Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 15 - ARC 1, 15

Chapter 15 - ARC 1, 15

"Diam dan ikuti saja aku! Apa kau ingin para Hunter itu menangkapmu?!" Pria itu berlari dengan kecepatan luar biasa, menghindari setiap rintangan di jalanan gelap dan sempit. Kai masih berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman kuat pria itu. "Kenapa aku harus mengikutimu?" protesnya, mencoba menggunakan kekuatannya untuk melepaskan diri, tetapi pria itu terlalu kuat. Cengkramannya seperti baja, menarik Kai dengan mudah di tengah larinya.

 

Pria itu mengabaikan perlawanan Kai, terus berlari tanpa henti. Kai terus mencoba melepaskan genggaman itu, dan akhirnya berhasil. Namun, terlepasnya genggaman itu justru membuatnya terhempas keras ke dinding. Tubuhnya membentur dinding dengan suara bhuakk, dan darah mengalir dari sudut bibirnya.

Pria berjubah hitam itu berhenti sejenak, menyadari Kai telah lepas. Ia menoleh, melihat Kai terhuyung-huyung memegangi bibirnya yang berdarah. Ekspresinya datar, tanpa sedikitpun penyesalan. "Bodoh," gumamnya, lalu berbalik menghampiri Kai.

 

"Uhuk....uhuk....!" Kai mencoba bangkit, menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. "Sialan, pria itu terlalu kuat. Sebenarnya siapa dia?" gumamnya, suaranya serak karena batuk. Ia berdiri dengan susah payah, menopang tubuhnya pada dinding dingin dan lembap. Tiba-tiba, sekelompok Hunter mengepungnya, senjata-senjata mereka siap digunakan.

 

"Hei, pakaian itu... kau siswa Pelatihan, ya? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya seorang Hunter dengan nada waspada. Mereka terkejut melihat mata merah Kai dan darah di bibirnya. "Dia vampir! Semuanya, siapkan senjata kalian!" peringatan keras dari Hunter lain menciptakan suasana tegang yang mencekam. Sebuah peluru sihir melesat, mengenai pipi Kai, merobek kulitnya.

 

"Tunggu! Yang mencurigakan di sini bukan aku, tapi..." Kai tersadar bahwa wujud aslinya, yang biasanya disembunyikan ramuan, kini terlihat jelas. Sial! gumamnya, menyadari kesalahannya.

 

Sebelum para Hunter bereaksi, bola api besar melesat, menghantam tanah di dekat mereka. Ledakan kecil membuat beberapa Hunter terhuyung. "Apa ini?! Api ini... jangan-jangan ada satu lagi?!" teriak seorang Hunter ketakutan, menatap sekeliling dengan waspada.

 

Sosok pria misterius itu muncul kembali dengan gerakan cepat. Ia berdiri di samping Kai, tangannya dengan sigap memegang pundak Kai, tatapannya tajam dan penuh amarah. "Dasar bodoh! Kenapa kau tidak menggunakan sihirmu? Apa kau ingin mati?!" Pria itu mendorong Kai ke belakang, melindunginya dari serangan berikutnya.

 

"Kau?" Kai bertanya, menatap pria itu tajam, suaranya lemah.

 

Pria itu menatap tajam Kai, wajahnya masih sebagian tersembunyi bayangan. "Dengar baik-baik, sebenarnya aku tidak peduli apa pun yang terjadi padamu. Tapi sepertinya kau terlibat dalam sesuatu yang lebih besar, dan latar belakangmu benar-benar membuatku penasaran." Ia berhenti sejenak. "Kalau aku menarikmu seperti sebelumnya, kau akan memberontak lagi, kan? Kalau begitu, permisi."

 

Pria itu tak menunggu jawaban. Dengan cepat dan tepat, ia memukul titik akupuntur di pundak Kai. Kai langsung pingsan dan jatuh lemas. Kemudian, ia mengangkat Kai dengan mudah, menggendongnya seperti karung beras. Ia melirik sekeliling, menilai situasi pertempuran.

 

"Kalian gigih sekali, ya? Sebenarnya, aku bisa membunuh kalian semua tanpa jejak. Tapi karena aku sudah berjanji dengan seseorang, aku akan melepaskan kalian kali ini." Pria itu menatap tajam para Hunter, suaranya dingin dan penuh otoritas. Ia mengangkat tangannya, telapak tangan menghadap ke bawah. Aura sihir mulai berkumpul, berputar-putar seperti pusaran angin. Ia mulai membaca mantra, suaranya hampir tak terdengar. "Boost!" Seketika, cahaya terang menyilaukan memancar, menghasilkan ledakan energi yang kuat.

