Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 14 - ARC 1, 14

Chapter 14 - ARC 1, 14

"Baiklah, kelas pelatihan untuk hari ini cukup, kalian sudah berusaha dengan baik," Adam mengakhiri sesi pelatihan dengan tepukan. Ia mengamati para siswa, kelelahan terpancar dari raut wajah mereka. Meskipun pelatihan hari ini hanya permulaan , Adam merasa puas melihat perkembangan mereka. Ia bangga akan kerja keras dan dedikasi yang mereka tunjukkan. "Jangan lupa untuk beristirahat dan mempersiapkan diri untuk sesi selanjutnya," tambahnya, sebelum meninggalkan ruangan, meninggalkan para peserta yang masih kelelahan dan beristirahat.

"Huh... huh... Kurasa aku tidak cocok dengan pelatihan seperti ini..." Claire terduduk lemas di lantai, tangannya menyentuh lutut, berusaha mengatur napas yang tersengal-sengal. Keringat membasahi dahinya. "Ngomong-ngomong, Nona Seraphina benar-benar hebat ya, kau tidak kelihatan lelah sama sekali," puji Claire sambil menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan.

Seraphina tersenyum kecil, "Tidak juga kok? Ini tidak seberapa dibanding pelatihan dari Komandan." Ia dengan santai menyelipkan sehelai rambut yang jatuh di wajahnya ke balik telinga.

"Eh, apa itu dari Kepala Akademi? Huah, membayangkannya saja sudah membuatku merinding," seru Claire, menggerakkan tangannya seolah-olah menggambarkan rasa takut.

Seraphina hanya tersenyum tipis. Kai, dengan wajah memerah dan tubuh gemetar karena kelelahan, duduk di tanah sambil menyeka keringat yang bercucuran. "Wah, tidak kusangka ini benar-benar berat," katanya dengan suara hampir tak terdengar.

Claire, yang memperhatikan Kai dari kejauhan, mendekati Kai dan menawarkan botol airnya. "Kai kau baik-baik saja? Kebetulan air ku masih banyak apa kau mau?" Ia membuka tutup botol airnya dan menyodorkannya ke bibir Kai.

Kai tersenyum tipis, menolak botol air yang ditawarkan Claire dengan gerakan kepala yang halus. "Terima kasih, aku akan meminumnya nanti," katanya, suaranya sedikit serak.

Claire mengerutkan kening, masih terlihat khawatir. Ia mengamati Kai sejenak, kemudian menyimpan kembali botol airnya. "Baiklah, tapi katakan padaku jika kau membutuhkan sesuatu." Kai mengangguk pelan sebagai balasan pada Claire.

Pelatihan telah usai, dan sebagian besar siswa telah pergi, meninggalkan ruangan yang terasa lebih sepi. Claire, yang sudah siap untuk pulang, berhenti di dekat Kai dan Seraphina. "Kalian berdua tidak keluar?" tanyanya

Kai menghela napas panjang, menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Kurasa aku akan beristirahat sebentar di sini, kau bisa duluan." Ia tersenyum kecil, menunjukkan rasa terima kasihnya.

Seraphina mengangguk, menatap Claire dengan ramah. "Aku juga begitu," katanya. "Kerja bagus hari ini, Claire. Sampai jumpa lagi." Ia melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.

Claire mengangguk mengerti, namun tetap menunjukkan perhatiannya. "Baiklah, istirahatlah dengan baik. Jangan terlalu memaksakan diri ya. Sampai jumpa besok!" Ia tersenyum lembut dan melambaikan tangan sebelum pergi.

Kai dan Seraphina membalas lambaian tangan Claire. Di ruangan pelatihan ini hanya ada mereka berdua sekarang. Seraphina menampilkan senyum tipis yang lembut dan menawan, menunjukkan ketenangan dan kepuasan batin, kemudian dia melirik ke arah Kai, "Kau ternyata tau cara menolak juga ya?"

"Kau berpikir tentangku sebenarnya seperti apa?" Kai menghela napas berat, menatap langit-langit ruangan dengan pandangan kosong. "Kurasa tidak ada gunanya aku menerima itu, toh aku hanya bisa meminumnya, tidak ada efek yang kudapatkan." Ia menatap lantai, tampak ragu-ragu.

Seraphina menarik alisnya, menunjukkan ketertarikan. Ia bersandar pada dinding, memejamkan mata sejenak, seolah merenungkan sesuatu. "Jadi, apa yang kau bahas dengan Komandan sebelumnya?" Ia membuka matanya kembali, tatapannya tajam.

