Chapter 10 - ARC 1 10

Sebuah napas panjang dan berat meninggalkan bibir Kai, bahunya merosot. Kepalanya tertunduk, dan ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, tampak putus asa. "Huh, bagaimana aku bisa membalaskan dendam ku kalau mana saja tidak ada?" bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.

Claire memperhatikan wajah Kai yang pucat pasi. Dengan cepat, ia meraih tangan Kai, jari-jarinya mencengkeram erat tangan Kai untuk memberikan dukungan. "Jangan khawatir, Kai," bisiknya, suaranya lembut namun penuh keyakinan, "Artefak itu pasti rusak!" Sejenak, Claire menoleh ke arah Seraphina, matanya menyipit sedikit saat menyadari tatapan Seraphina yang tajam tertuju pada Kai. Ia kembali menatap Kai, berusaha agar suaranya tetap tenang, "Ngomong-ngomong, Kai, aku perhatikan Seraphina sesekali melirikmu selama kelas tadi. Kau kenal dia?"

Kai ikut menoleh ke arah Seraphina, menyadari bahwa ia beberapa kali meliriknya selama pengukuran Mana berlangsung. Dengan nada datar, ia menjawab singkat, "Tidak."

Seraphina berdiri dari tempat duduknya, senyum tipis menghiasi wajahnya saat ia melirik Kai. Tangannya memberi isyarat seolah mengajak Kai untuk menemuinya di luar kelas. Kai, yang menyadari isyarat itu, menghela napas sejenak sebelum mengangguk tipis sebagai balasan. Seraphina membalas dengan senyuman kecil sebelum keluar dari kelas.

Kai berdiri dari kursinya dan menatap Claire. "Kelas sudah selesai," ucapnya, suaranya tenang meskipun masih ada sedikit kekhawatiran. "Kau tidak ingin pulang?"

"Ah ya, aku akan pulang sebentar lagi," jawab Claire, dengan spontan.

"Baiklah kalau begitu, aku duluan," kata Kai sambil melangkah menuju pintu, memberi senyuman kecil sebagai perpisahan sebelum akhirnya melangkah keluar dari kelas. Claire mengangkat tangannya melambai pelan, tatapannya penuh harapan agar Kai merasa lebih baik.

"Heh, baru hari pertama sekolah, ternyata kau sudah dapat teman saja," Seraphina menyikut pelan lengan Kai sambil tersenyum tipis, namun matanya tetap tajam. Mereka berjalan berdampingan, langkah Seraphina sedikit lebih cepat daripada Kai.

"Berisik. Ngomong-ngomong, kenapa kau selalu melirik ke arahku tadi?!" Kai bertanya, sedikit meningkatkan nadanya. Seraphina hanya tersenyum misterius, "Aku kan ditugaskan untuk mengawasimu." Kai mengerutkan dahi, "Aku paham, tapi kalau begitu, semua bisa salah paham, tahu!"

"Maksudmu?" tanyanya seperti menggoda. Kai menghindari tatapan Seraphina, menghela napas. "Ah, sudah lupakan saja," katanya, lalu mempercepat langkahnya, bahunya tampak tegang.

Seraphina mengikuti langkah Kai, "Eh? Tapi kau sudah membuatku penasaran, Tunggu Aku Kai!" Ia sedikit mempercepat langkahnya, hampir berlari kecil untuk menyusul Kai yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya.

Hingga tiba di luar akademi saat ini, di luar, jemur sore menerpa wajah mereka, aroma tanah dan rerumputan memenuhi udara. Pohon-pohon rindang berjajar di sisi jalan, menciptakan bayangan yang teduh.

"Ngomong-ngomong Kai, kau tidak terganggu dengan hasil pengukuran mana itu?" tanya Seraphina, matanya mengamati ekspresi Kai. jawab Kai, menggelengkan kepala. "Jika memang tidak memiliki Mana, Aku akan melatih tubuhku, dan akan membalas dendam dengan menggunakan otot-ototku."

Seraphina tersenyum tipis, tatapannya tajam dan penuh arti. "Kau benar-benar orang yang menarik ya," katanya, suaranya berbisik seperti sebuah rahasia.

