Chereads / Chronicles of the Crimson Prophecy / Chapter 11 - ARC 1, 11

Chapter 11 - ARC 1, 11

Sinar matahari pagi kembali memasuki ruangan, sekali lagi membangunkan Kai dari tidur. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke jendela dengan tak percaya. Rambutnya acak-acakan. Ia menguap kecil, meregangkan tubuhnya yang masih terasa lemas, disertai gerakan malas namun sigap, Kai turun dari tempat tidur.

Di meja kecil dekat ranjang, sebuah nampan berisi air hangat dan tumpukan pakaian tertata rapi. Ia meraih nampan itu, dan mencuci mukanya dengan air yang berada di nampan. Ia mengeringkan mukanya dengan handuk kemudian melihat secarik kertas di atas tumpukan pakaian itu.

"Tuan Gigi Bungsu, ini seragammu. Jangan lupa dipakai, ya." Kai menggumam, bibirnya membentuk senyum tipis. "Dari Lilie? Tidak. Gaya bahasanya... ini pasti dari Seraphina." Ia melipat kertas itu dengan hati-hati, lalu mulai mengenakan seragam yang tertata rapi di atas meja.

"Oh? Ukurannya pas?" gumamnya sambil mengancingkan seragamnya. "Aku hampir lupa." Ia kemudian merogoh jubah yang dipakainya kemarin untuk mengambil ramuan yang dapat menyembunyikan identitasnya. Dengan hati-hati, ia mulai meneteskan ramuan itu ke matanya dan berkumur dengan sisa ramuan yang ada. Seketika, taringnya menghilang dan matanya kembali berwarna merah kekuningan.

Kai menuruni tangga menuju lantai bawah. Di ruang tamu, ia melihat Seraphina sedang berbincang dengan Lilie. Langkah kakinya berhenti di anak tangga terakhir; Seraphina mendongak, tersenyum.

Kai tersenyum tipis. "Ya, terima kasih sudah mengantarkannya, Seraphina. Ngomong-ngomong, kau tidak ragu ya masuk ke kamar seorang pria?" Alisnya terangkat sedikit, bertanya-tanya.

Seraphina terkekeh, suaranya ringan. "Ahahaha, memang kenapa? Kau sendiri tidak mengunci kamarmu dan tertidur sangat lelap. Apa kau pikir aku tega membangunkanmu?" Ia mengangkat bahu, seolah itu hal yang sangat wajar.

Kai mengepalkan tangannya—Seraphina masih tertawa. Lilie menatapnya dengan mata berbinar. Kai menyadari tatapan itu, lalu tersenyum tipis, membalasnya.

"Ooh, gigimu sudah tidak sakit lagi? Kau bicara dengan lancar sekarang," kata Lilie, suaranya penuh kekhawatiran yang berubah menjadi rasa lega.

"Ahaha, begitulah. Kamu Lilie, kan? Salam kenal. Kau bisa memanggilku Kai," jawab Kai, senyumnya melebar sedikit.

"Senang bertemu denganmu, Kai! Apa kau teman Kak Seraphina?" tanya Lilie, matanya masih berbinar.

"Ah? Ya? Bisa dibilang begitu," jawab Kai, sedikit ragu, lalu menggaruk pipinya yang sedikit memerah sembari melirik ke arah Seraphina sebentar. Seraphina menanggapi dengan seringai sembari meminum teh yang ada di hadapannya.

"Kai, kamu juga silahkan minum. Teh ini dibuat oleh Kak Seraphina, loh! Rasanya sangat enak!" Lilie menyodorkan cangkir teh ke arah Kai sambil tersenyum manis, matanya berbinar.

Kai ikut duduk diantara Seraphina dan Lilie, kemudian dengan ragu mengambil teh yang ada di hadapannya. Seraphina menyandarkan dagunya di tangan, jari-jarinya terjalin dengan lembut.

Matanya membesar, berkilauan dengan cahaya yang tampak nakal dan menggoda. Pipinya merona merah muda, menambah kesan manis dan polos, namun tatapan matanya menunjukkan sesuatu yang lebih dalam, "Aku ragu ini akan tidak sesuai dengan Seleramu Kai, tapi aku akan senang kalau kau meminumnya."

