Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 23 - ARC 1, 23

Chapter 23 - ARC 1, 23

Adelie melanjutkan penjelasannya tentang aliran mana, memberikan tips dan teknik untuk mengendalikan energi yang ada dalam diri mereka. "Pertama-tama," ia mulai, suaranya tenang namun tegas, "kalian harus memahami bahwa mana adalah energi kehidupan yang mengalir dalam diri setiap makhluk. Mengendalikannya adalah kunci untuk memaksimalkan potensi kalian sebagai pengguna sihir." Jelasnya sembari mengambil senjata seperti cambuk yah terkait di pinggangnya.

Ia menunjuk ke arah cambuknya. "Seperti yang kalian tahu, untuk menggunakan sihir, manusia berbeda dari ras lain. Manusia menggunakan senjata sihir sebagai perantara untuk menggunakan sihir, seperti cambuk ini. Ia adalah saluran bagi mana kalian untuk mengalir. Kalian bukanlah sekadar mengendalikan senjata, tetapi mengendalikan aliran mana yang mengalir melalui senjata itu. Rasakan getarannya," ujarnya, menyentuh ujung cambuk dengan lembut, "rasakan bagaimana mana merespon setiap gerakan kalian."

Adelie kemudian mendemonstrasikan beberapa teknik dasar. Dengan gerakan cepat dan terampil, ia mengayunkan cambuknya, menciptakan ilusi bayangan yang bergerak cepat di udara. "Lihatlah," katanya, "mana tidak hanya digunakan untuk menyerang. Ia juga bisa digunakan untuk menciptakan ilusi, manipulasi, dan bahkan penyembuhan. Semua tergantung pada bagaimana kalian mengendalikan alirannya dan bagaimana kalian mengarahkan energi itu."

Ia berhenti sejenak, mengamati para siswa. "Sekarang, saya ingin kalian mencoba merasakan aliran mana di dalam tubuh kalian. Fokuskan perhatian kalian pada titik-titik mana utama, seperti telapak tangan, jantung, dan perut. Rasakan getarannya, rasakan kekuatannya. Jangan terburu-buru, biarkan mana mengalir secara alami. Jika kalian merasa kesulitan, bayangkan aliran sungai yang mengalir dengan tenang dan lembut. Biarkan mana membimbing kalian."

Adelie berjalan di antara para siswa, memberikan bimbingan dan koreksi personal. Semua siswa melakukan arahan yang diberikan oleh Adelie. Disisi lain, Kai berusaha menenangkan diri dan fokus pada perasaan di dalam dirinya. Ia menutup matanya, mencoba merasakan mana yang mengalir di dalam tubuhnya. Perlahan, ia merasakan energi itu mulai berkumpul di telapak tangannya, dan pedang yang dipegangnya mulai bergetar sedikit, seolah merespons aliran mana yang ia kirimkan.

"Anda memahami konsep mana dengan cepat ya tuan, saya merasa bersemangat sekali sekarang." suara Solon kembali muncul, memecah keheningan yang mulai dirasakan Kai. Ia menghela napas dalam, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggu, "Kau benar-benar cerewet ya Solon, bisakah diam untuk saat ini. Aku sedang berkonsentrasi."

Suasana kembali hening, Solon tidak menjawab apapun setelah itu. Di sekelilingnya, beberapa teman sekelasnya mulai berteriak dan tertawa, suara mereka bercampur dalam suasana kelas yang penuh semangat. Setelah beberapa saat berlatih, Adelie mulai memperhatikan kemajuan masing-masing siswa. "Bagus, seperti kalian sudah memahami konsep dasar dari mana," katanya, tersenyum puas sambil mengamati setiap gerakan mereka. "Itu langkah awal yang sangat baik. Namun, mengendalikan mana bukanlah sekadar merasakan alirannya, tetapi juga memahami bagaimana mengarahkannya untuk menciptakan efek yang diinginkan." Ia berjalan di antara para siswa, mengamati dengan seksama bagaimana mereka memegang senjata mereka dan bagaimana mereka mengarahkan aliran mana. Ia berjalan di antara para siswa, mengamati dengan seksama bagaimana mereka memegang senjata mereka dan bagaimana mereka mengarahkan aliran mana. "Perhatikan bagaimana kalian memegang senjata kalian. Posisi tubuh, pernapasan, dan fokus pikiran kalian semua saling berkaitan. Ketiga elemen ini harus selaras untuk menghasilkan aliran mana yang stabil dan terkendali."

