Sekitar tiga puluh menit Lilia menjelaskan tentang mana. Mana, menurutnya, adalah energi kehidupan makhluk hidup, sementara sihir adalah energi yang dilepaskan oleh mana. Manusia memiliki mana, namun sejak dulu tak mampu melepaskannya seperti ras lain. Inilah sebabnya manusia dianggap makhluk terendah. Ironisnya, inilah pula yang memungkinkan kelangsungan hidup manusia di bawah kekuasaan vampir. "Tidak kusangka kelemahan itu bisa menjadi alasan untuk tetap hidup," pikir Kai saat mendengar penjelasan Lilia.
Lilia menjelaskan bahwa perkembangan sihir ras lain lebih maju, memungkinkan pemanfaatan mana yang lebih efektif. Manusia terus berupaya mengakses dan memanfaatkan potensi mana mereka, sehingga mengubah pandangan tentang posisi mereka di dunia. Tepat saat munculnya orakel dari wilayah vampir, manusia menemukan cara memanfaatkan mana dengan alat perantara. Dengan kemampuan ini, organisasi Hunter didirikan untuk melawan penindasan vampir.
"Tunggu? Orakel itu muncul sudah lama, kan? Jika begitu, tak mungkin pengetahuan pemanfaatan mana tak menyebar, bahkan hingga ke desa terpencil di Eldonia. Kalau iya, Ayah, Ibu, dan Kakak tidak akan…!" Kalimat itu terhenti. Tangan Kai mengepal, kukunya membenam dalam telapak tangan hingga terasa sakit. Pandangannya kabur, bayangan keluarganya memenuhi penglihatannya.
"Kai…? Kau baik-baik saja? Atau sedang tidak enak badan?" Sentuhan lembut Claire di tangannya membuatnya tersentak. Ia menoleh, mendapati wajah Claire yang khawatir. Kai berusaha tersenyum, meskipun bibirnya terasa kaku. Ia menggenggam tangan Claire sebentar, lalu melepaskannya. Ia mengalihkan pandangan, melihat wajah pucatnya di cermin. Ia menghela napas panjang.
"Benar, tidak ada gunanya memikirkan masa lalu, untuk sekarang yang kupikirkan adalah apa yang akan kulakukan untuk kedepannya…!" Kai mengepalkan tangan, mengumpulkan tekad. Pandangannya tertuju ke depan, pada pemandangan langit senja yang indah. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya.
"Baiklah, mungkin cukup sekian untuk kelas teori hari ini. Kalian boleh beristirahat sejenak. Kelas selanjutnya akan dimulai 15 menit lagi, jadi persiapkan diri kalian." Suara Lilia lantang. Kai menarik napas panjang, meregangkan otot-ototnya.
"Oi, kau yang di sana…!" Suara lantang itu membuatnya tersentak. Seorang pria menatapnya tajam. "Aku benar-benar penasaran denganmu sejak kemarin." Kai mencoba terlihat tenang, namun alisnya mungkin sedikit terangkat. Pandangannya kosong, namun ia sedang berpikir keras. Ia merasa cemas.
"Maaf jika membuatmu penasaran tapi, tidak ada hal yang menarik dariku." Suaranya datar. Ia menjaga kontak mata, menunjukkan sikap tenang. Pria itu mendekat, memukul meja hingga bergetar, dan menatap Kai tajam.
"Semua hal darimu itu membuatku penasaran, tau! Tiba-tiba datang ke sini dengan pakaian yang aneh, dan sekarang tiba-tiba sudah memakai seragam. Dan juga… apa-apaan rambutmu itu?!" Kai menelan ludah. Pandangannya tak lepas dari mata pria itu.
"Maaf untuk itu," jawab Kai, suaranya lebih pelan. "Kemarin seragamku belum ada, jadi aku memakai pakaian itu. Dan rambutku… memang seperti ini." Ya, walaupun bagian putih ini aku dapat dari kejadian itu… pikirnya. Pria itu menggertakkan giginya.
Claire berusaha menenangkan situasi, saat Seraphina muncul. Ia berjalan tenang namun pasti, tatapannya tertuju pada Kai. Kehadirannya mendominasi.
"Nona Seraphina…!" Suara Brad terdengar lemah, dibandingkan aura Seraphina.
Seraphina berhenti di samping Kai. Ia menatap Brad dingin, suaranya datar namun penuh otoritas. "Brad Finnian, bukan? Meskipun kau siswa terbaik tahun ini, kau tidak boleh meragukan keputusan akademi."
"Tapi dilihat dari mana pun, dia benar-benar mencurigakan…!" Brad bersikukuh. Kai memperhatikan rahang Brad yang mengencang.
Seraphina menghela napas panjang. Ia menggeleng pelan. "Huh, apa menurutmu Akademi tidak mempertimbangkan itu?" Tatapannya—campuran kelelahan dan ketidaksukaan. "Sebentar lagi kelas berikutnya akan dimulai, semuanya diharapkan menuju ke ruangan pelatihan." Suaranya lantang.
