Chapter 25 - ARC 1,25

Kael tersenyum tipis, sebuah senyum yang sedikit menyeramkan bagi sebagian orang. "Bagus," katanya, "ikuti aku." Ia memimpin Kai ke ruangan di belakang toko, sebuah ruangan yang lebih kecil dan lebih gelap daripada ruangan utama. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma yang lebih tajam, campuran rempah-rempah, herba, dan sesuatu yang lain… sesuatu yang sedikit menyeramkan.

"Kau sudah paham konsep mana kan?" tanya Kael, menatap Kai dengan serius, seolah ingin memastikan bahwa siswa di hadapannya benar-benar memahami dasar yang penting ini.

"Ya," jawab Kai dengan mantap, berusaha menunjukkan keyakinan yang ia rasakan. Kael mengangguk, terlihat puas dengan jawaban Kai. "Bagus. Pemahaman yang baik tentang mana adalah fondasi dari segala sihir. Tanpa itu, kau tidak akan bisa mengakses kekuatan yang lebih besar." Ia melanjutkan, "Sihir vampir terhubung erat dengan darah," kata Kael, suaranya masih berbisik, "darah adalah sumber kekuatan , dan juga kelemahan vampir. Kau harus belajar mengendalikannya, bukan hanya menguasainya." Ia mengarahkan pisau itu ke arah telapak tangan Kai. "Tetesan darahmu akan menjadi kunci untuk membuka gerbang menuju kekuatan baru."

"Tapi sepertinya ini terlalu cepat untukmu," kata Kael, mengamati Kai dengan tatapan yang menilai. "Sebagian vampir juga memahami konsep sihir yang dipahami oleh manusia. Mereka menggabungkan pengetahuan itu dengan kemampuan alami mereka untuk menciptakan sihir yang lebih kuat dan lebih kompleks.

Kai mengangguk perlahan, mencerna kata-kata Kael. "Baiklah," jawab Kai, "aku setuju." Kael mengangguk puas. Seulas senyum tipis, yang kali ini tidak tampak menyeramkan, terukir di bibirnya. "Bagus," katanya. "Mana, pada dasarnya, adalah energi vital yang mengalir di seluruh alam semesta. Semua makhluk hidup terhubung dengannya, tetapi manusia hanya memiliki akses yang terbatas. Mereka membutuhkan perantara, sebuah katalis, untuk memanfaatkan mana. Itulah mengapa manusia membutuhkan senjata sihir," Kael menjelaskan, menunjuk ke salah satu diagram yang menggambarkan aliran mana miliknya.

"Senjata sihir, seperti pedang, tongkat, atau jimat, bertindak sebagai saluran atau konduktor mana. Alkemis, pengrajin ahli, menanamkan sihir ke dalam senjata—" Perkataan Kael terpotong oleh Kai yang tiba-tiba bersuara. "Aku sudah paham dengan itu," potong Kai, sedikit frustrasi. "Tapi entah kenapa aku tidak bisa melakukannya. Aku sudah mencoba berkali-kali, tetapi aku tidak bisa merasakan atau mengendalikan mana melalui pedang yang kau berikan. Rasanya seperti ada penghalang yang mencegahku untuk terhubung dengannya."

"Itulah kenapa kebiasaan memotong perkataan orang itu tidak baik," kata Kael, nada suaranya sedikit tajam, namun tidak sampai marah. "Tentu, ras selain manusia tidak perlu melakukan itu, karena mereka bisa mengeluarkan sihir tanpa saluran atau konduktor mana. Mereka memiliki akses langsung ke aliran mana yang jauh lebih besar daripada manusia. Vampir, misalnya, dapat menggunakan sihir tanpa bantuan senjata sihir karena tubuh mereka sendiri adalah konduktor mana yang sangat efisien."

"Jadi maksudmu…!" Kai mengerutkan kening, sebuah pencerahan mulai muncul di benaknya. Kael menatap Kai tajam, "Benar, ada dua kesimpulan yang bisa aku katakan, pertama kau yang setengah vampir tidak perlu konduktor mana, kedua senjata yang kuberikan itu bukan senjata konduktor mana." Ucapnya sembari mengangguk perlahan.

Tiba-tiba, suara Solon bergema di benak Kai. "Tuan, bukankah ini sudah kuberitahu sebelumnya?" Kai menghela napas dalam hati. "Diamlah," gerutunya dalam pikirannya, "Kau menjelaskannya terlalu rumit. Kael baru saja menjelaskannya dengan cara yang lebih mudah dipahami."

