Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 22 - ARC 1, 22

Chapter 22 - ARC 1, 22

Kai terbangun dari tidurnya, keringat dingin membasahi dahinya. Mimpi—atau lebih tepatnya, penglihatan—itu terasa begitu nyata. Ia membuka matanya perlahan, matahari memasuki ruangannya. Ia duduk di tepi ranjang, memegangi gelang zamrud di pergelangan tangan kirinya. "Mimpi? Apa aku terlalu kelelahan ya?" Gumamnya sembari menggaruk-garuk rambutnya.

Ia melakukan aktivitas seperti biasa, mencuci muka dengan nampan air yang sudah disiapkan. Setelah mengenakan seragam akademi, ia meneteskan ramuan ke mata dan giginya. Tiba-tiba, sebuah suara—jernih, berwibawa, namun terasa sangat dekat—menyeruak ke dalam benaknya. "Selamat pagi, Tuan."

Kai tersentak, ia menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan asal dari suara itu. Ia meneguk ludah, matanya berkedip beberapa kali, mencoba untuk memproses suara yang baru saja ia dengar. Bukan suara dari luar, melainkan suara yang langsung masuk ke dalam pikirannya. Suara itu... "Solon...?"gumam Kai, suaranya hampir tak terdengar. Ia melirik ke cermin, mengamati pantulan dirinya sendiri. Tidak ada yang aneh, hanya dirinya yang tampak sedikit terkejut.

"Tentu saja," jawab Solon, suaranya masih terdengar di dalam pikiran Kai. "Saya sangat sedih karena anda menganggap bahwa pertemuan kita sebelumnya hanya mimpi." Kai mengerutkan dahi. "Bukankah kau bilang tidak memiliki emosi?" tanyanya, sedikit bingung sembari mengancingkan kancing bajunya. Ia masih belum sepenuhnya terbiasa dengan keberadaan Solon di dalam pikirannya.

"Benar tuan," jawab Solon, "tapi saya ingin mencoba mengatakan itu. Meskipun saya tidak merasakan emosi seperti manusia, saya memahami konsepnya dan saya berusaha untuk merespon sesuai konteks. Kai hanya menghela nafas. Setelah selesai bersiap dengan seragamnya, ia berjalan keluar dari ruangannya.

"Apakah Anda akan pergi ke akademi sekarang, Tuan?" Suara Solon terdengar di benaknya.

"Ya, begitulah," jawab Kai. "Aku harus melatih tubuhku."

"Saya sudah cukup untuk membantu Anda menjadi kuat, Tuan," kata Solon. Kai berhenti di ambang pintu, berpikir sejenak. "Aku belum tau bagaimana kekuatanmu tuh?" Ia melanjutkan langkahnya, "Untuk saat ini berhenti bicara di pikiranku.Ia turun ke lantai bawah, ia melirik sekitar, kemudian mengkerutkan alisnya ia hanya menemukan Lilie sedang membersihkan lantai penginapan dengan sapu yang ada di tangannya. "Biasanya dia menunggu di bawah... Dia belum bangun?" gumam Kai, sedikit khawatir.

Suara Solon tiba-tiba terdengar di benaknya. "Apa maksudmu seorang gadis yang biasa bersama Anda, Tuan? Yang memiliki rambut berwarna merah dan mata berwarna emas?"Kai terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Kau juga tahu Seraphina?"

"Fufufu," sebuah tawa kecil—yang terasa seperti gema di dalam pikiran Kai—menjawab. "Saya tahu semuanya tentang Anda." Kai mengerutkan dahi lebih dalam. "Itu... agak menakutkan, Solon," katanya, suaranya sedikit tegang. Tidak ada respon dari Solon, Kai memejamkan matanya.

"Lilie, selamat pagi, apa kau melihat Seraphina?" Sapa Kai. Lilie menoleh, tersenyum ramah. "Oh Kai, selamat pagi. Kak Seraphina barusan keluar, dia terlihat buru-buru sekali. Sebelum pergi, dia menitipkan kertas ini untuk diberikan kepadamu." Lilia menyerahkan selembar kertas kecil yang terlipat rapi kepada Kai.

