Kai merasakan taringnya muncul kembali di dalam mulutnya, dan secara naluriah, ia menutup mulutnya rapat-rapat. Dia merasakan tatapan Seraphina yang tajam, tatapan yang penuh dengan keheranan dan sedikit kekhawatiran. "Kebetulan aku membawa ramuan itu semalam, kurasa efeknya habis sekarang," kata Kai, suaranya sedikit serak.
Seraphina mengangguk, matanya masih mengamati Kai dengan seksama. "Aku sudah menduganya," jawabnya tenang, "Ramuan itu memang tidak bertahan lama. Untungnya kamu berada di tempat yang relatif aman." Ucapnya sembari menghela nafas, " Kita perlu membahas ini nanti, tapi untuk sekarang, fokus kita adalah memastikan kamu tetap aman."
Ekspresi tenang Seraphina menyembunyikan kelelahan yang terpancar dari matanya yang sayu dan gerakannya yang sedikit lamban. Kai merasakan sesak di dadanya. "Oi, jangan bilang kau tidak tidur semalaman?" Dia tahu Seraphina pasti telah menghabiskan waktu berjaga-jaga, khawatir tentangnya namun dia berfikir harus menanyakan ini kepada Seraphina.
"Kau fikir ini salah siapa?" Seraphina menjawab dengan nada sedikit tajam, meskipun ada keletihan di suaranya. Dia menatap Kai dengan intensitas yang membuatnya merasa terjepit di antara rasa bersalah dan rasa ingin tahu. "Tentu saja aku khawatir. Kau menghilang tanpa kabar, dan aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Tugasku itu bukan hanya mengawasimu tapi juga memastikan kau tidak membuat masalah di kota ini."
Kai terdiam sejenak, meresapi kata-kata Seraphina. "Maafkan aku, Seraphina." Kai menunduk, dia menggenggam erat tangannya. Kemudian Seraphina tersenyum tipis, kelelahannya masih terlihat jelas di wajahnya, tetapi ada kelegaan di matanya. "Yah, yang penting kau tidak membuat masalah, aku bisa istirahat setelah ini, kebetulan hari ini libur." Ia menguap kecil, menutup mulutnya dengan tangan.
"Eh kau serius? Apakah jatah masuk akademi itu cuman dua hari dalam seminggu?" Kai mengangkat kepalanya, sedikit terkejut.
"Tidak begitu," Seraphina menghela nafas, "Hari libur hanya di hari Minggu, itupun kalau tidak ada misi, sebetulnya kelas dari siswa baru sudah dimulai 4 hari sebelum kau kesini, yah itu hanya pengenalan lingkungan saja sih. Kau ketinggalan banyak hal, tapi kita akan menyusulnya." Ia tersenyum lembut, "Jangan khawatir, aku akan membantumu. Tapi untuk saat ini, biarkan aku tidur dulu." Seraphina masuk ke kamarnya, menutup pintu pelan di belakangnya.
"Baiklah, selamat malam." Kai berkata lirih, suaranya terdengar sedikit sunyi dalam keheningan. Seraphina hanya merespon dengan mengangkat tangannya. Kai mengamati Seraphina yang berjalan ke ruangannya, punggungnya terlihat sedikit bungkuk karena kelelahan. Kemudian, ia berbalik dan berjalan menuju kamarnya sendiri di lantai dua. Udara di koridor terasa dingin dan sunyi. Ia memasuki kamarnya dan berbaring di kasur.
Kai menghela nafas sejenak, ia mengangkat tangannya dan menatap gelang yang ada di tangannya saat ini, "Pedang ini... Vampir yang bernama kaelus itu... Apa alasan dia membantuku...? Lalu apa sebenarnya aku ini? Manusia? Vampir? Ada begitu banyak yang belum kuketahui. Aku harus mencari tahu semuanya. Untuk diriku sendiri, dan untuk masa depanku." Gumamnya sembari mengepalkan tangannya, kemudian duduk di kasurnya. Ia mengganti seragam yang dipakainya dengan pakaianan yang disediakan oleh penginapan, dan menggantung seragam itu di balik pintu kamarnya.