"Teruskan fokus, dan coba lepaskan beberapa mantra yang ada di pikiran melalui senjata yang kalian gunakan," Adelie melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius. "Jangan takut untuk bereksperimen, tetapi ingatlah untuk selalu mengendalikan aliran mana kalian. Mantra adalah ekspresi dari niat dan kemauan kalian. Kalian harus mampu memvisualisasikan mantra yang ingin kalian gunakan, dan mengarahkan aliran mana kalian untuk mewujudkan visualisasi tersebut. Jika kalian merasa kesulitan, cobalah untuk memulai dengan mantra yang sederhana, seperti menciptakan bola api kecil atau penghalang mana yang tipis."

Disisi lain Claire menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri dan memfokuskan pikirannya. Ia memegang tongkat miliknya dengan erat, merasakan aliran mana yang mengalir di dalam tubuhnya. Ia menutup matanya sejenak, membayangkan sebuah penghalang yang kuat dan kokoh mengelilingi dirinya. Ia memvisualisasikan penghalang itu sebagai dinding cahaya yang tak tertembus, mampu menahan serangan apa pun. Dengan gerakan tangan yang anggun dan terukur, Claire mengayunkan tongkatnya ke depan. Sebuah lingkaran cahaya biru pucat mulai terbentuk di depannya, mengembang perlahan hingga mencapai diameter sekitar satu meter. Cahaya itu tidak menyilaukan, tetapi memancarkan aura kekuatan yang tenang dan kokoh. Partikel-partikel kecil mana berputar-putar di dalam lingkaran cahaya, menciptakan sebuah pusaran energi yang menawan.

"Kai, aku berhasil...!" seru Claire, suaranya bergetar karena campuran kegembiraan dan kelelahan. Ia memegang tongkatnua erat-erat, tongkat itu masih sedikit bergetar dari sisa-sisa aliran mana yang baru saja ia gunakan. Wajahnya memerah, keringat membasahi dahinya, namun senyum lebar terukir di bibirnya. Dari ujung pedangnya, masih tersisa sedikit cahaya biru redup, sisa-sisa mantra cahaya yang baru saja ia lepaskan. "Aku berhasil menciptakan penghalang mana yang cukup kuat!"

Kai, yang sedang berlatih mengendalikan aliran mana ke dalam pedangnya, menoleh ke arah Claire. Ia meletakkan pedangnya sejenak, mengamati Claire dengan penuh perhatian. Ia melihat betapa gembiranya Claire, betapa bangganya ia atas pencapaiannya. Senyum tipis terukir di bibir Kai. "Itu luar biasa, Aku tau kau bisa melakukannya." Tegas Kai, Claire tersenyum kearahnya.

Adelie menaikkan alisnya, lalu mendorong kacamatanya yang sedikit melorot ke atas hidungnya. "Tipe pertahanan, ya," katanya, mengamati penghalang mana yang masih berdenyut lemah di depan Claire. "Itu sangat dibutuhkan saat ini." Senyum tipis terukir di bibirnya, kemudian dia kembali mengamati siswa yang lain.

"Fire ball.....!" 

"Watering flash....!"

"Ground Shot...!"

Adelie mulai mengamati beberapa siswa mengeluarkan sihir dari senjatanya, langkah kakinya tenang namun penuh perhatian. Ia berjalan di antara mereka, mengamati dengan seksama bagaimana setiap siswa mengendalikan aliran mana dan bagaimana mereka mengarahkan energi tersebut ke dalam senjata mereka. "Sepertinya semuanya sudah menguasainya." Senyum terukir di bibirnya, kemudian tiba-tiba ledakan besar terdengar.

