Kai masih berusaha melakukan teknik yang diajarkan oleh Adelie, hingga tak sadar jam kelas praktik mana sudah berakhir, Adelie yang dari tadi mengamati Kai, menghela nafas lalu ia menaikan kacamatanya, "Kurasa untuk hari ini sudah cukup." Adelie menepuk tangannya, suara tepukannya yang lembut namun tegas menghentikan riuh rendah di ruangan latihan. Semua mata tertuju padanya. "Baiklah, para siswa," katanya, senyum tipis terukir di bibirnya. "Hari ini kita telah mempelajari dasar-dasar pengendalian mana. Kalian semua telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, terluslah berlatih," Adelie menjentikkan jarinya sekali, sebuah gerakan kecil yang hampir tak terlihat. Seketika, kursi dan meja yang sebelumnya telah menghilang—sebuah demonstrasi kemampuan manipulasi ruang yang sederhana namun efektif—muncul kembali di tempatnya semula, tertata rapi seolah tak pernah hilang.
Adelie berjalan menuju pintu, "Kelas berakhir. Sampai jumpa minggu depan." katanya, berhenti di ambang pintu. Dengan itu, ia meninggalkan ruangan, meninggalkan para siswa. Disisi lain Kai menghela nafasnya, dan Solon kembali menjadi gelang yang berada di tangan kiri Kai.
"Kai, jangan khawatir. Kau pasti bisa melakukannya!" Claire menepuk bahu Kai dengan lembut, senyum dukungan terukir di wajahnya. "Terimakasih Claire, aku juga akan latihan dengan giat." Kai tersenyum tipis, rasa hangat memenuhi hatinya.
Beberapa saat kemudian, Brad muncul, menghampiri mereka dengan senyum yang sedikit mengejek. Ia mengayunkan pedangnya dengan gaya yang sedikit berlebihan, membuat cahaya berkilauan di ujungnya. "Wah wah, tidak kusangka tidak bisa melakukan hal sepele seperti ini jika ingin menjadi Hunter? Kau bisa mati kering menjadi makanan pada vampir itu loh." Brad menyeringai, menggerakkan pedangnya dengan gaya yang masih mengejek. "Bayangkan saja, kau menghadapi vampir haus darah, dan kau bahkan tidak bisa mengeluarkan mana terkecil sekalipun. Kau akan menjadi santapan yang lezat." Ia tertawa keras, suaranya bergema di ruangan latihan yang tiba-tiba terasa sunyi.
"Brad, tolong jangan keterlaluan!" Claire melangkah maju, ia mengerutkan kening, siap membela Kai, tetapi Kai mengangkat tangannya, menghentikannya. "Tidak apa-apa Claire, aku baik-baik saja." Kai meletakkan tangannya di lengan Claire, menenangkannya. Ia menatap Brad dengan tenang, tanpa menunjukkan emosi yang berlebihan.
"Aku sempat iri karena pedangmu terlihat sedikit keren dari pedang yang kumiliki tapi setelah melihatnya sendiri aku mengurungkan niatku." Brad tiba-tiba terdiam, menurunkan pedangnya. Ia mendekati Kai kemudian memegang bahunya dan menunduk ia, berbisik di telinga Kai, "Sebaiknya kau tidak menjadi beban untuk kedepannya." Brad berbalik, nada suaranya dingin dan penuh penghinaan. Ia melirik Kai sekilas, kemudian berjalan keluar dari ruangan latihan tanpa menunggu jawaban. Suasana menjadi tegang, Claire menatap punggung Brad yang menjauh dengan ekspresi khawatir, sedangkan Kai hanya terdiam, menatap pedangnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya suara napas mereka yang terdengar.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada seorang pria yang mendekati Claire dan Kai, namanya Sylus. Sylus, dengan rambut pirang yang sedikit panjang dan mata hijau yang tajam, tersenyum ramah kepada mereka berdua. "Kau jangan terlalu ambil hati dari perkataannya ya," ujarnya, suaranya lembut namun penuh wibawa. Ia menepuk bahu Kai dengan ringan. "Aku Sylus, senang bertemu dengan kalian."
"Aku Claire," Claire tersenyum ramah, memperkenalkan dirinya. "Aku Kai," Kai mengangguk singkat, menawarkan senyum tipis sebagai balasan. "Salam kenal ya, oh ya Kai, Ketika kau datang dengan jubah itu, wah terlihat sangat keren. Aku jadi tertarik berteman denganmu." Sylus tertawa kecil, suaranya ramah dan bersahabat. Ia mengamati Kai dengan penuh minat.
Kai terdiam sejenak, menatap Sylus dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia sedikit terkejut dengan pernyataan Sylus yang tiba-tiba, dan ia merasa perlu untuk menjelaskan kesalahpahaman tersebut dengan sopan. "Oh, maaf tapi aku tidak tertarik denganmu, aku masih menyukai perempuan." Suaranya tenang, namun tegas, menunjukkan bahwa ia tidak tertarik dengan pendekatan Sylus yang mungkin salah diartikan.