"Oh iya ngomong-ngomong aku tidak tertidur saat ini, tapi 2 hari yang lalu aku bisa tertidur pulas, ini mengingatkanku pada hari-hari sebelumnya, aku bahkan tidak bisa memejamkan mataku waktu itu." Gumam Kai, kemudian tersenyum sejenak, dia kemudian mendekati kaca dan mengambil ramuan yang bisa mengubah mata dan menyembunyikannya taringnya, ia kemudian membuka ramuan itu dan meneteskannya Di matanya juga berkumur-kumur dengan ramuan itu, seketika matanya kembali normal, dan taringnya menghilang. Ia menghela napas lega. "Sepertinya tubuhku sudah mulai beradaptasi dengan perubahan ini. Ramuan ini sangat membantu."
Deg! Jantung Kai berdebar kencang, seperti drum yang dipukul dengan keras, irama detaknya bergema di telinganya. Ia sangat mengenali perasaan ini; haus yang membakar tenggorokannya, bukan haus biasa, melainkan dahaga yang dalam dan membara, haus akan darah. Ini adalah rasa lapar vampir, sebuah nafsu yang menggerogoti jiwanya, sebuah kehausan yang tak tertahankan, sebuah dahaga yang mendesak untuk segera dipenuhi. Rasa ini begitu familiar, sebuah panggilan primal yang mengusik setiap serat tubuhnya, membuatnya gemetar dan lemah. "Tidak, biasanya aku bisa bertahan selama sepuluh hari, tapi kenapa sekarang...!" gumamnya, k suaranya bergetar karena kehausan yang tak tertahankan. Ia tiba-tiba teringat, dia bisa bertahan selama itu karena tidak melakukan apapun, namun kali ini berbeda. Aktifitas yang dilaluinya beberapa hari ini sangat memakan banyak energi. Tubuhnya terasa panas, keringat dingin membasahi dahinya, dan penglihatannya mulai kabur. Instingnya memberontak, mendesaknya untuk segera mencari mangsa.
Kai meremas dadanya, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak terkendali. Ia harus mengendalikan diri, ia tidak boleh menyerah pada dahaga yang membunuhnya. Ingatan akan keluarganya, akan janjinya untuk membalaskan apa yang terjadi dengan mereka, menahannya dari jurang kegelapan. Ia mengingat bahwa di belakang penginapan ini adalah hutan. Namun, dahaga itu begitu kuat, menggerogoti kesadarannya. "Benar, aku harus kesana. Aku tidak bisa mengharapkan ini dengan Seraphina atau yang lainnya, aku harus berburu." Ia mengingat bahwa di belakang penginapan ini adalah hutan lebat, tempat berbagai hewan liar berkeliaran.
Ia terhuyung berusaha keluar dari ruangan dan penginapan saat ini, dengan mencari pegangan untuk menopang tubuhnya yang lemas. Pandangannya mulai kabur, dunia di sekitarnya berputar. Bau darah, walaupun samar, mencapai hidungnya, memicu dahaga yang lebih kuat.
"Kai, kau sudah pulang? Kakak Seraphina mengkhawatirkanmu semalam, lho," sapa Lilie dari lantai bawah. Suara riuh peralatan dapur yang ia bereskan terdengar samar-samar di antara kata-katanya.
"Oh, Lilie, ya. Maafkan aku soal itu," jawab Kai, suaranya terdengar lemah, ia berusaha untuk tidak menatap Lilie. "Aku keluar sebentar, jika Seraphina mencariku, bilang saja aku ada di hutan belakang penginapan ini, dan aku akan segera kembali." Ia menambahkan kalimat terakhir dengan nada yang sedikit lebih tegas, berharap Lilie tidak akan curiga. Ia harus segera pergi, mencari mangsa di hutan sebelum dahaganya benar-benar menguasainya. Ia tidak boleh membahayakan siapapun, terutama Lilie dan Seraphina. Seketika Kai menghilang dengan cepat dari penginapan itu menuju hutan.