Kael menatap Kai dengan ekspresi bingung. Dahi nya berkerut, matanya berkedip-kedip beberapa kali. Kai, menyadari bahwa ia telah berbicara tanpa suara, merasa pipinya memerah. Ia batuk kecil, mencoba untuk terlihat tenang. "Ah, itu… aku hanya… berpikir keras," jelasnya, sedikit gugup.

Kael mengangguk perlahan, mencerna penjelasan Kai. "Baiklah," katanya, "kau sudah paham konsepnya kan? Kalau begitu lakukanlah tanpa pedangmu." Kai menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan pikirannya. Ia menutup matanya, Ia membayangkan aliran mana sebagai sungai yang mengalir di dalam tubuhnya, merasakan sensasi hangat yang mengalir di pembuluh darahnya. Ia mengerutkan kening, berkonsentrasi penuh.

Kael tersenyum tipis, mengangguk pelan. "Itu sudah bagus. Kau sudah memahami konsep mana dengan baik." Ia menunjuk ke sebuah batu kecil di dekat mereka. "Cobalah untuk mengarahkan mana ke batu itu, rasakan alirannya, dan cobalah untuk menyerang atau menggerakkan batu itu."

Kai mengangguk, kembali menutup matanya. Ia fokus pada aliran mana di dalam dirinya, mencoba untuk mengarahkannya ke tangannya. Ia merasakan sensasi hangat yang mengalir ke ujung jari-jarinya, dan dengan perlahan, ia mencoba untuk mengarahkannya ke batu kecil di depannya. Ia merasakan sedikit getaran, batu itu bergetar sedikit, seakan-akan ingin bergerak. Ia mengerahkan sedikit lebih banyak mana, dan akhirnya, batu itu terangkat sedikit dari tanah, melayang beberapa sentimeter di atas permukaan. Kai membuka matanya, menatap batu itu dengan takjub. "Benar-benar berhasil....!"

Kael tersenyum lebar, menatap Kai dengan bangga. "Hooo, telekenesis ya. Itu bagus, sekarang coba untuk menyerang baru itu. Mari pastikan element mana yang ada di tubuhmu." Ia menunjuk baru yang lebih besar yang berada di depannya saat ini.

Kai mengangguk, ia menurunkan batu yang diangkatnya tadi. Ia fokus pada aliran mana di dalam dirinya, merasakan sensasi hangat yang mengalir di pembuluh darahnya. Kali ini, ia mencoba untuk mengarahkan mana dengan lebih terfokus, membayangkannya sebagai angin yang tajam dan kuat. Ia membayangkan hembusan angin yang kuat menerjang batu tersebut. Dengan perlahan, ia merasakan sensasi dingin dan tajam yang mengalir dari tangannya menuju batu, membuat batu itu terbelah menjadi dua. Mulutnya terbuka sedikit, matanya membulat sempurna. "Aku… aku memecahnya…" gumamnya.

Kael menatap Kai dengan ekspresi campuran kekaguman dan sedikit terkejut. Ia memberi tepukan kepada Kai sembari tersenyum, "Bagus, jika kau sudah memahami konsep, maka kau akan mudah melakukannya. Sekarang mari gunakan pedangmu."

"Pedang? Tapi katamu pedang ini bukan konduktor mana?" Kai mengerutkan kening, sedikit bingung dengan perubahan rencana mendadak ini. "Memang benar, tapi aku tiba-tiba kepikiran sesuatu." Ia tersenyum penuh arti. "Kau akan dicurigai jika tidak menggunakan senjata mu ketika menggunakan sihir, jadi aku tiba-tiba kepikiran tipuan kecil."

"Tipuan?" Kai mengerutkan dahi, masih sedikit ragu. "Maksudmu… aku harus berpura-pura?"

"Benar, kau cukup membuatnya seolah-olah sihir itu dikeluarkan oleh pedangmu," Kael menjelaskan, "Misalnya, ketika kau akan menyerang dengan hembusan angin, kau bisa mengarahkan mana-mu ke pedang, lalu mengayunkan pedangmu seolah-olah kekuatan angin itu berasal dari pedang itu sendiri. Gerakan pedangmu akan menjadi pemicu untuk melepaskan kekuatan anginmu, tetapi orang lain hanya akan melihatnya." Ia tersenyum, "Singkatnya, agak mirip dengan tipuan mata."

