannya. Ia mengangkat wajahnya kembali, tatapannya tegas dan penuh keyakinan.

Thalia tertawa sejenak, suara tawanya merdu dan menular, menghilangkan sedikit ketegangan yang masih tersisa di udara. "Fufufu," ia menutup mulutnya dengan tangannya, matanya masih berkilau karena tawa. "Jika aku mengalami itu, kemungkinan aku tidak bisa bertahan selama kau," akunya, suaranya kembali tenang, namun nada kagum masih terdengar jelas. Ia menatap Kai dengan tatapan yang lebih hangat dari sebelumnya, seolah mengakui kekuatan dan ketahanan lelaki itu.

"Yah, jika bisa memilih aku tidak ingin berada di antara dua kehidupan, tapi aku juga tidak membenci diriku yang sekarang," lanjut Thalia, suaranya sedikit lebih serius. Ia menatap langit malam yang bertabur bintang, seolah sedang merenungkan perjalanan hidupnya sendiri. Ia menoleh ke arah Kai, matanya bertemu dengan tatapan lelaki itu. Ada sesuatu yang baru ia rasakan di dalam hatinya, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

"Thalia..." Kai memulai, suaranya sedikit bergetar. Ia merasakan sesuatu yang baru di hatinya juga, sebuah koneksi yang tak terduga dengan gadis di depannya. Ia ingin menanyakan banyak hal, namun kata-kata seolah menghilang di tengah-tengah keheningan malam.

Thalia menyenderkan tubuhnya di pembatas balkon, matanya menatap jauh ke arah kota yang bermandikan cahaya bulan. Angin malam menerbangkan beberapa helai rambutnya, menambahkan kesan melankolis pada sosoknya. "Aku tidak diterima di keluarga ibuku karena aku vampir, dan tidak diterima juga di keluarga ayahku karena aku manusia. Bukankah itu lucu?" Ia tertawa kecil, suara tawanya sedikit hampa, lebih seperti desahan daripada tawa yang sebenarnya.

"Tidak," Kai menjawab, suaranya lembut namun tegas. Ia menatap Thalia dengan tatapan yang penuh dengan empati. Ia mendekati Thalia, jarak di antara mereka semakin dekat. "Kau tidak sendiri. Aku juga merasakan hal yang sama." Ia menambahkan, suaranya penuh dengan kehangatan dan pengertian.

"Kau bisa menjadi vampir seutuhnya, loh, kalau kau mau," kata Thalia, suaranya hampir seperti bisikan, namun di dalamnya terdapat sebuah ajakan yang sulit ditolak. Ia menoleh ke arah Kai, matanya berkilau dalam cahaya bulan. "Untuk sekarang aku tidak berminat dengan itu," jawab Kai, suaranya tegas.

"Kau..." Thalia menarik napas panjang, mencoba untuk meredakan keheranannya. Ia menatap Kai dengan tatapan yang lebih tajam dari sebelumnya, seolah sedang mencoba untuk memahami lelaki itu lebih dalam. "Kurasa aku mengerti kenapa ayahku tertarik denganmu, Kai," ujarnya, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya, menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras.

Dengan langkah anggun, Thalia berjalan masuk ke dalam ruangan dari balkon, meninggalkan Kai sendirian di luar. Cahaya bulan yang masuk melalui pintu balkon menerangi punggungnya yang ramping, menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah. Ia berhenti sejenak di ambang pintu, menoleh ke belakang untuk sekali lagi menatap Kai. "Terimakasih sudah menemaniku malam ini," katanya, suaranya lembut dan hangat, menunjukkan rasa syukur dan apresiasi yang tulus.

"Ya..." Kai menjawab, suaranya sedikit terdengar gagap. Ia masih terpaku di tempatnya, matanya masih tertuju pada Thalia yang sudah berada di dalam ruangan. "Thalia!" Ia memanggil nama gadis itu, suaranya lebih keras dari sebelumnya, menunjukkan bahwa ia ingin mengatakan sesuatu yang penting. "Kurasa... kurasa matamu itu juga cantik,"

"Dasar," Thalia tertawa kecil, suaranya terdengar dari dalam ruangan. "Aku sudah sering mendengar itu," katanya, suaranya penuh dengan kejutan yang terselubung di balik tawa kecilnya. Ia berjalan meninggalkan Kai sendirian di balkon.

Di balik tirai jendela yang sedikit terbuka, Kael mengamati mereka berdua dari balik bayangan, wajahnya tak terlihat jelas namun sorot matanya tajam, memperhatikan setiap detail percakapan mereka dengan seksama. Ia menyilangkan tangannya di dada, dan tersenyum tipis, sebuah senyum yang menunjukkan sebuah rasa puas yang dalam.

( To be continued)