Kai melangkah keluar dari ruang latihan, matanya terpejam, tangan tersembunyi di balik saku celananya. Langkahnya malas, hampir tak terdengar. Setelah beberapa langkah, ia berhenti. Sesuatu menarik perhatiannya. Perlahan, ia membuka satu mata, melihat Lilia bersandar santai di dinding, lengan terlipat di dada.
"Jadi, ruangannya dimana?" Tanyanya, tanpa menoleh kebelakang sedikit pun, kemudian melanjutkan jalannya.
Lilia melangkah maju, langkahnya ringan namun penuh keyakinan. "Kau sudah menduga semuanya, ya?" Ia berhenti sejajar dengan Kai, tatapannya tajam. Kai tak menjawab, hanya melanjutkan langkahnya. Lilia menghela napas, tangannya menyentuh gagang pedang di pinggangnya, seakan siap menghadapi segala kemungkinan.
"Semua gerakan kalian terbaca tau, jadi alih-alih Seraphina tidak bisa mengawasiku untuk saat ini jadi sekarang yang kau yang mengawasiku sementara." Kai melirik sekilas ke belakang, lalu kembali fokus ke depan. Lilia mengerutkan dahi, jari-jarinya mengepal.
"Kau masih curiga pada kami, ya?" Lilia bertanya, suaranya sedikit dingin. Ia melangkah lebih dekat, jarak di antara mereka semakin menipis.
"Untuk saat ini, tidak terlalu. Kalau kalian menganggapku musuh, aku sudah mati beberapa hari lalu." Kai menjawab singkat, tangannya secara refleks berbalik ke menatap Lilia, senyum tipis menghiasi bibirnya, tetapi pandangan matanya yang tajam menunjukkan kewaspadaan yang tersembunyi. Ekspresinya tenang, tetapi ada ketegangan yang tersirat di balik ketenangan itu.
Lilia diam sesaat, sebuah senyum tipis bermain di bibirnya. Ia tahu apa yang harus dilakukan, dan ia yakin dengan keputusannya. Dengan langkah yang ringan dan elegan, ia berjalan melewati Kai, tubuhnya memancarkan aura percaya diri yang terselubung. "Ikuti aku," katanya, suaranya tenang dan penuh keyakinan
Kai mengikuti di belakang, merasakan suasana yang lebih tenang daripada sebelumnya. Mereka berjalan melewati koridor yang terang dan bersih, dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan indah. Suasana terasa damai dan menenangkan. Sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu jati yang berkilau menyambut mereka di ujung koridor.
Lilia membuka pintu, mengungkapkan ruangan yang luas dan terang, dipenuhi dengan berbagai buku dan dokumen. "Tugasku hanya mengantarmu kesini," Ucap Lilia sembari menunggu diluar, Kai mengangguk mengerti, ia masuk ke dalam ruangan itu pintu kembali tertutup saat ini terlihat sebuah meja kerja yang rapi dan nyaman berada di tengah ruangan. Suasana penuh harapan dan optimisme.
"Terimakasih sudah mengantarnya kesini Lilia." Suara familiar terdengar, Kai mengerutkan dahi sejenak, kejutan tersirat di matanya yang kemudian beralih menjadi senyum tipis. Ia mengangkat satu alis, tangannya dengan santai diletakkan di pinggang. "Sepertinya kau tak puas hanya dengan satu ruangan pribadi, ya?" Ia tertawa kecil, suara yang terdengar percaya diri dan sedikit meremehkan.
"Hoo... Kau tidak terlihat kaget. Apa kau sudah menyadarinya sebelumnya?" Glaen menyenderkan tubuhnya ke kursi, senyum masih mengembang di wajahnya. Ia melipat tangan di dada, mengamati ekspresi Kai dengan minat.
"Tidak juga, tapi aku memang curiga sejak kau begitu mudah memasukkanku ke akademi ini, Glaen. Tidak, haruskah aku memanggilmu Komandan?" Kai tersenyum tipis, menatap Glaen dengan penuh arti.
Glaen tertawa lepas, "hahaha, kau ternyata tidak sebodoh yang kupikirkan. Karena hanya ada kita berdua disini kuizinkan kau memanggil namaku tapi, jangan lakukan itu ketika berada di depan orang orang." Tawanya terhenti, kemudian menopang dagunya dengan tangan, menatap Kai dengan ekspresi penasaran, " Jadi, bagaimana hari pertamamu di sini?" Ia bersandar ke kursi, menatap Kai dengan pandangan yang sulit diartikan. Kai mengambil cangkir teh di atas meja, mengaduknya perlahan, mencoba untuk membaca ekspresi Glaen.
"Kurasa tidak buruk," kata Kai singkat menjawab pertanyaan dari Glaen.