Kai menerima kertas itu dari Lilie, ia membuka lipatan rapi kertas itu, Matanya menyusuri tulisan tangan Seraphina yang terburu-buru, namun tetap rapi kemudian membacanya. "Kai, maafkan aku. Ada panggilan mendadak dari komandan pagi ini, jadi aku menemuinya di ruangannya sekarang. Kuharap kau tidak tersesat lagi ke akademi. Dari Seraphina." Setelah selesai membaca, Kai menghela napas panjang. Ia melipat kembali kertas itu, menyimpannya di sakunya. Lalu ia berbicara kepada Lilie, "Terimakasih Lilie. Kalau begitu aku pergi dulu ya."Lilia tersenyum lembut. "Baiklah, hati-hati di jalan, Kai. Semoga hari ini berjalan lancar."

Kai keluar dari penginapan, melangkahkan kaki di jalanan kota yang masih lengang. Udara pagi yang sejuk menerpa wajahnya. Ia terus berjalan, langkahnya cepat, pikirannya melayang pada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Di tengah perjalanan, Suara Solon terdengar di benaknya, "Anda baik-baik saja tuan? Sepertinya anda sedang terlihat memikirkan sesuatu."

Kai berhenti sejenak, ia mengerutkan keningnya, "Kau berisik sekali ya, padahal penampilanmu seperti laki-laki tersenyata kau cerewet seperti perempuan." Ucapnya terdengar kesal. Suara Solon terdengar sedikit terkejut, lalu menjawab dengan nada formal, "Saya tidak mengerti maksud Anda, Tuan. Saya tidak memiliki 'hal seperti itu'. Penampilan yang Anda lihat sebelumnya adalah tuan saya yang sebelumnya. Kai mengabaikan penjelasan Solon, mencoba untuk mengalihkan fokusnya. Ia merasa perlu menenangkan dirinya sebelum sampai di akademi. "Berhenti bicara di pikiranku untuk saat ini sebelum aku memanggilmu kembali. Aku perlu memikirkan beberapa hal."

"Dimengerti, Tuan," jawab Solon singkat dan langsung patuh. Keheningan tiba-tiba menyelimuti pikiran Kai, Ia melanjutkan langkahnya, tetapi dengan langkah yang lebih tenang dan terkendali. Dengan langkah pasti, Kai melanjutkan perjalanan menuju akademi. Jalanan yang tadinya lengang kini mulai ramai dengan aktivitas pagi. Ia melewati pedagang kaki lima yang menawarkan berbagai macam barang, dan bersama siswa-siswa lain ia yang bergegas menuju kelas.

Setelah melewati gerbang utama dan beberapa koridor yang ramai, Kai akhirnya sampai di depan kelasnya. Ia melihat beberapa teman sekelasnya sudah duduk di tempat masing-masing, beberapa sedang berbincang, dan yang lainnya tampak sedang membaca buku. Kai masuk ke kelas, ia melirik ke bangku duduk Seraphina, dia tidak ada di sana. Lalu berjalan ke tempat duduknya sembari menghela nafas.

"Selamat pagi Kai," Claire menyapa Kai kemudian duduk di bangkunya, "Ah Claire, Pagi." Jawabnya singkat. Kai hanya mengangguk kecil sebagai balasan. "Aku tidak melihat Nona Seraphina, dia tidak datang hari ini?" tanya Claire, suaranya lembut.

Kai menoleh sebentar ke arah Claire, lalu kembali menatap pintu kelas. "Oh, dia mendadak mendapat panggilan. Kurasa itulah alasan dia tidak datang hari ini," jawabnya singkat, suaranya terdengar sedikit datar.

Claire mengerutkan keningnya, "Oh begitu ya, kurasa dia benar-benar sibuk." Jawab Claire dengan tersenyum. Kai hanya menanggapi dengan menatap Claire sembari menopang kepalanya dengan tangannya.

