Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 21 - ARC 1, 21

Chapter 21 - ARC 1, 21

Seraphina mengamati kepergian Lilia, sebuah ekspresi yang sulit diartikan terukir di wajahnya. Ia melirik Kai, lalu kembali menatap api di perapian, seolah merenungkan sesuatu.

"Jadi, bisa kau jelaskan apa yang kau lakukan sebelumnya?" tanya Seraphina, suaranya tenang namun tajam. Tatapannya tetap terpaku pada api, seolah-olah api itu sendiri menyimpan jawaban atas pertanyaannya. "Berburu," jawab Kai singkat, matanya menghindari tatapan Seraphina.

"Aku tahu," Seraphina berkata, suaranya masih tenang tetapi ada tekanan di dalamnya. "Tapi kenapa tiba-tiba berburu?" Ia menatap Kai dengan tajam, menunggu penjelasan yang jujur.

Kai menghela nafasnya tipis, dia merogoh kantung sakunya untuk mengambil botol yang berisi darah rusa itu lalu menunjukkannya pada Seraphina. "Ini, sepertinya kau sudah paham maksudku, kan?"

"Itu..." Seraphina menatap botol tersebut dengan ekspresi campur aduk. "Apa itu karena nafsumu lagi? Dan bagaimana kamu bisa bertemud dengan Claire? Apa dia tau?" Suara Seraphina menandakan kekhawatiran yang mendalam.

Kai mengangguk, ekspresinya menunjukkan bahwa dia tidak bisa menghindari dorongan tersebut. "Ya, dia tidak tau, aku bertemu dengannya setelah kesadaranku kembali lagi." Ia menjelaskan.

Seraphina bernafas lega, "Huh, kau harusnya memberi tahuku soal ini. Aku akan mencarikannya di pasar dengan dalih....—" Perkataannya terpotong oleh Kai. "Tidak, aku sudah banyak merepotkanmu, untuk hal ini biar aku yang urus sendiri, lagipula dulu aku biasa melakukan ini." Kai menatap Seraphina dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran rasa bersalah dan tekad.

Seraphina tertunduk, dia memainkan ujung rambutnya dan mengalihkan pandangannya, "Aku hanya menjalankan tugasku untuk mengawasimu, tahu? Kau tidak merepotkan sama sekali. Lagipula, aku juga sedikit khawatir jika kau tidak bisa mengendalikan diri." Suaranya sedikit lebih lembut, menunjukkan rasa peduli yang tersembunyi di balik sikapnya yang tampak dingin.

Kai tersenyum tipis, "Tidak, untuk ini aku akan menanganinya sendiri. Aku sudah terbiasa, dan aku tidak ingin kau terlibat lebih dalam." Ia menatap Seraphina dengan tatapan penuh pengertian. Muka Seraphina sedikit memerah, dia berdiri dari kursinya, mengatur kembali roknya yang sedikit kusut. Ia terlihat sedikit gugup, seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia katakan namun ragu-ragu.

"Akhh!!! Seperti sup rusa itu kembali membuatku mengantuk, aku akan kembali keruanganku." Ia berbalik dan melangkah pergi, namun kemudian ia menoleh sebentar ke arah Kai, sebuah ekspresi yang sulit diartikan terukir di wajahnya. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.

"Oh ya, sebaiknya kau juga kembali ke ruangmu." Seraphina menambahkan kalimat terakhir dengan sedikit ragu, tatapannya tertuju pada mata Kai yang kembali merah, dan taringnya kembali. Kai membulatkan matanya kemudian dia mengangguk seolah-olah mengerti apa yang dimaksud oleh Seraphina.

Seraphina tersenyum tipis, kemudian dia masuk ke ruangannya. Kai menghela nafas panjang, mencoba untuk menenangkan dirinya. "Sepertinya aku bisa latihan sendiri nantinya dengan dalih berburu." Ia menghela nafas, dengan langkah gontai, ia berjalan menuju tangga menuju lantai atas.

Sesampainya di kamarnya, ia melemparkan dirinya ke atas ranjang, pakaiannya masih belum sempat dilepas. Aroma kayu dan selimut yang lembut membuatnya semakin merasa mengantuk. Napasnya teratur, menandakan ia telah tertidur pulas. Saat ini Kai, Ia mendapati dirinya berada dalam sebuah ruangan kosong yang luas, dindingnya putih tanpa cela, dan udara di sekitarnya terasa dingin menusuk tulang. Tidak ada jendela, tidak ada pintu, hanya hamparan putih yang membentang tak berujung. Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan itu, hanya diiringi detak jantungnya sendiri yang bergema di telinganya.

"Bukankah aku berada di kamar penginapan sebelumnya? Apa ini mimpi? Tidak tapi ini terasa sangat nyata." Gumam Kai sembari menoleh ke sekitarnya.