Glaen meminum tehnya, lalu meletakkan cangkirnya dengan hati-hati di atas meja. "Aku dengar dari Lilia, bahwa kekuatan sihirmu tidak terdeteksi oleh artefak pengukuran," ucapnya, alisnya sedikit terangkat saat menatap Kai dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Aku tidak peduli dengan itu. Jika tidak bisa menggunakan sihir, aku akan menggunakan tubuhku." Kai mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya sedikit menonjol. Ia menatap Glaen dengan tatapan menantang.
Glaen menggelengkan kepala pelan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme pelan. "Pikiranmu terlalu naif, bocah. Kau tidak bisa mengalahkan mereka hanya dengan mengandalkan kekuatan fisik." Ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih serius, menunjukkan keprihatinannya terhadap sikap keras kepala Kai.
Kai menatap Glaen dengan serius. "Lalu apa yang harus kulakukan?" tanyanya, suaranya tenang namun penuh harap. Ia ingin tahu bagaimana cara yang lebih efektif untuk menghadapi tantangan yang akan dihadapinya. Ini menunjukkan bahwa ia terbuka terhadap saran dan bimbingan.
"Aku sudah menduga ini, mendekatlah," kata Glaen, suaranya menjadi lebih rendah dan serius. Ia menunjuk ke sebuah laci tersembunyi di bawah mejanya. Dengan gerakan hati-hati, ia membukanya, memperlihatkan sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu gelap kemudian membukanya, didalamnya terlihat seperti bongkahan kaca yang bulat.
Kai mengerutkan dahi, penasaran. Ia mendekati meja dengan hati-hati, matanya terpaku pada isi kotak tersebut. "Apa ini?" Tanyanya penasaran.
"Artefak milik vampir. Aku sudah mengeceknya, ini terlihat seperti artefak pengukuran mana. Tetapi tidak bereaksi jika manusia menggunakan ini, jadi coba letakkan tanganmu disini." Glaen meletakkan sebuah artefak kecil, mungkin terbuat dari logam gelap atau batu yang berkilauan redup, di atas meja. Artefak itu tampak dingin dan sedikit mengeluarkan aura misterius. Ia menunjuk ke artefak tersebut dengan jari-jarinya yang panjang dan ramping, menunjukkan tempat yang tepat di mana Kai harus meletakkan tangannya.
Kai mengamati artefak tersebut dengan hati-hati, mengerutkan dahi. Ia ragu-ragu sejenak sebelum perlahan-lahan meletakkan tangannya di atas artefak tersebut. Ia merasakan sensasi dingin yang menusuk, dan sedikit menarik tangannya kembali karena terkejut. Sesuai dugaan, artefak itu bereaksi dengan mengeluarkan cahaya yang cukup terang.
Glaen mengamati reaksi artefak itu dengan seksama. Alisnya sedikit terangkat. "Seperti yang kuduga," katanya, suaranya tenang namun penuh arti. Ia mengambil artefak tersebut dan memeriksa dengan cermat. "Kai kau juga memiliki mana."
"Eh, jadi aku akan mendapatkan acuan senjata atau artefak sihir?" Kai menatap Glaen dengan menunjukan rasa ingin tahu dan antisipasi. Matanya berbinar, menunjukkan harapan untuk mendapatkan senjata atau artefak sihir yang kuat.
Glaen menggelengkan kepalanya perlahan, "Aku tidak yakin dengan itu, karena biasanya Vampir tidak menggunakan perantara untuk menggunakan sihir. Tentu saja jika kau tidak ingin dicuragai maka kau memerlukan senjata." jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan lembut. Ekspresi wajahnya menunjukkan keraguan dan sedikit kerumitan. Ia mungkin akan mengusap dagunya, menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras. Ia mungkin juga akan melihat sekeliling ruangan, seolah mencari petunjuk atau informasi tambahan.
Kai menghela napas panjang, menahan rasa frustasinya. Ia mengepalkan tangannya sebentar, kemudian melepaskannya. "Jadi, semua ini sia-sia? Karena manusia biasanya menggunakan sihir menggunakan alat acuan kan?" tanyanya, suaranya terdengar datar, menunjukkan upaya untuk mengendalikan emosinya. Ia menatap lantai, menunjukkan kekecewaannya yang terpendam.
"Kenapa kau merasa frustasi seperti itu? Bukankah tugasmu untuk mencari tahu cara mengatasinya? Ingat, semua Hunter harus mengasah kemampuannya sendiri. Tugas kami di sini hanya memberikan teori dan menunjukkan caranya; berhasil atau tidaknya sepenuhnya tergantung pada kemampuanmu." Glaen melangkah maju, mendekat ke arah Kai. Dia menunduk, tatapannya tajam dan serius. Dengan satu tangan, Glaen menunjuk ke arah Kai, jari-jarinya seperti cakar yang siap menerjang. "Setiap orang punya potensi, Kai."