"Maafkan aku." Brad menunduk, kembali ke tempat duduknya. Kai merasa berterima kasih pada Seraphina. Ia menghela napas, lalu melihat Seraphina sejenak. Gadis itu tampak puas dan sedikit geli. Senyumnya tipis, namun matanya yang sedikit menyipit menunjukkan ia menahan tawa. "Kau juga Kai. Jangan sampai terlambat."
Seraphina melemparkan senyum tipis ke arah Kai, lalu pergi cepat dan pasti. Perubahan sikapnya membuat Kai bingung. Ia masih mencerna kejadian itu, lalu beranjak dari tempat duduknya untuk menuju ruangan pelatihan… "Tunggu… aku tidak tahu di mana ruangan pelatihan? Seraphina sialan…!"pikirnya.
Kai bergumam sedikit, alisnya sedikit mengerut, dan mulutnya membentuk garis lurus yang menunjukkan ketidaksukaannya. Secara keseluruhan, ekspresinya menunjukkan perasaan negatif yang tertahan, seolah ia sedang menghadapi situasi yang tidak menyenangkan atau tidak sesuai dengan keinginannya.
"Kai, mau pergi bareng?" Panggil Claire, suaranya ramah dan sedikit ceria, menciptakan kontras dengan suasana hati Kai yang tampak suram.
"Ah, terimakasih. Kebetulan aku tidak tau ruangan pelatihan dimana." Ucap Kai sembari menggaruk tipis pipinya, seolah merasa sedikit malu karena ketidaktahuannya. Ia tampak sedikit lebih rileks setelah Claire mengajaknya.
"Hoo, aku juga tidak melihatmu ketika masa orientasi. Tentu saja kau tidak tahu dimana ruang pelatihan kan? Baiklah ikuti aku!" Claire tersenyum cerah, kemudian menunjuk jalan di depannya. Ia berjalan mendahului Kai dengan langkah ringan, menunggu Kai mengikutinya dari belakang. Kai pun mengikuti Claire, langkahnya sedikit lebih cepat dari biasanya, seolah ingin segera sampai ke tujuan dan meninggalkan suasana hati yang kurang menyenangkan.
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk sampai di ruangan pelatihan. Ruangan itu ramai; para murid sudah berkumpul, suara-suara bercampur aduk memenuhi ruangan. Kai melangkah masuk, lalu bersandar lemas di dinding, memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri. Suasana ramai itu terasa sedikit menyakitkan bagi telinganya. Saat ia masih menikmati sedikit ketenangan yang berhasil diraihnya, tiba-tiba bayangan Seraphina muncul di hadapannya.
"Hee~ kau datang tepat waktu, kupikir kau akan tersesat sebentar." Seraphina menyeringai tipis, matanya berkilat-kilat seolah menyimpan sesuatu. Ia melipat tangannya di depan dada, menunggu jawaban Kai.
"Kau sengaja melakukan ini bukan?" Kai bertanya balik, suaranya terdengar sedikit curiga. Ia menatap Seraphina dengan tajam, tangannya terkepal di sisi tubuhnya.
"Tidak kok, ini murni benar-benar lupa. Semua orang bisa melakukan kesalahan tau?" Seraphina mengangkat bahu acuh, lalu memainkan ujung rambutnya dengan jari-jari tangannya. Senyumnya masih tersisa, namun kini terlihat lebih mengejek. Ia menaikkan sebelah alisnya, menunggu reaksi selanjutnya dari Kai. Tiba-tiba, Claire muncul di antara mereka, senyumnya sedikit bingung.
"Oh, kalian ternyata sudah saling kenal?" Claire bertanya, suaranya terdengar sedikit heran. Ia menatap bergantian antara Kai dan Seraphina, mencoba memahami situasi yang ada di depannya. Ekspresinya mencerminkan rasa penasaran yang tercampur dengan sedikit keheranan.
Seraphina menatap Claire sejenak, ia menyelipkan rambutnya yang jatuh ke belakang telinganya kemudian tersenyum tipis. "Fufufu, kalau tidak salah kamu Claire bukan? Benar sekali, aku dengan Kai sudah saling kenal karena aku ditugasi untuk M—."
Seraphina mulai menjelaskan sesuatu, namun tiba-tiba Kai dengan cepat dan sigap menutup mulut Seraphina dengan tangannya, jari-jarinya menutup rapat bibir Seraphina. Gerakannya spontan dan tampak terburu-buru, menunjukkan rasa panik yang tersembunyi.
"Ya bisa dibilang begitu? Karena kami tidak sengaja mengobrol di kemarin? Ahahaha." Ucap Kai membual alasan, suaranya sedikit gemetar. Ia berusaha untuk tersenyum, namun terlihat dipaksakan. Kai menjauhkan tangannya dari mulut Seraphina, lalu menggaruk tengkuknya dengan canggung. Ia melirik Claire, kemudian kembali menatap Seraphina seolah ekspresi nya mengatakan, "Bodoh, kau mau mengungkapkan semuanya disini?!"