Kemudian, dari kejauhan, ia melihat sebuah bayangan bergerak. Bayangan itu samar, sulit dibedakan bentuknya, namun ia bisa merasakan kehadirannya yang semakin dekat. Bayangan itu memancarkan aura yang dingin dan mengancam, membuat bulu kuduknya merinding. Ia mencoba untuk bergerak, untuk berteriak, namun tubuhnya terasa berat, seperti terikat oleh sesuatu yang tak kasat mata. Bayangan itu semakin mendekat, dan perlahan-lahan, bentuknya mulai terlihat sedikit lebih jelas. "Apakah dia Vampir?" pikir Kai. "Tidak," batinnya melanjutkan, "telinga vampir runcing, tapi tidak seruncing itu. Dan aura yang dipancarkannya... berbeda." Siapa dia sebenarnya? Ketakutan dan rasa ingin tahu bercampur aduk dalam dirinya.

Kai tertegun. Bayangan itu semakin dekat, wajahnya mulai terlihat jelas. Apakah dia seorang elf? Ciri-ciri telinganya yang runcing membuatnya berpikir demikian. Namun, segera ia menggeleng dalam pikirannya. "Tidak, elf sudah musnah oleh vampir sebelum orakel itu muncul," gumamnya. Ia menatap bayangan itu dengan seksama.

Bayangan itu tersenyum tipis, dia seolah membaca pikiran Kai, "Tidak, walaupun aku seperti ini aku bukanlah elf, ini tampilan tuanku yang sebelumnya, karena aku tidak tahu harus menemuimu bagaimana. Yah, kecuali mata dan rambutku sih," kata bayangan itu, suaranya terdengar seperti gema di benak Kai.

"Aku menggunakan wujud ini karena tidak tau harus menemuimu seperti apa." Dia tersenyum tipis, Kemudian, sesuatu yang tak terduga terjadi. Kai tersentak, tubuhnya bergetar hebat. "Kau tidak ingat aku? Bukankah tadi pagi kau menyuruhku untuk membunuh seekor rusa tanpa melukainnya?" suaranya itu terdengar seperti bisikan, namun sangat jelas di telinga Kai. Pertanyaan itu membuat Kai tercengang. Ia hanya berburu tadi bagi, kemudian matanya membulat seperti teringat sesuatu.

"Apa? Jangan-jangan kau...?" Kai menatapnya itu dengan mata terbelalak. Tiba-tiba, pandangannya jatuh ke tangan kirinya. Ia melihat gelang permata zamrud yang melingkar di pergelangan tangannya, anehnya gelang itu tidak ada, dia kembali menatap bayangan itu, "Kau pedang itu?"

"Benar, aku adalah bentuk spiritual dari pedang sihir itu, tuan yang sebelumnya memanggilku Solon," kata bayangan itu, suaranya terdengar tenang dan berwibawa, berbeda dari bisikan sebelumnya. "Mana yang kau berikan sebelumnya telah membangunkan ku setelah sekian lama." Bayangan itu, atau Solon, mendekati Kai, wajahnya masih tampak seperti dirinya sendiri, namun dengan tatapan mata yang jauh lebih tajam dan berwibawa.

Kai menatap Solon, Ia mengerutkan dahi, matanya menyipit tajam, dan sudut bibirnya tertarik ke bawah membentuk lengkungan cemberut. "Jadi?" tanyanya bingung, suaranya terdengar ragu-ragu. Ia masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa pedang ajaib itu kini menjelma menjadi sosok di hadapannya.

"Aku ingin menyapa tuan baruku setelah sekian lama tertidur, jadi itulah kenapa aku memanggil tuan ke sini," jawab Solon, suaranya tenang dan berwibawa. "Aku telah mengamati tuan selama beberapa waktu, dan aku yakin tuan adalah yang tepat untuk mengendalikan kekuatan yang ada di dalam diriku." Ia menatap Kai dengan tatapan yang sulit diartikan, seakan-akan membaca pikirannya.

"Tidak, maksudku..." Kai menghela nafasnya, merasa perlu menjelaskan keraguannya. "Apa tidak masalah kau menerimaku sebagai tuanmu yang baru? Maksudku, tuanmu sebelumnya adalah seorang Elf, dari ras yang dibantai habis oleh vampir. Kau pasti menyimpan dendam yang besar." Ia menatap Solon dengan cemas, menunggu jawabannya.

"Itu benar, tuan," jawab Solon, nada suaranya datar, tanpa menunjukkan emosi. "Namun, aku bukanlah makhluk yang didorong oleh emosi semata. Aku adalah senjata, dan aku akan melayani tuanku, siapa pun itu, selama tuanku mampu mengendalikan kekuatanku." Ia menatap Kai dengan tajam.

