"Thalia, aku ingin berbicara berdua dengan anak ini." Kael berkata, matanya tetap tertuju pada Kai. Ia mengulurkan tangannya, menunjuk ke arah pintu dengan tangannya.
"Tapi ayah...!" Protes Thalia, Ia menggigit bibir bawahnya, seakan ingin mengatakan sesuatu lagi. "Kau sudah lelah kan? Jangan memaksakan diri. Kembali ke ruanganmu saja." Kael berkata lembut, namun nada suaranya tegas. Ia mengusap bahu Thalia sebentar, lalu menunjuk ke arah pintu dengan tangannya, memberikan isyarat agar Thalia pergi.
Thalia meremas rok bajunya, kemudian berdiri dari duduknya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. "Baiklah, kalau begitu selamat malam," katanya, suaranya sedikit bergetar. Keningnya mengkerut, Ia melirik Kai sekilas, menatapnya tajam sebelum akhirnya berbalik dan berjalan cepat menuju pintu. Kaelus menatap putrinya dengan tersenyum sembari melambaikan tangan, sampai Thalia tidak terlihat lagi, diapun kembali menatap Kai dengan tatapan seperti mengintrogasi.
"Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan kepadamu, bisakah kau tetap terjaga malam ini? Karena kurasa besok kau harus kembali." Kael bersandar ke kursi, tatapannya tajam menatap Kai. Ia mengusap dagunya, seolah merenungkan sesuatu.
"Eh?" Tanya Kai bingung, matanya membulat. Ia berusaha mencerna pertanyaan Kael. "Kau menyembunyikan identitasmu dan bergabung dengan manusia itu kan? Apa mereka tahu yang sebenarnya?" Kael bertanya lagi, suaranya dingin.
"Itu benar. Tidak semua, hanya tiga orang, seorang gadis yang ditugaskan mengawasiku, seseorang yang dipanggil komandan dan mentor ahli Alkemis." Kai menjawab, ia menunduk dan menggenggam erat selimut yang ada di dekatnya.
"Apa alasanmu melakukan itu?" tanya Kael, suaranya dingin, seperti angin malam yang menusuk tulang. Ia mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya tajam menusuk Kai, seolah ingin membaca isi hatinya.
"Untuk balas dendam." Kai menjawab, suaranya bergetar, seakan dihantam angin dingin. "Aku tahu mereka masih mencurigakan, tapi kurasa dengan bergabung dengan mereka aku bisa mencapai tujuanku."
"Balas dendam?" Kael mengerutkan kening, sebuah ekspresi terkejut muncul di wajahnya. Ia terdiam sejenak, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Ya, untuk membalaskan hal yang terjadi pada orang tuaku dan kakakku." Kai menjawab, suaranya semakin bergetar, "Kau... Jangan-jangan!." Kael tersentak, matanya membulat. Ia terdiam sejenak, seakan berusaha mencerna informasi yang baru saja didengarnya. "Apa kau tidak tahu kalau vampir saling membunuh itu hal yang tabu?"
"Karena orakel itu? Aku tidak peduli, lagipula aku tidak bersumpah apapun, mereka dengan bebas membantai seseorang, kenapa aku tidak boleh melakukan hal yang sama?" Kai menjawab, suaranya bergetar penuh amarah. Ia mengepalkan tangannya, raut wajahnya penuh amarah dan keputusasaan.
Kael memejamkan matanya, membusungkan dada, dan melipat tangannya di depan dada, berusaha keras untuk bersikap tenang. Ia tidak merasa topik ini dilanjutkan, dia mengangguk "Baiklah aku mengerti, pertanyaan selanjutnya. Apa kau tidak bisa menggunakan sihir? Dari yang kulihat sebelumnya kau bisa saja mati jika aku tidak menyelamatkanmu loh." Ucapnya sembari mengganti pembicaraan.
Kai mengangguk, "Aku malu mengakuinya tapi iya, komandan Hunter itu juga menyuruhku untuk mencari solusinya sendiri, karena di akademi mereka hanya membuat artefak acuan sihir sesuai kapasitas manusia." Kai menggaruk pipinya dengan jari telunjuk, mengalihkan pandangannya, seolah-olah sedang mengingat kembali perkataan Glaen.
"Tapi vampir tidak memerlukan itu loh?" Kael menyeringai, matanya berbinar-binar, seolah-olah sedang menggoda Kai. "Aku tidak menyangka kau itu ternyata bodoh." Kai mencibir, matanya menyipit, seolah-olah sedang mengejek Kael.
"Aha, aku bercanda kok. Jadi kau butuh sesuatu yang dijadikan senjata untukmu?" Kael menunjuk ke arah Kai dengan jari telunjuknya, seolah-olah sedang ingin memastikan. "Ya semacam itu, kurasa." Kai mengangguk, matanya menatap kosong ke depan, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu.