Kai merenungkan penjelasan Kael. Ia mengayun-ayunkan pedangnya dengan ringan, berpikir keras. Ide ini terdengar sedikit licik, tapi juga sangat efektif. "Aku mengerti. Ini seperti… menipu mata mereka, membuat mereka percaya bahwa pedang ini sebagai konduktor mana, sementara sebenarnya kekuatannya langsung berasal dariku." Ia tersenyum tipis, sebuah rencana licik mulai terbentuk di benaknya. "Ini… menarik. Aku akan mencobanya."

Kai berdiri tegak, memegang pedangnya dengan erat. Ia menarik napas dalam-dalam, memfokuskan pikirannya pada aliran mana di dalam dirinya. Ia membayangkan mana sebagai angin yang tajam dan kuat, mengalir melalui lengannya, dan menggesekkannya ke besi pedang sampai ujung-ujungnya seolah olah mananya benar-benar memasuki pedang itu. Saat pedang menyentuh boneka, sebuah hembusan angin yang kuat menerjang boneka tersebut, menggerakkan boneka itu beberapa sentimeter ke belakang. Kai mengerutkan kening, ia merasa masih belum sempurna. Kekuatan anginnya belum sepenuhnya terintegrasi dengan gerakan pedang.

Ia mencoba lagi, kali ini ia lebih fokus pada koordinasi antara aliran mana dan gerakan pedang. Ia mengayunkan pedang dengan gerakan yang lebih terkontrol, membayangkan angin yang terfokus dan tajam keluar dari ujung pedang. Saat pedang mengenai boneka, sebuah hembusan angin yang lebih kuat dan terarah menerjang boneka tersebut, menciptakan suara desisan yang nyaring. Kali ini, boneka kayu itu terdorong lebih jauh, bahkan hampir terjatuh.

Kai tersenyum puas. "Aku rasa... Aku berhasil.." katanya, suaranya dipenuhi dengan kepuasan. Kael mengangguk beberapa kali, "Bagus sekali, Kai! Kau melakukannya dengan sangat baik." Ia menepuk pundak Kai dengan penuh semangat.

"Sepertinya untuk cukup sampai di sini, kau bisa berlatih mandiri sekarang." Ia tersenyum ramah, memberikan Kai kesempatan untuk berlatih sendiri dan mengasah kemampuannya.

"Eh kalau begitu, bagaimana dengan sihir vampirnya?" tanya Kai, masih penasaran dengan sihir yang telah dibicarakan sebelumnya. Kael menggeleng pelan. "Kau tidak cukup mana saat ini, juga sihir vampir akan sangat menguras energi mu. Dan juga, aku akan mengajarkan ini jika kau sudah memberitahuku rahasia ramuan itu." Ia menatap Kai dengan serius. "Jadi, fokuslah pada latihanmu sekarang. Kuasai dulu kemampuanmu yang sudah ada, lalu kita akan bicara tentang sihir vampir."

"Ugh…!" Kai menggerutu kesal, Kael menghela nafas. Menguasai sihir membutuhkan waktu dan latihan yang konsisten. Tidak ada jalan pintas untuk menjadi kuat. Kau bisa beristirahat di sini sementara, yah lagipula kau tidak bisa keluar dengan penampilan seperti itu kan?" Ucapnya keluar dari ruangan itu.

Kai menghela nafas panjang, menatap tangannya yang masih sedikit kotor dan berdebu. Ia perlu fokus pada latihannya saat ini. Ia berdiri, membersihkan sedikit debu dari bajunya, dan mulai berjalan keluar dari ruangan latihan. Saat ia berjalan, ia melihat sesosok perempuan yang sangat cantik berdiri di dekat pintu masuk.

"Kau benar-benar sudah jadi murid ayah ya?" Perempuan itu bertanya, suaranya lembut dan merdu. "Kau, Thalia?" Kai bertanya, suaranya sedikit gemetar karena terkejut."Benar, aku akan mengantarmu ke tempatmu beristirahat di sini." Thalia tersenyum ramah, "Ikuti aku. Ayahku sudah memberitahuku tentang kedatanganmu." Ia berjalan dan Kai mengikutinya dibelakang.

Thalia menunjuk ke arah sebuah lorong. "Kamarmu ada di ujung lorong itu. Ada kamar mandi dan tempat tidur yang nyaman. Istirahatlah dengan nyaman." Ia berjalan di depan Kai, menunjukkan jalan menuju kamarnya. Kai mengikuti Thalia dengan perasaan sedikit canggung.

"Oh, terimakasih." Ucapnya singkat

(To be continued)