Setibanya di hutan, Kai disambut oleh cahaya pagi yang masih redup. Sinar matahari pagi belum sepenuhnya menembus kanopi hutan yang lebat, menciptakan suasana remang-remang yang misterius. Embun pagi masih menempel di dedaunan, menciptakan kilauan seperti berlian kecil di antara pepohonan. Udara pagi terasa segar dan sejuk. Namun, bagi Kai, Dahaga yang membakar tenggorokannya masih terasa sangat kuat, bahkan lebih kuat daripada sebelumnya.
"Tolong hewan apapun itu, kelinci, rusa atau bahkan tikus pun tidak masalah!" gumam Kai, putus asa. Dahaganya begitu membara, mengerogoti kesadarannya hingga ia hampir tidak mampu berpikir jernih. Ia terus melangkah maju, mencari mangsa di antara pepohonan dan semak belukar. Tiba-tiba, semak-semak di depannya berbunyi, bergoyang-goyang dengan cepat. Seekor kelinci kecil muncul dari balik semak-semak, berlari dengan lincahnya. Mata Kai langsung tertuju pada kelinci itu, mangsa yang paling mudah didapatkannya saat ini.
Mata Kai langsung tertuju pada kelinci itu. Dalam keadaan setengah sadar karena dahaga, ia secara naluriah mengulurkan tangannya. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Saat tangannya mendekat, ia merasakan aliran energi yang kuat mengalir di dalam tubuhnya. Energi itu mengalir menuju gelang yang selalu ia kenakan di tangan kirinya. Gelang itu bergetar hebat, cahayanya menyala terang, dan secara ajaib berubah bentuk menjadi sebuah pedang yang berkilauan.
Tanpa ragu, Kai mengayunkan pedang itu. Gerakannya cepat dan tepat, meski tubuhnya masih lemah. Pedang itu bersinar terang saat membelah udara, menciptakan sebuah garis cahaya yang indah namun mematikan. Kelinci itu bahkan tidak sempat bereaksi sebelum pedang itu mengenai tubuhnya. Setetes darah segar muncrat ke udara, dan Kai langsung menggenggam kelinci itu. Taringnya yang sebelumnya disembunyikan oleh ramuan seketika muncul kembali, dengan sigap Kai mengigit kelinci itu, perasaannya kembali tenang sejenak.
Kai menelan darah kelinci itu dengan rakus, merasakan aliran hangat yang memenuhi tubuhnya. Kelemahan yang sebelumnya ia rasakan mulai berkurang, dan kekuatan kembali mengalir di dalam dirinya. Ia melepaskan tubuh kelinci itu, menatapnya dengan tatapan kosong. "Hah, gawat... Ini benar-benar gawat.... Aku hampir kehilangan kesadaranku," gumam Kai, napasnya tersengal-sengal. Ia bersandar pada batang pohon yang kokoh, tubuhnya masih gemetar hebat.
"Untuk saat ini aku tidak merasakan haus, tapi kurasa aku harus mencari lagi, setidaknya untuk cadangan," lanjutnya, suaranya masih terdengar lemah. "Hal seperti ini bisa terjadi kapanpun. Aku tidak bisa mengandalkan keberuntungan saja. Kurasa aku harus mencari hewan lagi sebagai cadangan untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Ia mengambil pedang itu, pegangannya masih terasa hangat di tangannya, mengingatkannya pada kejadian beberapa saat yang lalu. Ia mengangkat pedang itu ke depan wajahnya, menatap pantulan dirinya di permukaan pedang yang berkilauan. "Pedang ini, apa aku secara tidak sadar mengalirkan mana ya?"
"Pedang ini... apa aku secara tidak sadar mengalirkan mana ya?" gumam Kai, suaranya terdengar pelan. Ia bangkit dari duduknya, kemudian mencoba mencari hewan di hutan itu, "Aku mengatakan akan menyiapkan cadangan tapi, aku tidak membawa apapun untuk menampung darah hewan itu," Ia menghela napas, menyadari kelemahan dalam rencananya. Tidak ada wadah, berarti ia harus menemukan cara lain untuk mendapatkan darah tanpa membuangnya. Ia berjalan dengan hati-hati di antara pepohonan.