Kael bangun dari duduknya, dia berjalan keluar ruangan. Kai yang masih duduk di tempat tidur hanya mengamatinya. Kael terdiam sejenak, dia mengangkat satu jari tangannya kemudian melafalkan mantra sihir "light" Seketika cahaya seperti lampu lentera muncul di tangannya, dia kembali menatap Kai.
"Kenapa kau masih disana? Luka mu sudah sembuh bukan?" Kael mengerutkan keningnya, sedikit heran melihat Kai yang masih terbaring di tempat tidur "Atau jangan-jangan kau ingin aku menggendongmu? Maaf saja tapi—" Kael menunjuk dirinya sendiri dengan dagu, bermaksud untuk menekankan bahwa dirinya tidak akan menggendong Kai, dengan sontak kau membantah, "siapa juga yang mau!"
Kai menyingkirkan selimut dari tubuhnya, ia turun dari tempat tidur mendekati Kael. Kael yang menatapnya berkata tegas "Ikuti aku." Dia berjalan duluan dengan Kai menyusul dibelakangnya. Sembari mengikuti Kael, Kai masih bingung dengan kemampuan penyembuhan fisiknya. Dia meraba pipinya yang terkena peluru milik Hunter sebelumnya, "Benar-benar hilang, seolah-olah tidak ada bekas luka sama sekali." Gumam Kai, dia melipat kedua tangannya di depan dada.
Tidak lama kemudian Kael berhenti dari langkahnya, "Ini dia." Dia merogoh-rogoh saku di celananya untuk mengambil kunci, kemudian membuka ruangan itu dengan kunci tersebut, lalu ia masuk ke ruangan itu. Kai yang masih mengikuti Kael dia juga ikutan masuk ke ruangan itu, dan terkejut dengan apa yang dilihatnya sekarang.
Kai yang masih mengikuti Kael dia juga ikutan masuk ke ruangan itu, dan terkejut dengan apa yang dilihatnya sekarang. Ruangan itu dipenuhi dengan berbagai macam botol kaca berisi cairan berwarna-warni, rempah-rempah yang dikeringkan, dan alat-alat aneh yang terbuat dari logam dan kayu. Ini seperti toko sihir dimana berbagai macam ramuan dan bahan ajaib dijual bebas.
"Kau ternyata seorang Alkemis?" Tanya Kai penasaran, lalu dia melirik ke sekitarnya. "Hampir mirip? Karena untuk hidup di antara manusia tentu saja membutuhkan uang bukan? " Kael tersenyum tipis, lalu mengambil sebuah botol kaca berisi cairan berwarna hijau dan menunjukkannya kepada Kai.
Kai mendekat dan mengamati botol kaca tersebut dengan seksama. Ia mencium aroma harum yang keluar dari botol tersebut, dan merasa penasaran dengan apa yang ada di dalamnya. "Ramuan apa itu?" tanya Kai.
Ini ramuan untuk meningkatkan kekuatan fisik," jawab Kael. "Tapi jangan khawatir, efeknya tidak akan bertahan lama. Ini benar-benar ramuan yang sangat diminati oleh manusia." Kael terkekeh pelan, lalu ia mendekati meja yang besar, dia mengecek lacinya untuk mengambil sesuatu, "Sebenarnya aku juga penasaran dengan ramuan yang kau gunakan untuk menyembunyikan identitasmu, apa itu dibuat oleh Alkemis Hunter itu?"
Kai mengangguk, "Itu benar, tapi kenapa kau mengajak ku kesini?" Kai mengerutkan keningnya, merasa sedikit bingung dengan tujuan Kael mengajaknya ke ruangan itu. "Kau benar-benar tidak sabaran ya," ucapnya masih meraba-raba laci meja tersebut, oh ini dia." Terdapat semua kunci di tangannya saat ini, dia menuju tumpukan buku di belakang meja itu dan mendorong nya dengan sihir. Kai yang mengamatinya dari tadi menatap Kael dengan penuh rasa ingin tahu, ingin mengetahui apa yang akan Kael lakukan selanjutnya.
Tumpukan buku itu bergeser, memperlihatkan sebuah lorong gelap di baliknya. Kael menunjuk lorong itu dengan kunci di tangannya. "Ini adalah tempat penyimpanan senjata, meskipun keahlianku itu sihir, tapi aku juga mengumpulkan senjata untuk berjaga-jaga."
"Ayo, ikut aku." Kael tersenyum misterius, lalu berjalan menuju lorong tersebut. Kai ragu sejenak, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti Kael. Ketika mulai masuk, tiba-tiba lampu di obor hidup secara berurutan, saat ini terlihat berbagai macam senjata di ruangan itu.
"Kau butuh senjata kan? Akan kupinjamkan salah satu disini, kau boleh pilih sesukamu." Kael menunjuk ke arah rak senjata di belakangnya, dipenuhi dengan berbagai jenis senjata yang berkilauan di bawah cahaya lilin.