Sylus tertawa terbahak-bahak, suaranya riang dan lepas. Ia tidak tersinggung sama sekali oleh penolakan Kai, justru ia tampak terhibur. "ppfttt hahahaha… Tenang saja, aku murni ingin berteman denganmu, aku juga masih suka perempuan." Sylus menyeka air mata yang keluar karena tertawa. "Lagipula, di dunia ini, persahabatan antar pria juga sangat penting, bukan?" Ia menawarkan senyum yang tulus, mencoba untuk menghilangkan rasa tidak nyaman yang mungkin dirasakan Kai.
"Dan juga aku tertarik dengan pedangmu, itu," lanjut Sylus, matanya masih tertuju pada Solon yang digenggam Kai. "Pedang itu memancarkan aura yang berbeda dari senjata sihir lainnya. Ada sesuatu yang misterius dan kuat di dalamnya." Jelas Sylus.
Kai sedikit terkejut dengan ketertarikan Sylus pada Solon. Ia belum pernah menceritakan detail tentang pedang itu kepada siapa pun, dan ia sedikit ragu untuk membicarakannya. Namun, ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada Sylus, sebuah rasa kepercayaan yang sulit dijelaskan. Ia memutuskan untuk sedikit lebih terbuka.
"Aku juga merasa senjata milik Kai sedikit berbeda," Claire menambahkan, ""Ada sesuatu yang… unik tentang pedang itu. Aku tidak bisa menjelaskan dengan pasti, tapi aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dari senjata sihir lainnya yang pernah kulihat."
"Eh? Claire juga menyadarinya?" Sylus tampak terkejut. Ia menatap Claire dan Kai bergantian, seakan mencoba untuk memahami apa yang mereka rasakan. "Hanya firasat? Kalian tahu kan senjata Hunter itu biasanya dibuat dan dirancang oleh Alkemis, karena ayahku juga melakukan ini, aku sudah melihat beberapa senjata sebelumnya tapi aku tidak merasakan itu di senjatanya Kai," Claire melanjutkan, ekspresi wajahnya serius.
Kai hanya bisa terdiam, perasaannya campur aduk antara kebingungan dan rasa ingin tahu. Tiba-tiba, ia merasakan suara halus di dalam pikirannya. "Tuan, dua orang ini benar-benar menyadari potensi yang saya miliki." Suara Solon, pedangnya, berbicara langsung ke dalam benaknya, membuat Kai terkejut.
"Jadi kau sekarang menyombongkan diri?" Kai menjawab dalam hati, sedikit skeptis. Ia tidak bisa percaya bahwa pedangnya bisa berbicara dengan cara seperti ini, tetapi ada keanehan yang membuatnya merasa bahwa ini bukan sekadar khayalan.
"Tidak, Tuan, saya hanya terkejut. Tidak banyak orang yang bisa memahami ekstensi saya," jawab Solon, suaranya tenang namun penuh makna. "Biasanya, hanya pemilik yang memiliki ikatan kuat dengan saya yang dapat merasakan kehadiran saya secara mendalam. Namun, mereka, tampaknya memiliki intuisi yang luar biasa."
Kai merasa seolah-olah terjebak dalam percakapan antara dirinya dan Solon, sementara Claire dan Sylus terus membahas keunikan pedang tersebut. Dia mulai merenungkan apa yang Solon katakan.
Di sisi lain, Claire dan Sylus tidak menyadari bahwa Kai sedang berkomunikasi dengan pedangnya. "Kai, apakah kamu mendengar kami?" Claire bertanya, mencoba menarik perhatian Kai yang tampak melamun.
Kai tersentak dari pikirannya dan menatap Claire. "Oh, maaf. Aku… hanya kepikiran sesuatu," katanya, sedikit bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Wajahnya menunjukkan sedikit keraguan dan ketidakpastian. Ia mengusap dahinya, mencoba untuk mengumpulkan pikirannya yang masih melayang-layang setelah percakapan batinnya dengan Solon. "Terimakasih atas kekhawatiran kalian, tapi bisa jadi itu masalahnya di diriku kan?" Ia berusaha untuk terdengar meyakinkan, namun nada suaranya masih menunjukkan sedikit keraguan. Ia menambahkan, dengan sedikit tersenyum kaku, "Aku akan berlatih lebih keras."
Setelah percakapan singkat itu, pergantian kelas dimulai, kelas selanjutnya yaitu kelas pelatihan yang diawasi oleh Adam. Latihan dimulai dengan pemanasan yang cukup berat, berlanjut dengan latihan kekuatan, kecepatan, dan kelenturan. Adam memberikan instruksi dengan tegas namun penuh perhatian, memperhatikan postur dan teknik setiap siswa dengan cermat. Ia memberikan koreksi dan motivasi pada waktu yang tepat, membantu para siswa untuk mencapai potensi maksimal mereka.
Waktu berlalu dengan cepat di tengah latihan yang intensif. Peluh membasahi tubuh para siswa, namun mereka terus berlatih dengan semangat, didorong oleh motivasi dan bimbingan Adam. Kelaspun berakhir, para siswa mulai membereskan peralatan mereka, merasakan rasa lelah namun puas dengan latihan yang telah mereka lalui. Adam memberikan kata-kata penutup, memberikan motivasi untuk terus berlatih dan meningkatkan kemampuan mereka.