Kai menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Apa aku harus memberi tahu itu juga?" Ia tampak gelisah, tidak yakin apakah harus menceritakannya. Seraphina membuka matanya, tatapannya tajam namun tetap ramah. "Tentu saja. Sebagai pengawasmu, tentu saja aku harus mengetahuinya."

Kai menghela napas lagi, mencoba untuk tenang. "Tidak ada hal yang aneh , hanya pengecekan ulang Mana." Ia menjawab dengan singkat, mencoba untuk mengakhiri pembicaraan.

"Hasilnya?" Seraphina bertanya, menatap Kai dengan penuh perhatian. "Terdeteksi," jawab Kai, suaranya datar. Ia mengusap wajahnya dengan lelah.

Seraphina mengangkat alisnya, menunjukkan keheranan. "Hee, bukannya itu bagus? Kenapa kau terlihat lesu seperti itu?" Ia sedikit condong ke depan, menunjukkan rasa ingin tahu.

Kai menghela napas panjang, menatap ke arah lantai. "Kau tahu kan, untuk bergabung dengan Hunter itu tentunya harus menggunakan senjata sebagai acuan penggunaan sihir agar tidak dicurigai, jadi...." Ia tampak cemas. Seraphina mengangguk, menunjukkan pemahaman. "Itu benar, jadi...?" Ia menunggu penjelasan lebih lanjut.

Kai menggigit bibir bawahnya, tampak ragu-ragu. "Artefak yang mereka berikan hanya mengukur Mana, dan untuk acuannya itu terserah padaku." Ia tampak khawatir.

Seraphina berpikir sejenak, lalu tersenyum tipis. "Bukankah itu hal yang bagus? Artinya kau bebas memilih senjata dan sihir yang sesuai dengan kemampuanmu. Tapi, ada apa sebenarnya?" Ia memperhatikan ekspresi wajah Kai yang masih terlihat cemas. Ia berdiri dan menepuk pundak Kai pelan. "Yah, kurasa aku cukup hanya mengetahuinya sampai sini. Kau tidak ingin keluar? Mereka akan curiga jika kita masih berada di sini." Ia tersenyum lembut, menunjukkan pengertian, kemudian keluar dari ruangan pelatihan.

Kai berdiri dari duduknya, "Hei! Dasar, disini sebenarnya siapa yang mengawasi siapa sih." Keluhannya terlontar, tajam seperti pisau kecil. Ia mengejar Seraphina, langkahnya cepat.

Seraphina tidak mempercepat langkahnya, ia membiarkan Kai mengejarnya, senyum tipis masih terukir di bibirnya. Ia tahu Kai sedang kesal, tetapi ia juga tahu bahwa Kai tidak akan benar-benar marah padanya. "Oh? Kupikir kau akan bermalam di ruangan itu?" tanya Seraphina, nada suaranya sedikit mengejek.

"Mana mungkin," gumam Kai, matanya masih terpejam. Ia berjalan beberapa langkah di belakang Seraphina, langkahnya tenang namun waspada, mengikuti setiap gerakan Seraphina dengan jeli. Tiba-tiba, klik, sebuah suara kecil dan tajam membelah kesunyian. "Hei, apa kau mendengar itu?" Seraphina berhenti, tangannya terangkat seolah-olah merasakan sesuatu.

Seraphina tersentak, "Ah itu..." Seraphina meraba-raba dadanya, di bawah lapisan jasnya yang rapi. Jari-jarinya menemukan benda persegi kecil yang dingin. Ia menarik keluar walkie-talkie, suara statis masih berdengung samar. "Seraphina di sini... Ya... Sekarang?... Baiklah... Baik... Aku mengerti," jawabnya dengan suara tenang namun tegas, matanya menatap ke arah sumber sinyal, alisnya sedikit berkerut. Ia menyimpan walkie-talkie kembali ke tempatnya.

Kai mengamati Seraphina dengan tatapan penuh pertanyaan. "Ada apa?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian. Ia bisa merasakan ketegangan yang masih tertinggal dalam tubuh Seraphina.

"Maaf Kai, tapi apa kau bisa pulang ke penginapan sendirian?" tanya Seraphina, sedikit ragu-ragu. Ia melirik ke arah Kai, wajahnya tampak sedikit cemas.

"Tidak masalah, lagipula aku sudah hapal rutenya. Memang ada apa?" jawab Kai santai, namun matanya memperhatikan ekspresi Seraphina dengan seksama. "Komandan memanggilku, ada hal yang harus dilakukan jadi..." Seraphina menjelaskan, matanya menatap ke arah lain, seakan menghindari tatapan Kai. Ia terlihat buru-buru.

"Aku mengerti. Yah, kau juga tidak bisa membantahnya kan?" Kai mengangguk, memahami situasi, senyum tipisnya berusaha meyakinkan Seraphina.