Lain dikatakan, lain di hati. Ekspresi Seraphina—sebuah lengkungan bibir yang tipis—mengatakan, "Kau bisa meminum ini, kan?" Pandangan Kai menangkap itu dengan mudah. Ia mengangkat cangkir teh, menyesapnya perlahan. Matanya sedikit menyipit, lalu sebuah senyum puas mengembang di wajahnya. "Ini... enak."

Lilie terkekeh pelan, "Fufufu, iyakan? Teh buatan Kak Seraphina selalu enak." Seraphina menambahkan dengan suara lembut, "Aku senang itu sesuai dengan seleramu, Kai." Ia tersenyum ramah, mengamati Kai dengan penuh perhatian.

Seraphina merogoh saku celananya, mengeluarkan jam saku antik berbahan emas. Dengan hati-hati, ia membukanya, jarum jam menunjukkan waktu. Ia menutup jam itu kembali, lalu menatap Kai. "Kai, sudah waktunya. Kau akan terlambat jika tidak berangkat sekarang." Suaranya lembut namun tegas.

"Oh, baiklah." Kai berdiri, menarik kursinya ke belakang dengan pelan. Seraphina juga berdiri, menata roknya dengan anggun. Lilie memperhatikan mereka berdua dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Apa Kak Seraphina dan Kai akan pergi sekarang?" suaranya sedikit bergetar.

Seraphina mendekati Lilie, berjongkok agar sejajar dengan pandangan gadis kecil itu. Jemarinya yang lentik mengelus lembut puncak kepala Lilie. "Maaf ya. Tapi jangan khawatir. Nanti kita bermain lagi, ya, Lilie." Ia tersenyum hangat, mencoba menenangkan Lilie.

Keduanya meninggalkan penginapan dan berjalan beriringan menuju Akademi. Pagi itu, udara masih sejuk, mentari baru saja mulai menampakkan sinarnya. Seraphina, dengan langkahnya yang anggun, berjalan sedikit di depan Kai. Roknya yang panjang berkibar pelan tertiup angin lembut.

"Ngomong-ngomong, aku meninggalkan pesan di atas pakaianmu, loh. Apa kau tidak membacanya? Oh, jangan-jangan...!" Seraphina menutup mulutnya dengan tangan, pura-pura terkejut. Matanya berbinar-binar, menatap Kai dengan penuh minat.

Kai tersenyum kecil, percaya diri. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya, dengan santai menjawab, "Jangan berpikir sembarangan. Aku bisa membaca kok."

"Hoo... Kupikir kau akan protes dengan apa yang kutulis di kertas itu," Seraphina terkekeh, menggerakkan jari-jarinya dengan riang. Ia kemudian melirik ke arah Akademi Acies yang semakin dekat. "Sepertinya kita sudah hampir sampai." Kai mengangguk kecil, langkahnya mantap.

"Oh ya, ngomong-ngomong, aku penasaran. Kenapa kau mengajakku untuk ikut denganmu? Kurasa waktu itu kau bisa membunuhku dengan cepat," Kai bertanya, sedikit mengerutkan dahi, sembari memasukan tangannya di saku celananya.

"Yah, tidak ada alasan khusus. Kalau disuruh bilang, karena tatapanmu waktu itu," jawab Seraphina santai, sambil memainkan sehelai rambut yang jatuh di wajahnya.

"Tatapanku?" Kai mengangkat sebelah alis, tampak bingung.

"Ya, ketika kau mengatakan kau dikurung di sana dan tidak pernah mencoba darah manusia, itu terdengar seperti bualan. Tapi... tatapan di matamu waktu itu menggambarkan keseriusanmu," Seraphina menjelaskan, menatap Kai dengan intens. Ia berhenti sejenak, lalu tersenyum tipis. "Itu menarik perhatianku." Ia menunjuk dada Kai dengan jari telunjuknya, lalu melanjutkan langkahnya menuju Akademi dengan Kai mengikutinya di belakang.

Kai masih belum mengerti maksud Seraphina. Dua hari telah berlalu sejak ia meninggalkan sel dan bergabung dengan para Hunter. Keheranan masih menghantuinya; mengapa mereka menerimanya? Benarkah mereka percaya pada ramalan tersebut? Ia menghela napas. Untuk saat ini, mengikuti arus adalah pilihan terbaik. Yang terpenting, ia bisa berlatih di akademi. Ironis, tempat pelatihan Hunter ini disebut sekolah. Pengamatannya menunjukkan sedikit calon Hunter yang berpotensi. Menurut Seraphina, angkatan ini hanya memiliki dua kelas pelatihan.