"Photon Bullet...!" seru Brad , ..!" teriak Brad, rambutnya yang sedikit berantakan tergerai saat ia mengayunkan pedangnya. Dari ujung pedangnya, sebuah proyektil cahaya biru kecil melesat dengan kecepatan tinggi, menghantam dinding latihan yang dirancang khusus, meninggalkan bekas cahaya yang samar. Proyektil cahaya itu menunjukkan kendali dan ketepatan yang luar biasa, membuktikan bahwa Brad telah menguasai teknik pengendalian mana dengan sangat baik.

Adelie berdiri tegak, matanya berbinar penuh semangat. "hoo, seperti yang diharapkan dari pemilik nilai sempurna dalam tes. " katanya, suaranya lantang namun tenang, menembus hiruk pikuk yang tercipta. Brad, yang masih sedikit terengah-engah karena mengeluarkan mantra tersebut, tersenyum bangga. Ia menurunkan pedangnya, mengusap keringat yang membasahi dahinya. "Itu masih belum sempurna, Mentor," katanya, suaranya sedikit terengah-engah, "Saya masih perlu meningkatkan kekuatan dan jangkauan proyektilnya." Ia mengamati retakan halus di dinding latihan, menganalisis kekuatan dan akurasi serangannya.

"Yah, sepertinya untuk percobaan pertama itu sudah lumayan bagus," kata Adelie, senyum tipis terukir di bibirnya. Ia mengamati bekas cahaya samar dan retakan halus di dinding latihan yang ditinggalkan oleh Photon Bullet Brad. "Sebagian besar dari kalian telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam mengendalikan mana dan mengarahkannya melalui senjata. Kalian telah menguasai dasar-dasar dan siap untuk mempelajari teknik yang lebih kompleks."

Pandangannya kemudian beralih ke Kai, yang berdiri di sudut ruangan, wajahnya tampak serius dan sedikit frustasi. Ia tampak berjuang untuk mengendalikan aliran mana yang mengalir melalui pedangnya. Berbeda dengan siswa lain yang sudah mampu menghasilkan sihir dengan relatif mudah, Kai masih tampak kesulitan untuk mengendalikan energi tersebut.

Adelie memperhatikan Kai yang menghela napas panjang, lalu mengusap dahinya. Ia tahu Kai sedang berjuang. Siswa lain telah mampu menghasilkan sihir yang terlihat, namun Kai masih tampak bergumul dengan prosesnya. Adelie memutuskan untuk memberikan Kai sedikit waktu dan ruang untuk mengatasi masalahnya sendiri. Claire yang menyadari ini dia memandang Kai dengan khawatir, "Kai...." Gumamnya pelan.

Sementara itu, di dalam pikiran Kai, percakapan batinnya dengan Solon berlanjut. "Solon, aku sudah mengalirkan mana padamu, tapi kenapa tidak ada pikiran apapun yang terlintas di pikiranku sekarang," gumam Kai dalam pikirannya.

"Maafkan aku, Tuan," jawab Solon dalam pikiran Kai, suaranya tenang. "Aku tidak mengerti apapun tentang sihir, karena aku tidak dirancang untuk itu. Aku hanyalah sebuah pedang, sebuah artefak kuno yang kuat, tapi aku tidak memiliki kemampuan untuk memproses atau mengarahkan mana seperti senjata sihir lainnya."

"Apa...?" Kai tercengang. Ia merasa seperti sebuah pukulan keras di dadanya. Semua ini tidak masuk akal. Ia telah berlatih keras, mencoba untuk mengendalikan mana dan mengarahkannya melalui Solon, namun ternyata pedang itu sendiri tidak memiliki kemampuan untuk menjadi perantara sihir?