Pintu kelas terbuka dan seorang wanita menggunakan kacamata dengan rambut yang disanggul rapi masuk ke ruangan. Ia mengenakan seragam Hunter yang rapi dan tersenyum ramah kepada para siswa. "Selamat pagi, semuanya," sapa mentor mereka, suaranya yang tenang langsung menenangkan suasana kelas. "Sebelumnya perkenalkan, saya Adelie, sebagai mentor untuk kelas praktik mana." Jawabnya sembari membenarkan kacamatanya.

"Sebelumnya kalian sudah diberi tahu tentang mana oleh Mentor Lilia bukan? Di kelas ini kalian akan mempraktikkan dari Teori itu." Adelie menjelaskan, ia menjentikkan tangannya seketika kursi dan meja yang berada di ruangan itu menjadi hilang seketika, pintu dan jendela juga tertutup rapat.

"Jangan khawatir, karena kelas ini melibatkan manipulasi mana, perubahan ini hanya antisipasi terhadap mana yang akan kalian keluarkan. Ruangan ini dirancang khusus untuk mencegah fluktuasi mana yang tidak terkendali," tambahnya, suaranya tenang dan menenangkan.

"Kalian sudah mendapatkan senjata sihir kalian masing-masing kan?" Adelie bertanya, memandang sekeliling kelas.

Suasana kelas hening sesaat, sebelum Brad, dengan rambut yang sedikit berantakan dan senyum jahilnya, mengangkat tangan. "Mentor Adelie, saya rasa ada yang kurang lengkap di sini. Kai, sepertinya belum menerima senjata sihirnya," ujar Brad, suaranya cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang di kelas. Ia memang sengaja sedikit menyindir Kai.

Sebelum Kai sempat menjawab, Claire, dengan rambutnya yang tergerai rapi dan ekspresi wajah yang sedikit khawatir, langsung membela Kai. "Tunggu, Brad! Kai pasti akan mendapatkannya sekarang— mungkin ada sedikit masalah teknis, atau mungkin dia hanya akan mendapatkannya saat—" ujar Claire, nada suaranya sedikit meninggi karena ia merasa Brad sedikit berlebihan.

Namun, belum sempat Claire melanjutkan pembelaannya, Kai memotong pembicaraan mereka. "Tenang saja Claire, aku sudah memilikinya," kata Kai, suaranya tenang namun tegas. "Solon, tolong kembali ke bentuk pedang," perintah Kai pada Solon, Ia meraih gagang pedang yang tiba-tiba muncul di tangannya.

Adelie menaikkan kacamatanya, memandang Kai dengan tatapan tajam. "Aku sudah mendengar tentangmu sebelumnya, tapi aku ingin memastikan. Apa kau sudah benar-benar mendapatkan senjata sihir yang sesuai dengan kemampuanmu?" suaranya terdengar sedikit curiga.

Kai berusaha menjaga ketenangannya, ia tahu Adelie cukup jeli. "Ya, sebelumnya kepala akademi sudah mengukur kembali mana saya dan memberikan senjata ini kepada saya," jawab Kai, suaranya terdengar sedikit ragu. Ia berbohong, karena tidak mungkin dia jujur tentang mendapatkan Solon dari Kael.

"Tidak kusangka kau pembohong yang handal, Tuan," ujar Solon di pikiran Kai, suaranya terdengar sedikit geli. "Berisik, aku tidak punya pilihan lain. Setidaknya itu tidak sepenuhnya bohong," Kai membalas perkataan Solon di pikirannya, nada suaranya sedikit meninggi karena ia merasa tertekan. Ia melirik ke arah Adelie yang masih memperhatikannya dengan tajam.

"Baiklah," kata Adelie, suaranya tenang. "Yang penting kau sudah memiliki senjatamu. Kita lanjutkan pelajaran. Hari ini kita akan berlatih mengendalikan aliran mana." Ia mengalihkan perhatiannya ke seluruh kelas, menunjukkan bahwa ia telah menerima penjelasan Kai dan memutuskan untuk tidak mempermasalahkan hal tersebut lebih lanjut. Prioritasnya saat ini adalah kelancaran jalannya pelajaran. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Kai, namun ia akan menyelidikinya nanti. Untuk saat ini, fokusnya adalah pada para siswa.

( To be Continued)