Setelah kelas pelatihan fisik berakhir, para siswa beristirahat sejenak, menghirup udara segar dan memulihkan tenaga mereka. Adam, dengan senyum puas, mengamati para siswa yang kelelahan namun tampak bersemangat. "Kalian semua telah menunjukkan kemajuan yang signifikan hari ini," katanya, suaranya penuh apresiasi. "Teruslah berlatih, dan kalian akan mencapai potensi maksimal kalian."
Kai, yang masih mencoba untuk mengatur napasnya, menunjukkan senyum lelah namun puas. Ia merasakan peningkatan yang signifikan dalam kekuatan dan kontrol tubuhnya. Hari pun hampir berakhir, para siswa satu per satu mulai berpamitan dan meninggalkan tempat pelatihan, langkah kaki mereka tampak berat namun diiringi senyum puas. Suasana yang semula ramai berangsur-angsur menjadi sepi. Kai, Sylus dan Claire berjalan menuju gerbang Akademi, Claire mendekati Kai, menawarkan senyum ramah. "Sampai jumpa lagi, Kai," katanya. "uhm, sampai jumpa." Kai membalasnya, Claire tersenyum kemudian mengambil arah yang berbeda dari Kai.
Sylus juga mendekati Kai, menawarkan senyum yang sama ramahnya. "Sampai jumpa lagi," katanya. "Jangan lupa untuk terus berlatih. Kita bisa berlatih bersama lain waktu." Ia menawarkan jabat tangan kepada Kai, kemudian berjalan menuju arah yang sama dengan Claire. Kai hanya membalas dengan melambaikan tangannya, setelah Claire dan Sylus pergi dari pandangannya, dia melirik ke sekitarnya, "Ternyata dia belum kembali ya, apa misi nya belum selesai?" gumamnya, suaranya hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri.
"Apa Anda memikirkan wanita berambut merah itu, Tuan?" Suara Solon tiba-tiba bergema di benak Kai, membuatnya tersentak. Ia belum terbiasa dengan kemampuan Solon untuk berkomunikasi langsung ke pikirannya.
"Ya, begitulah," jawab Kai dalam hati, suaranya hanya terdengar oleh Solon. "Kurasa dia belum pulang dari misinya kali ini." Kai kemudian melanjutkan jalannya. "Kurasa ini kesempatan untuk berbicara dengannya."
Kai berjalan menyusuri alun-alun kota, matahari sore mulai tenggelam, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu. Ia sedang mencari sesuatu, sesuatu yang sangat penting. Ia memandangi deretan toko dan gedung di sekitarnya, matanya mencari sesuatu yang spesifik. Ia membaca satu persatu plang toko, mencari tanda yang menunjukkan toko ramuan yang dicarinya. Ia terus berjalan, matanya tidak lepas dari deretan toko di sekitarnya, seingatnya toko itu berada di sudut kota.
"Anda sepertinya bertemu dengan seseorang, siapa itu, Tuan?" Suara Solon kembali bergema di benak Kai, kali ini dengan nada yang sedikit lebih penasaran. "Ya, aku ingin orang itu mengajariku sihir," jawab Kai dalam hati, "Dia pernah menawariku. Jadi kurasa ini waktu yang tepat untuk menemuinya." Plang kayu yang sudah usang tergantung di atas pintu, menunjukkan nama toko dengan huruf yang sudah memudar. Kai menarik napas dalam-dalam, kemudian menggerakkan pegangan pintu dan memasuki toko tersebut.
Bau rempah-rempah dan herba langsung menyeruak ke hidungnya. Rak-rak kayu yang dipenuhi berbagai botol ramuan berjajar rapat, menciptakan suasana yang misterius dan menarik. Di ujung toko, terdapat meja kerja yang dipenuhi berbagai alat dan bahan ramuan. Seorang pria berambut biru tua sedang mengaduk sesuatu di dalam cawan besar.
"Wah, kau datang tepat waktu," katanya, suaranya agak tajam. "Telat sedikit saja, kau sudah membuat keributan lagi." Ia melirik wajah Kai dengan tatapan yang tajam. "Jadi, apa yang membuatmu kembali kesini?"
"Tawaranmu itu masih berlaku, kan?" tanya Kai, suaranya penuh harapan. Kael tersenyum sedikit, matanya berkilat tajam. "Soal aku mengajarimu sihir? Tentu saja," jawabnya, suaranya masih tegas namun terdengar sedikit lebih hangat. "Apa kau sudah memutuskannya?" Ia menatap Kai dengan tatapan yang menembus, seolah-olah ingin melihat ke dalam jiwa Kai. "Yah kurasa kau tidak lupa dengan perkataan ku sebelumnya."
"Tentu saja," jawab Kai dengan mantap, tatapannya teguh dan penuh keyakinan. "Aku juga berencana mengikuti kelas Alkemis, jadi kumohon ajari aku cara menggunakan sihir menggunakan cara yang digunakan vampir." Ia menjelaskan rencananya dengan jelas, menunjukkan keseriusannya kali ini.
(To be continued)