"Memang benar, aku membutuhkan aliran mana untuk meningkatkan kekuatan dan ketajamanku," lanjut Solon, "tapi aku berbeda dengan senjata yang dirancang khusus untuk menjadi perantara sihir. Aku tidak memiliki saluran atau sirkuit mana internal seperti senjata-senjata sihir lainnya. Mana yang kau alirkan padaku hanya akan meningkatkan kekuatan fisikku, bukan untuk menghasilkan sihir."

Keheningan menyelimuti pikiran Kai sesaat. Ia merasa seperti dunia di hadapannya runtuh. Semua latihan kerasnya, semua harapannya, ternyata sia-sia. Ia telah salah mengira Solon sebagai senjata sihir yang mampu membantunya menghasilkan sihir. "Yah, aku akan menemukan solusi lain untuk itu," kata Kai dalam pikirannya, suaranya terdengar lebih tenang dari sebelumnya, menunjukkan tekad yang baru. "Tapi bisakah kau buat seolah-olah bisa mengeluarkan sihir? Jika tidak berhasil, tidak hanya aku yang dicurigai, tapi kau juga. Kita harus terlihat mampu, setidaknya sampai aku menemukan cara lain untuk memanfaatkan kekuatanmu." Ia merasa sedikit tertekan, tetapi ia harus tetap optimis dan mencari jalan keluar.

"Kalau itu, serahkan saja kepadaku, Tuan," jawab Solon, suaranya terdengar lebih percaya diri. Sebuah cahaya redup, hampir tak terlihat, berkelebat di permukaan pedang. Cahaya itu sangat halus, hanya terlihat sekilas, dan hanya Kai yang menyadari perubahan tersebut. Bagi siswa lain, Solon tetap terlihat seperti pedang biasa. Tidak ada percikan, tidak ada cahaya yang mencolok, tidak ada tanda-tanda sihir yang terlihat. Hanya Kai yang merasakan perubahan energi halus yang mengalir melalui pedang.

"Percaya apanya...?!" Kai membentak dalam pikirannya, ia kemudian menghela nafasnya lalu berhenti mengalirkan mana ke pedangnya Ia kemudian menghela nafas panjang, mencoba untuk menenangkan dirinya.

"Tuan," suara Solon terdengar lembut, "apakah Anda sekecewa itu? Rasanya saya ingin menangis. Saya tidak pernah bermaksud untuk mengecewakan Anda." Nada suara Solon terdengar sungguh-sungguh, menunjukkan penyesalan atas kegagalannya dalam membantu Kai. Ia merasa bersalah karena telah mengecewakan tuannya.

"Aku memang kecewa, Solon," akui Kai dalam pikirannya, suaranya lebih tenang sekarang, namun masih terdengar sedikit getir. "Tapi untuk mengatasi penggunaan sihir ini, aku akan memikirkannya setelahnya. Sekarang, yang terpenting adalah kita harus tetap terlihat mampu di mata Adelie dan siswa lainnya. Kita harus menemukan cara lain, cara untuk mengatasi situasi ini." Ia berusaha untuk berpikir jernih, mencari solusi yang terbaik untuk situasi mereka.

"Saya akan berusaha agar bisa membantu Anda, Tuan," kata Solon, suaranya penuh tekad. Tiba-tiba, ingatan tentang tawaran Kael muncul di benak Kai. Mungkin, ini adalah saat yang tepat untuk menerima tawaran tersebut. Sebuah ide baru mulai muncul di benaknya. Mungkin, ia bisa menggabungkan kekuatan Solon dengan kemampuan sihir. Sebuah rencana mulai terbentuk di dalam pikirannya.

Adelie, yang mengamati Kai dari kejauhan, mengerutkan kening sedikit. Ia menyadari bahwa Kai masih berjuang, namun ia tidak ingin mengganggu konsentrasi siswa tersebut. Ia memutuskan untuk menunggu dan melihat apa yang akan Kai lakukan. Ia melirik ke arah siswa lain, yang sebagian besar telah berhasil menghasilkan sihir dengan baik. Ia memberikan anggukan kecil kepada mereka sebagai tanda pengakuan atas kemajuan mereka.

(To be continued)