Claire mengamati interaksi mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Alisnya terangkat sedikit, menunjukkan rasa penasaran yang semakin besar. Ia tidak sepenuhnya percaya pada penjelasan Kai, namun ia memutuskan untuk tidak terlalu mendesak. "O-oh begitu ya," jawab Claire, suaranya terdengar sedikit ragu. Ia menggigit bibir bawahnya sejenak, kemudian menambahkan dengan senyum tipis.
Kai merasa tenang sejenak, dia masih tidak pikir Seraphina tidak sengaja atau dia benar benar ingin mengatakann semuanya. Lalu, suara langkah kaki berat menggema di pintu masuk. Seorang pria tinggi besar dengan tubuh kekar memasuki ruangan.
Pria itu berhenti di tengah ruangan, posturnya tegap dan penuh wibawa. Ia menatap seluruh murid pelatihan tahun pertama, tatapannya tajam dan menilai. Kemudian, ia menepuk pelan sebuah meja di dekatnya, suara tepukan itu cukup keras untuk membuat semua murid terdiam.
"Halo, siswa pelatihan tahun pertama," suaranya beresonansi di ruangan, kuat dan jelas. Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya, menunjukkan sisi serius dari kepribadiannya. "Ini adalah kelas praktik dari mana dan sihir," pria itu melanjutkan, langkahnya mantap, tangannya tergenggam di belakang punggung, "Sebelumnya namaku adalah Adam. Mentor di kelas ini."
Sejumlah murid terlihat mengangguk hormat, beberapa diantaranya terlihat gugup, mengocok-ngocok ujung baju mereka. Beberapa murid lain berbisik-bisik pelan, mencoba untuk saling mengenal satu sama lain. Kai dan Seraphina, yang masih berdiri berdekatan, bertukar pandang sekilas, sebelum Kai mengalihkan pandangannya ke arah Adam, menunjukkan sikap yang serius dan fokus. Suasana ruangan masih sedikit tegang, namun rasa penasaran dan antisipasi terhadap pelatihan yang akan dimulai mulai terasa.
Tatapannya menyapu seluruh ruangan, berhenti sejenak pada beberapa wajah yang terlihat familiar baginya. Ia sedikit mengerutkan dahi, seolah mengingat sesuatu. Setelah beberapa saat, ia berkata, suaranya sedikit lebih lembut namun tetap berwibawa, "Oh ya sebelumnya, apa siswa pelatihan bernama Kai ada di sini?" Adam bertanya, sambil sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, menunjukkan ketertarikannya pada keberadaan Kai. Ia mengamati reaksi para siswa, mencari seseorang yang mungkin sesuai dengan deskripsi yang ia miliki.
Kai, yang namanya disebut, mengerutkan kening sedikit. Ia mengangkat tangannya, "Saya Mentor." Ia tidak menyangka mentornya akan memanggil namanya di awal pelatihan. Wajahnya menunjukkan campuran antara rasa terkejut dan sedikit was-was. Ia melirik sekilas ke arah Seraphina, seolah mencari dukungan, namun Seraphina hanya menggelengkan kepalanya seolah dia tidak mengerti apapun.
Adam mengangguk pelan, tatapannya tetap tertuju pada Kai. "Kepala akademi menyuruhku menyampaikan ini kepadamu," kata Adam, suaranya terdengar serius. "Kau ditunggu olehnya sekarang." Adam menambahkan, tatapannya kini sedikit lebih tajam. Suasana di ruangan menjadi hening, semua mata tertuju pada Kai yang tampak terkejut dan sedikit bingung.
Kai hanya bisa menerima perintah, dia mengangguk, bahunya sedikit merosot. Dengan langkah cepat namun terkendali, ia berjalan keluar dari ruangan pelatihan, meninggalkan bayangannya di lantai. Melihat ini, Seraphina mengerutkan keningnya, alisnya bertaut membentuk garis tegas. Ia langsung berbalik hendak mengikuti Kai, langkahnya cepat dan penuh determinasi. Namun, sebelum ia berhasil melangkah jauh, suara Adam menghentikannya.
Adam mengangkat tangannya, gerakannya cepat dan tegas, menghentikan langkah Seraphina. Ia menatap Seraphina dengan tatapan yang serius dan tak terbantahkan. "Seraphina Laurent," panggil Adam, suaranya terdengar dingin dan berwibawa. Ia menyebutkan nama lengkap Seraphina, menunjukkan bahwa ia serius. Adam melangkah maju selangkah, mendekati Seraphina. "Kembali ke tempatmu," perintah Adam, suaranya tegas dan tak terbantahkan. Ia menatap Seraphina dengan tajam, menunjukkan bahwa ia tidak akan mentolerir penentangan. "Aku tidak tahu kau mau ke mana sekarang, namun kelas akan segera dimulai." Adam menambahkan, suaranya sedikit lebih lunak, namun tetap menunjukkan otoritasnya.
Seraphina, yang awalnya tampak hendak membantah, menahan diri. Ia menggigit bibir bawahnya sejenak, kemudian dengan enggan kembali ke tempatnya semula, tatapannya masih tertuju pada pintu tempat Kai baru saja keluar.
(To be continued)