Sikap Seraphina tetap menimbulkan kecurigaan. Ia tampak dapat dipercaya, namun terkadang sikapnya mencurigakan. Karena berada di kawasan akademi, Kai menjaga jarak dengan Seraphina; kedekatan akan membuatnya menonjol.

Sebuah suara ceria tiba-tiba memecah konsentrasinya. "Oh, Kai! Selamat pagi!" Kai tersentak, menoleh cepat. Gadis yang duduk di sampingnya kemarin. Ia berdiri beberapa langkah di belakang, senyumnya cerah, menyapa dengan riang. Lambaian tangannya tampak natural, namun Kai merasakan sesuatu yang dibuat-buat.

"Ah, kau... Claire, kan?" Kai mengangguk kecil, berusaha mengingat wajahnya. Claire tersenyum ramah, matanya bersinar.

"Benar sekali! Mau barengan masuk ke kelas?" tanyanya antusias, mendekat. Posturnya tegap dan penuh percaya diri. Kai mengangguk lagi, berusaha tidak menonjol.

"Yah, aku tidak masalah dengan itu," jawab Kai, suaranya lebih rendah dari biasanya. Ia sedikit menunduk, menghindari tatapan Claire.

"Terimakasih! Oh, kau memakai seragam hari ini." Claire memperhatikan seragamnya, ekspresi tertarik muncul di wajahnya. Ia memperhatikan detail-detail seragam tersebut.

"Oh, mereka baru mengirimkannya hari ini, jadi kemarin aku terpaksa masuk tanpa seragam," jelas Kai, berusaha santai. Ia merapikan kerah seragamnya, sedikit gugup.

Sebuah tatapan tajam terasa—dari Seraphina. Apa lagi? Mengapa ia selalu menatapnya seperti itu? Pikiran-pikiran berat memenuhi benaknya, terpancar dari wajahnya. Alisnya sedikit terangkat, membuat wajahnya tampak tidak suka dan ragu. Ia menatap lurus ke depan, namun matanya mungkin terlihat kosong dan tajam. Bibirnya terkatup rapat.

"Kai, kamu tidak apa-apa kan?" Suara Claire lembut, menarik perhatiannya.

"Eh? Apa maksudmu pengukuran mana itu?" tanya Kai bingung. Ia menggaruk tengkuknya, merasa canggung. Claire mengangguk, menunjukkan pengertian. Ia tersenyum kecil, mencoba menenangkannya.

"Jangan khawatir. Aku tidak terlalu memikirkan itu, jika tidak bisa menggunakan sihir maka aku akan melatih tubuhku." Kai mencoba tersenyum, meyakinkan diri dan Claire. Claire tersenyum tipis, menunjukkan kenyamanan.

Segera, mereka sampai di depan kelas, Claire mengikutinya. Begitu pintu terbuka dan Kai melangkah masuk, suasana kelas yang ramai berbisik langsung hening. Ia berusaha tenang, mengabaikan tatapan-tatapan itu, dan berjalan menuju tempat duduknya di pojok belakang.

"Kelas jam pertama adalah teori tentang Mana dan sihir ya, yah kurasa itu tidak terlalu buruk untuk pembukaan," ucap Claire, menatap selebaran jadwal pelajaran.

"Kau tidak terlalu tertarik dengan sihir ya?" tanya Kai, menyandarkan dagunya di tangan, menatap Claire.

"Tidak kok, aku tertarik, tapi Alkimia yang lebih menarik padaku," jawab Claire semangat. Ia menggambar lingkaran kecil di buku catatannya.

"Aku tertarik dengan Mana dan sihir karena itu bisa dipadukan dengan alkimia," lanjutnya, menjelaskan alasan sebenarnya. Claire tersenyum tipis, menunjukkan antusiasmenya.

Kai hanya tersenyum, lalu merasakan tatapan menusuk lagi—dari Seraphina. Mengapa? Tak lama kemudian, Lilia masuk, membawa tumpukan buku, menandakan kelas akan segera dimulai.

(To be contiouned)