Beberapa jam sebelumnya, di ruangan kepala Akademi, Seraphina datang dengan wajah serius, menanggapi panggilan darurat dari Glaen. Ia berdiri tegak di depan meja Komandan, menunggu instruksi, firasat buruk mulai muncul.

 

"Komandan, saya sudah datang sesuai perintah Anda." Seraphina melaporkan dengan nada resmi. "Ah, Seraphina, maaf telah mengganggu tugamu. Tapi bisakah kau mengambil misi ini sebentar?" Glaen berkata, suaranya terdengar sedikit khawatir.

"Tidak masalah, Komandan. Tolong katakan apa yang terjadi." Seraphina menjawab, siap menerima perintah.

 

"Ada laporan yang mengatakan penduduk lokal di kota Narnia melihat seorang vampir berjubah." Glaen menjelaskan, menempatkan sebuah berkas di atas meja. "Apa? Bagaimana bisa? Jelaskan lebih lanjut. Tingkatan kastanya?" Seraphina mengerutkan dahi, keheranan tergambar di wajahnya.

 

Glaen menghela napas. "Tenanglah sebentar, kau terlihat terburu-buru. Wajahnya tidak terlihat jelas dalam laporan, tapi dari kekuatan dan aura yang terdeteksi, dia terlihat seperti kelas bangsawan." Seraphina tersentak. "Apa? Bukan vampir liar, tetapi kelas bangsawan?" Ia berdiri lebih tegak, tangannya mengepal.

"Aku juga tidak mengerti ini. Tidak biasanya sensorik kota Narnia tidak berfungsi. Jadi, aku serahkan padamu untuk memimpin misi ini." Glaen menjelaskan, menunjukkan kepercayaan penuh pada Seraphina.

 

Seraphina mengangguk tegas, menunjukkan tekadnya. Ia mengambil mantelnya, siap berangkat. "Baik, Komandan. Saya akan segera menyelesaikan ini dan memberikan laporan secepat mungkin." Ia membungkuk hormat, kemudian bergegas keluar ruangan, langkahnya cepat dan penuh determinasi.

 

Kembali ke saat ini, waktu telah berlalu. Kai mencoba membuka matanya perlahan, melihat langit-langit yang asing. Dia mengedipkan matanya kemudian bangun, "Kau sudah sadar?" Suara seorang pria dengan rambut biru sebahu membelakanginya.

 

"Ugh...! Pundakku terasa sakit sekali... ngomong-ngomong, ini di mana?" Kai memegangi pundaknya yang ngilu, melihat sekeliling ruangan yang asing. Ruangan itu sederhana namun bersih, terlihat beberapa buku tertata rapi di rak.

"Kau ada di rumahku," jawab pria itu. Ia berbalik, menunjukkan wajahnya pada Kai. Kai tersentak. Pria itu memiliki mata merah yang persis sama dengan matanya. "Kau... vampir?" tanya Kai, suaranya sedikit gemetar. Pria itu tersenyum tipis, ekspresinya tenang dan sedikit menggoda. "Kenapa kau begitu terkejut? Bukankah kau juga vampir?" Ia berjalan mendekat, duduk di kursi di dekat tempat tidur Kai.

 

"Ayah, apa orang itu sudah sadar?" Terlihat seorang gadis berdiri di balik pintu, dia memiliki rambut biru sama seperti pria itu, matanya berwarna biru namun pupilnya memanjang, tidak seperti pupil manusia.

 

"Ah, Thalia, apa aku membangunkanmu? Seharusnya kau tidur saja, kau terlihat mengantuk." Pria itu berkata lembut, menatap wajah Thalia yang masih tampak sedikit linglung.

 

Thalia menggeleng pelan. "Aku tidak mengantuk, kok." Ia tersenyum kecil, lalu berjalan mendekati pria itu. Ia mengambil bangku kecil kemudian duduk di kursi sebelah pria itu. "Sebelumnya, namaku Kaelus, kau bisa memanggilku Kael. Dan ini putriku, Thalia," Kael menunjuk ke arah putrinya. "Seperti yang kau lihat, dia anakku yang terlahir dari kekasihku yang seorang manusia." Kael menjelaskan, suaranya lembut saat menyebut putrinya.