"Yah, kurasa solusi saat ini, untuk tidak melukai hewan itu dengan parah," Gumamnya sembari berjalan, lalu Ia menemukan seekor rusa kecil yang sedang memakan dedaunan. Ia menatap rusa itu di balik semak-semak sembari menggenggam erat pedang di tangannya saat ini, "Aku masih tidak paham ini pedang seperti apa, tapi aku percayakan padamu," bisik Kai, matanya tertuju pada pedang di tangannya.
Dengan satu gerakan cepat, ia melemparkan pedang itu ke arah rusa kecil yang sedang memamah daun. "Semoga ini berhasil," pikirnya, hatinya berdebar kencang. Dengan kecepatan yang tak terduga, pedang itu meluncur menuju rusa, seolah-olah memiliki kehendak sendiri. Rusa itu terhenti sejenak.
Dalam sekejap, rusa itu terjatuh ke tanah, tetapi tidak ada luka yang terlihat. Kai langsung mendekati rusa itu, dan mengambil pedang yang tergeletak di atas tanah itu, "Apa dia benar-benar mati? Wah tidak ada darah yang keluar sia-sia." gumam Kai, kebingungan. Ia memeriksa rusa itu lebih teliti. Hewan itu terbaring tenang, napasnya tidak lagi terasa. Tidak ada luka goresan atau tusukan di tubuhnya. Ini sangat aneh. Ia memeriksa pedang itu lagi, mencari petunjuk tentang apa yang baru saja terjadi. Pedang itu tampak seperti biasa, tidak ada perubahan yang signifikan.
"Yah, kurasa aku harus berterima kasih padamu, rusa kecil," ujar Kai lembut, menatap rusa yang tergeletak tak berdaya di depannya. "Aku bisa membawa ini pulang ke penginapan kan? Toh dagingnya juga bisa dimakan juga," gumamnya, sekaligus merencanakan untuk membawa rusa itu pulang. Pedang yang semula terpasang di pinggangnya, tiba-tiba kembali berubah menjadi gelang yang melingkar di tangan kirinya.
Ketika berniat mengangkat rusa itu, Kai tiba-tiba mendengar langkah kaki di balik semak-semak, dengan hati-hati melangkah mendekati semak-semak yang berisik. Ia memegang erat gelang di tangan kirinya, siap menghadapi apa pun yang ada di balik semak-semak itu. Rasa waspada memenuhi dirinya, pengalaman sebelumnya telah mengajarkannya untuk selalu berhati-hati di hutan yang berbahaya ini. Ia mengintip dari balik dedaunan, mencoba untuk melihat apa yang ada di balik semak-semak.
Matanya membulat ketika ia melihat seorang gadis yang dikenalnya, itu adalah Claire. Kai ragu-ragu sejenak. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Claire di tempat seperti ini. Ia harus memutuskan apakah akan menampakkan diri atau tetap bersembunyi. Namun Claire yang mendengar sesuatu tiba-tiba membalikkan badannya dan menatap Kai dibalik semak-semak. "Kai?" Panggil Claire, Matanya membulat seketika.
Dengan sigap, Kai mencoba meraba mulutnya, memastikan taringnya yang tajam telah disembunyikan sempurna oleh ramuan ajaib yang masih tersisa. Jari-jarinya meraba-raba di sepanjang rahang bawahnya, merasa lega ketika tidak menemukan ujung taring yang mengancam. Ia menghela napas pelan, mencoba untuk menenangkan debar jantungnya yang masih berpacu kencang.
"Oh Claire, apa yang sedang kau lakukan disini?" Balasnya. Kemudian, dengan langkah hati-hati, ia mendekati Claire. Ia berusaha untuk menampilkan ekspresi yang tenang dan ramah, meski di dalam hatinya masih dipenuhi dengan kekhawatiran dan ketegangan.
( To be continued)