"Kau tidak masalah menjadi bawahanku sekarang? Maksudku..." Kai menggigit bibirnya, merasa sedikit canggung. Ia tahu ini adalah kesempatan yang langka, tapi ia juga merasa tidak nyaman dengan situasi ini. "Aku benci mengatakan ini, tapi seperti yang kau lihat, aku adalah vampir." Ia mengakui jati dirinya dengan berat hati, menunggu reaksi Solon.

"Saya sudah mengetahui itu, karena sudah membaca ingatan tuan sebelumnya," kata Solon, suaranya tenang namun mengandung sedikit celaan. "Sejauh yang saya baca, tuan tidak mengakui anda sebagai vampir, bahkan kepada orang-orang terdekat anda. Apakah ini berarti tuan masih ragu dengan jati diri anda sendiri?" Solon menatap Kai dengan tajam, tatapannya seakan menembus kedalaman jiwa Kai.

Kai terdiam sejenak, menunduk menghindari tatapan tajam Solon. Pipinya memerah, bukan karena marah, tapi karena malu dan sedikit kecewa. Solon benar. Ia memang belum sepenuhnya menerima jati dirinya sebagai vampir, walaupun ia tidak sepenuhnya menjadi vampir, sisi kemanusiaan miliknya masih ada bersamanya saat ini. Ia menghela nafas kemudian menatap Solon kembali, "Jadi apa alasanmu memilihku? Bukankah sebelumnya Kael juga mencoba memasukkan mana padamu?" Kai bertanya, suaranya masih sedikit gemetar karena emosi yang campur aduk. Ia penasaran apa yang membuat Solon memilihnya, terutama mengingat Kael, juga pernah mengalirkan mana padanya.

"Ah, saya ingat ada mana memasuki saya sebelum mana milik tuan, tapi karena mana itu tidak memiliki tekad yang kuat seperti tuan jadi aku tidak bisa mengakuinya," jawab Solon, suaranya tenang dan menjelaskan dengan sabar. "Tekad?" Kai mengulang kata tersebut, mencoba untuk memahaminya.

"Ya, tuan," Solon mengangguk pelan. "Saya hanya melayani seseorang yang memiliki tekad yang kuat, tujuan yang jelas, dan keinginan yang membara untuk mencapai sesuatu. Anda ingin membalaskan dendam orang tua anda, dan tekad itu sangat kuat, sangat murni, dan sangat terasa. Itulah alasan saya memilih anda." Solon menatap Kai dengan tatapan penuh hormat, mengakui kekuatan tekad yang ada dalam diri Kai.

Kai terdiam sejenak, mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Ia tidak menyangka bahwa tekadnya untuk membalaskan dendam orang tuanya begitu kuat hingga menarik perhatian Solon. Sebuah perasaan hangat memenuhi hatinya, ia tersenyum—campuran rasa lega dan tekad yang baru hadir dari dirinya. "Aku sedikit terkejut," katanya, suaranya masih sedikit bergetar karena emosi yang masih bercampur aduk. "Aku tidak sekuat itu, bahkan ketika kejadian itu aku tidak membantu apapun, dan membuat masalah baru." Ia menatap Solon, matanya berkaca-kaca.

Solon mengamati Kai dengan seksama, mengerti keraguan yang masih tersirat dalam kata-kata pemuda itu. "Tuan terlalu merendahkan diri," kata Solon, suaranya lembut namun tegas. "Tekad bukanlah tentang kekuatan fisik semata, melainkan tentang kekuatan jiwa. Keinginan tuan untuk membalaskan dendam orang tua tuan, keinginan itu telah terukir dalam jiwa tuan, dan itu yang saya rasakan." Ia mendekat sedikit ke Kai, tatapannya penuh pengertian. Kai mengepalkan tangannya, tekadnya semakin membara. "Baiklah, Aku akan berlatih sebanyak mungkin, dan mohon bantuanmu untuk ke depannya, Solon." Kai berkata, suaranya penuh tekad.

Solon mengangguk pelan, mengamati Kai dengan tatapan penuh hormat. "Saya mengerti, tuan," jawabnya, suaranya tenang dan penuh keyakinan. "Saya akan selalu siap membantu tuan, kapan pun tuan membutuhkan saya. Keberhasilan tuan juga merupakan keberhasilan saya." Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang menunjukkan dukungan dan kepercayaan terhadap Kai. "Saya sepertinya menyita waktu tuan, terlalu lama. Kalau begitu saya permisi, anda bisa berbicara kapanpun dengan saya hanya dengan menyebut nama saya. Panggil saja nama saya, dan saya akan berbicara di pikiran anda." Solon mulai memudar, bentuknya menjadi semakin transparan hingga akhirnya menghilang sepenuhnya, meninggalkan Kai sendirian namun dengan hati yang penuh tekad dan harapan.

( To be Continued)