"Heh? Jadi kau bersikap keren sekarang?" Kai menyeringai, ia senyum tipis yang tampak tenang namun menyimpan kedalaman makna. Tatapan matanya yang sedikit menyipit, dikombinasikan dengan postur tubuhnya yang santai namun waspada, menunjukkan aura percaya diri yang terselubung.
"Hah... Kau bocah yang berisik ya. Sekarang kembali ke kelas, urusanku denganmu sudah selesai sekarang untuk saat ini." Glaen menjawab dengan tenang, namun matanya tajam mengamati Kai.
Kai hanya membungkuk sopan, kemudian berbalik dari hadapan Glaen dan berjalan keluar dari ruangan. Saat ini matanya Glaen tajam mengamati Kai yang mulai berjalan menjauh. Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah ia merasa puas telah menyelesaikan sesuatu.
Di sepanjang koridor yang sunyi, Kai berjalan dengan langkah cepat namun terukur. Ia tak menoleh ke belakang, meskipun ia bisa merasakan tatapan Glaen masih mengikuti. Pikirannya tertuju pada latihan di ruang pelatihan ia perlu melepaskan ketegangan yang masih tersisa setelah pertemuan singkat, namun intens, dengan Glaen.
"Ya." Jawab Kai singkat, " "Humu, kelas masih berlangsung. Jadi kembali ke posisimu semula." Adam berkata, matanya mengamati postur Kai. Ia menggerakkan tangannya, Kai dengan sigap mengikuti arahan Adam, bergerak cepat dan bergabung ke dalam kelas.
"Oh? Kau sudah kembali." Seraphina berkata, mengangkat satu alisnya. Ia memperhatikan Kai dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah memeriksa apakah ada sesuatu yang salah pada dirinya. Senyum tipis menghiasi bibirnya, menunjukkan rasa penasaran.
"Kai, aku kaget mendengar kau dipanggil kepala akademi, apa semuanya baik-baik saja?" Claire bertanya dengan nada khawatir, mendekati Kai. Ia meletakkan tangannya di lengan Kai, menunjukkan rasa perhatian dan kekhawatirannya.
"Ya, semuanya baik-baik saja. Mereka hanya mengukur ulang Mana karena pengukuran kemarin terjadi kesalahan, Ngomong-ngomong sejak kapan kalian berdua sedekat ini?" Kai menjawab, mencoba untuk terlihat santai. Namun, ia sedikit menggeser tubuhnya, menjauhkan tangan Claire dari lengannya. Ia mengamati Seraphina dan Claire secara bergantian, seolah-olah ia sedang menganalisis hubungan di antara mereka berdua.
"Nona Seraphina membantuku di pelatihan kali ini, hah tidak kusangka pelatihannya begitu melelahkan." Claire berkata, mengusap keringat di dahinya dengan punggung tangannya. Napasnya sedikit tersengal-sengal, menunjukkan kelelahannya.
"Stamina itu penting dalam pertarungan, kau sudah berusaha keras Claire." Seraphina menjawab dengan senyum lembut. Ia mengulurkan sebotol air kepada Claire. Claire menerimanya dengan tangan gemetar, lalu meneguk air itu dengan rakus. Setelah meneguk beberapa tegukan, ia menghela napas lega.
Kai mengamati Claire dan Seraphina. Senyum tipis bermain di bibirnya, menunjukkan kepuasan atau rasa puas diri. Matanya yang sedikit sipit memancarkan cahaya hangat, menunjukkan kelegaan dan sedikit kekaguman. Di sisi lain, Adam, yang memperhatikan interaksi mereka, berteriak, "Yang di sana! Istirahat sudah berakhir! Lanjutkan pelatihan otot kalian! Rute putaran kali ini minimal lima putaran!"
Suaranya menggema di ruangan pelatihan, memutuskan suasana hangat di antara ketiganya. Claire dan Seraphina tersentak, kemudian saling bertukar pandang sebelum kembali fokus bersiap-siap mengambil posisi untuk rute lari. Begitupun dengan Kai, dia mengambil posisi awal, untuk pelatihan, disisi lain Seraphina menatapnya dengan tatapan khawatir.
"Kai, apa kau tidak merasa haus sekarang?" tanyanya berbisik, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Ia sedikit melangkah mendekat, menunjukkan perhatiannya.
"Hmm? Kurasa tidak, soalnya aku pernah bertahan kurang lebih 10 hari dengan darah hewan." jawab Kai, nada suaranya datar, menunjukkan ia terbiasa dengan kondisi tersebut. Ia mengencangkan otot-ototnya, siap untuk memulai pelatihan.
"Tapi..." Seraphina masih terlihat cemas, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Kenapa kau malah mengkhawatirkan itu, tugasmu itu kan mengawasiku, benar kan?" Kai memotongnya, nada suaranya sedikit lebih tegas, namun ia masih berusaha untuk tidak terlihat kasar. Ia mengalihkan pandangannya ke depan, fokus pada pelatihan yang akan dimulai. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.
(To be continued)