"Maafkan aku. Kalau begitu aku pergi dulu, ingat langsung pulang ke penginapan ya!" Seraphina berkata, suaranya sedikit tergesa-gesa. Ia tersenyum kecil, lalu berlari meninggalkan Kai, "Baiklah, aku mengerti." Kai menjawab, matanya mengikuti kepergian Seraphina. ia menghela napas pelan, lalu mengambil langkah yang berlawanan dengan Seraphina berjalan ke arah gerbang Akademi. Udara senja mulai meremup di sekitar, membungkus kesunyian akademi yang mulai sepi.

Kai melanjutkan perjalanan menuju penginapan, Kai melirik sekitar kemudian heran, alun-alun yang biasanya ramai kini Hening. Setelah melewati Alun-alun kota menuju penginapan, Kai merasakan bayangan samar di tepi matanya menarik perhatiannya. Ia mengerutkan kening, memperlambat langkahnya, "Siapa disana?" Ucapnya dengan waspada.

Sebuah suara serak menjawab dari balik bayangan, "Huh, kupikir aku sudah menyembunyikan diri dengan baik. Tidak kusangka bocah sepertimu menyadarinya."

"Tunjukkan dirimu sekarang!" perintah Kai, suaranya tegas, Sial... Batin Kai. Bayangan itu bergerak, perlahan-lahan memisahkan diri dari dinding bangunan tua yang gelap. Sosok seorang pria tinggi besar dengan jubah hitam mulai terlihat, wajahnya masih tersembunyi dalam bayang-bayang. Dia melangkah keluar dari balik dinding, mengungkapkan dirinya sepenuhnya. "Mengejutkan, kau bisa menyadarinya, bocah," katanya, suara serak itu terdengar lebih jelas. Pria itu mengamati Kai dari atas ke bawah, matanya menyipit tajam.

"Tunggu... aku mencium sesuatu yang aneh darimu..." Pria itu mencium udara di sekitar Kai, seolah mendeteksi sesuatu. Kai hanya menatapnya tajam, rahangnya mengeras. "Baumu seperti vampir, tapi ada aroma manusia juga. Siapa kau sebenarnya?"

"Seharusnya aku yang bertanya, siapa kau?" balas Kai, suaranya dingin dan penuh tantangan.

"Huh, kuharap kau tidak berteriak seperti itu." Pria itu menjentikkan jari, seolah membatalkan sesuatu. Seketika itu juga, efek ramuan yang menutupi wujud vampir Kai sirna. Mata merah Kai dan taringnya yang tajam terlihat jelas. Pria itu menaruh jari jempol dan telunjuknya di dagu, "Hoo, jadi seperti itu?"

"Jawab aku, siapa kau...?" Kai menatapnya tajam, lalu melirik bayangannya sendiri yang terpantul di genangan air di dekatnya. Bayangan itu memperlihatkan mata merah dan taringnya yang seharusnya masih tersembunyi beberapa jam lagi. "Mustahil! Seharusnya masih ada waktu sekitar beberapa jam lagi?!" pikirnya, terkejut.

Bunyi duk keras dari sebuah keranjang anyaman yang jatuh ke tanah memecah kesunyian. Seketika, jeritan seorang wanita terdengar nyaring, "Kyaaa...!!!" Jeritan itu dipenuhi kepanikan dan ketakutan yang nyata. Kai, yang masih berhadapan dengan pria berjubah hitam, langsung menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang gadis muda dengan rambut terurai berantakan. Wajahnya pucat, matanya membulat sempurna karena ketakutan, tubuhnya gemetar hebat. Ia meringkuk di tanah, tangannya menutupi mulut, jari-jarinya mencengkeram erat kain roknya. Suara lirih dan terbata-bata keluar dari bibirnya, "K... kenapa ada vampir... di sini...!!!"

Kai mengerutkan kening. Ia melirik sekilas ke arah pria berjubah hitam, yang kini juga menatap ke arah gadis itu dengan ekspresi tak terbaca. Kehadiran gadis itu menambah kompleksitas situasi yang sudah menegangkan. Ia benar-benar bingung apa yang harus dilakukan saat ini.

Sebelum Kai bisa memutuskan, pria berjubah hitam itu bergerak cepat. Dengan sigap, ia meraih lengan Kai, kekuatan tangannya mengejutkan. Pria itu menarik Kai menjauh dari gadis yang masih gemetar, berlari cepat menuju lorong gelap yang tersembunyi di balik bangunan tua. "Tunggu! Apa yang kau lakukan?!" Kai berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman pria itu sangat kuat.

"Diam dan ikuti saja aku! Apa kau ingin para Hunter itu menangkapmu?!"

(To be continued).