 

"Namaku Thalia. Salam kenal, ya," ucapnya dengan suara polos dan manis, tersenyum menawan. Ia melambaikan tangannya pada Kai.

 

Kai, masih sedikit linglung, menjawab, "Oh, aku Kai." Ia merasa sedikit canggung. Kael menatap tajam Kai, melipat tangannya di dada. Sikapnya berubah menjadi lebih serius dan menuntut. "Jadi, bisa kau menjawab pertanyaanku sebelumnya? Kenapa vampir sepertimu memiliki bau manusia yang begitu kuat? Apa kau sama seperti putriku?" Suaranya dingin, menunjukkan ketidakpercayaan.

 

Kai mengerutkan dahi, mencoba mengingat kejadian sebelumnya. "Kau... pria berjubah yang menyelamatkanku sebelumnya?" Ia bertanya, mencoba menghubungkan kejadian yang masih samar.

 

Kael mengangguk, tetap menatap tajam Kai. "Itu benar aku, dan jangan mengalihkan topik. Jawab pertanyaanku." Ia menekankan kata-katanya.

 

Kai menggeleng, mencoba menjelaskan. "Tidak, kedua orangtuaku hanyalah manusia biasa," jawabnya, suaranya sedikit putus asa. Ia menggigit bibir bawahnya.

 

Kael menatapnya serius, keningnya sedikit berkerut. Ia mengamati ekspresi Kai dengan saksama. Setelah beberapa saat hening, ia berkata, "Aku mengerti. Sebelumnya kau manusia, dan kau meminum darah vampir? Lalu itulah yang terjadi padamu sekarang?" Suaranya terdengar sedikit lebih lembut. Ia menggoyangkan kursinya pelan.

Kai mengangguk pelan, mengakui pernyataannya. Ia merasa lega. Ia masih merasa bingung dan takut, namun sedikit harapan mulai muncul.

 

"Sepertinya sudah jelas," Kael berkata, mengangguk pelan. Ia mengusap dagunya, berpikir sejenak. "Jadi, sejak kapan kau jadi seperti ini?" Ia bertanya, suaranya terdengar penasaran. Ia bersandar ke belakang di kursinya.

 

"Lima tahun yang lalu," jawab Kai, suaranya masih sedikit gemetar. Kenangan masa lalu kembali menyeruak. Ia menutup matanya sejenak.

 

"Bohong, itu tidak mungkin!" seru Kael, suaranya meninggi sedikit. Ia berdiri tiba-tiba, menunjukkan keterkejutannya. Ia berjalan mendekati Kai, menatapnya dengan tajam. "Kai, jangan bilang kau belum pernah meminum darah manusia?" Suaranya terdengar keras dan penuh tekanan. Ia menggeram pelan.

 

Kai mengangkat wajahnya, menatap Kael dengan tenang namun tegas. "Apa aku terlihat berbohong? Kau sudah mengetahui jawabannya, kan?" tanya Kai, suaranya terdengar sedikit menantang.

 

"Ini aneh, jika kau sebelumnya manusia tidak mungkin kau bertahan selama itu." Jadi, apa yang kau konsumsi selama 5 tahun terakhir ini?" tanya Kael, suaranya terdengar penasaran namun tetap waspada. Ia memperhatikan ekspresi Kai dengan seksama. Ia duduk tegak di kursinya.

 

Kai menghela napas panjang, "Darah hewan," jawabnya pelan, suaranya terdengar sedikit malu. "Kurasa... walaupun menjijikan, itu bisa mempertahankan kewarasanku." Ia menunduk dan menggenggam selimut.

 

Kael menatap Kai dengan serius, keningnya berkerut dalam pemikiran. Ini benar-benar hal yang baru. Vampir yang sebelumnya manusia biasanya tidak bertahan lama jika mereka tidak meminum darah manusia; mereka akan menjadi lemah, gila, atau mati. Namun, dari cerita yang didengarnya dari anak muda ini, Kael merasakan kejujuran dalam setiap kata yang diucapkan Kai. Ia mengusap dagunya. Anak muda ini jauh lebih menarik daripada yang ia bayangkan. Ia kembali menatap Kai, tatapannya kini dipenuhi dengan rasa ingin tahu yang besar.

 

(To be continued)