"Kenapa tiba-tiba? Apa alasanmu mengizinkannya?" Kai mengerutkan kening, matanya menyipit tajam ke arah Kael. "Tidak ada alasan yang harus aku jawab bukan?" Kael mengangkat bahu, senyum tipis terukir di bibirnya. Ia menyenderkan tubuhnya di dinding ruangan itu.
"Aku tidak ingin mendengar itu dari orang yang mengintogerasi ku beberapa menit lalu." Kai mencibir, lalu menatap Kael dengan tajam. Kael mengangkat bahu, seolah-olah tidak peduli dengan tatapan tajam Kai. Ia, berjalan mendekat ke arah rak senjata. Ia mengamati setiap senjata dengan saksama, tiba-tiba sebuah pantulan cahaya menarik perhatian matanya, ia mengikuti arah cahaya itu.
Di depannya terlihat Pedang yang menggantung di dinding, pedang itu memiliki desain yang elegan dan futuristik, dan juga memiliki bilah yang panjang dan ramping dengan ujung yang runcing. Terdapat sebuah hiasan berbentuk kepala naga di bagian atas bilah, dengan mata berwarna hijau zamrud. Gagang pedang terbuat dari kayu hitam dan dihiasi dengan logam perak. Kai langsung terpaku ke pedang itu.
"Kau tertarik dengan itu?" Kael mendekati Kai, dia menunduk dan menatapi pedang itu dengan seksama, "Oh, ini pedang sihir." "Pedang sihir?" Kai mengerutkan kening, "Apa maksudmu?"
"Ya. Kau lihat permata zamrud itu kan, kau bisa mengalirkan mana ke dalam permata itu, lumayan mirip dengan senjata yang dimiliki manusia bukan? Kael tersenyum tipis, ia mengulurkan tangan dan menyentuh permata zamrud itu dengan lembut. Cahaya hijau menyala di sekitarnya, dan permata itu berdenyut dengan lembut. "Aku mencoba mengalirkan manaku di pedang ini, namun tidak menghasilkan reaksi apapun." Kael menjelaskan sembari menggelengkan kepala.
Kai terdiam sejenak, matanya masih tertuju pada pedang itu. Ia mengulurkan tangan, menyentuh gagang pedang dengan lembut. "Bagaimana cara menggunakannya?" tanyanya, dengan tegas.
"Mudah saja," jawab Kael, "Cukup fokuskan mana-mu ke permata itu, dan bayangkan apa yang ingin kau lakukan. Pedang ini akan mengikuti pikiranmu." Kai mengangguk perlahan, matanya berbinar dengan rasa ingin tahu. Ia menarik pedang itu dari dinding, mengacungkan bilahnya ke udara. Cahaya hijau zamrud berkedip di permata itu, seolah-olah bereaksi terhadap mana Kai.
"Ini?" Mata Kai masih terpaku ke pedang itu, kaelus yang melihat ini dengan ekspresi wajah yang tenang dan sedikit senyum di bibirnya. Dia berdiri dengan tangan disilangkan di depan dada, "Kau memang beruntung," kata Kael, "Pedang ini memilihmu."
"Memilihku?" Gumamnya, dia kembali mengayunkan pedang itu lagi. Gerakannya terlihat lincah dan penuh percaya diri, seolah-olah ia telah terbiasa menggunakan senjata ini. "Yah, kurasa aku juga memilih pedang ini," kata Kai sambil tersenyum, "Dia benar-benar menarik perhatianku." "Apa kau yakin memberikan ini kepadaku?"
"Yah, tidak ada yang bisa kulakukan dengan pedang itu, lebih baik itu digunakan olehmu kan?" Kael mengangkat bahu, seolah-olah tidak peduli dengan pedang itu. "Lagipula, aku punya banyak senjata lain di sini."
Kai menyelesaikan mengayunkan pedang itu dan menaruhnya di samping celananya, seolah menaruhnya ke dalam sarungnya. "Hum, pas sekali. Terimakasih. Oh ya apa pedang ini memiliki sarung atau semacamnya?" Ia menunjuk ke arah pedang yang kini terpasang di pinggangnya.
"Setaku tidak? Pedang itu akan menjadi aksesori penggunanya jika tidak digunakan, tidak jauh kalung atau gelang," Kael menunjuk ke arah kepalanya, "Coba pikirkan aksesoris di fikiranmu."
Kai terdiam sejenak, memikirkan saran Kael. "Kurasa kalung tidak buruk? Tapi itu terlalu mencolok, anting? Aku tidak memiliki tindik di telingaku, jadi yang paling pas untuk saat ini adalah gelang." Batinnya, Ia mengulurkan tangan, dan seketika pedang itu mengecil, berubah bentuk menjadi sebuah gelang yang indah dengan permata zamrud yang menghiasi bagian tengahnya. Gelang itu melingkar di pergelangan tangannya, terasa pas dan nyaman.
(To be continued)