Saat ini di markas utama Hunter, di ruangan Glaen. Lilia datang melaporkan tentang kejadian kelas yang dimentorin dirinya saat ini. Glaen, dengan ekspresi wajah yang tersenyum sinis, hanya mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya, ketukan yang berirama menandakan dirinya yang tidak sabar menunggu laporan dari Lilia.

"Aaah~ Akhirnya efek itu hilang. Lilia, kau seharusnya mengurang durasi ramuan itu, aku terkurung di ruangan ini karena penyamaran itu, kau tahu?" Ekspresi wajah Glaen berubah menjadi jengkel, terlihat jelas dari kerutan di dahinya.

Lilia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Itu adalah waktu yang tepat untuk durasi ramuan penyamaran Vampir itu, Glaen. Ngomong-ngomong, ada hal penting yang ingin kukatakan."

"Apa itu tentang Kai?" Glaen mengangguk perlahan, senyum tipisnya masih terpatri di wajahnya. Ia bersandar ke belakang di kursinya, tangannya terlipat rapi di atas meja, menunggu dengan sabar.

"Benar, ketika pengukuran mana. Artefaknya tidak bisa mendeteksi dan mengukur mananya. Aku sudah mengecek artefaknya dan tidak ada masalah sama sekali. Jika tidak bisa mengetahui potensinya, kita tidak akan tahu anak itu akan menjadi teman atau ancaman bagi manusia, tentunya terutama para Hunter." Glaen mengusap wajahnya dengan telapak tangan, terlihat lelah dan sedikit frustrasi. Ia menjatuhkan pena yang dipegangnya ke meja dengan bunyi clack yang nyaring, mendengar ini membuat Lilia kaget sejenak.

"Maksudmu?" Lilia mengerutkan kening, sedikit bingung.

"Lilia, kau membuat artefak itu untuk mengukur dan mendeteksi mana manusia kan?" Glaen menatap Lilia dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran kecewa dan sedikit geli. Ia tersenyum tipis, namun senyum itu tak sampai ke matanya.

Lilia sentak terdiam, wajahnya memucat. Ia melupakan fakta sejenak bahwa Kai adalah Vampir Hybrid. "Kau... kau memang benar," gumamnya, suara hampir tak terdengar. "Tapi tidak ada artefak di akademi yang bisa mengukur mana sihir vampir." Lilia menutup matanya sejenak, terlihat sangat menyesal.

Glaen tersenyum tipis, menopang dagu dengan tangannya, jari-jarinya memainkan segerombolan kunci kecil yang diputar-putar perlahan. Ia memejamkan mata sejenak, seakan tenggelam dalam kenangan. "Lilia," katanya akhirnya, suaranya rendah dan berat, "apa kau lupa julukanku selama di akademi dulu? Pencuri." Senyum sinis mengembang di bibirnya.

Lilia mengerutkan dahi, bingung. "Aku tahu julukan itu, tapi apa hubungannya dengan situasi saat ini?"

Glaen membuka mata, tatapannya tajam. Ia meletakkan kunci itu di atas meja, gerakannya perlahan dan terukur. "Fufufu, kau memang cerdas dalam Alkimia, Lilia, tapi sepertinya kurang mampu memahami ini. Ketika menjalankan misi, aku biasa mencuri barang-barang yang mencurigakan dari vampir." Ia menatap Lilia dengan senyum yang penuh arti.

Dengan gerakan tangan yang sangat hati-hati, Glaen mengeluarkan sebuah kotak kecil dari laci meja kerjanya. Kotak kayu itu tampak usang, dengan ukiran-ukiran rumit yang hampir tak terlihat. Ia membuka kotak itu perlahan, memperlihatkan sebuah bola kecil yang mirip dengan artefak pengukur mana, namun terlihat lebih kuno dan misterius.

"Glaen," bisik Lilia, matanya melebar tak percaya, "jangan bilang ini..."

Glaen tersenyum tipis, sorot matanya berkilat. Ia menutup kembali kotak itu dengan gerakan yang sama hati-hatinya, lalu meletakkannya di atas meja. "Benar," katanya, "aku mencuri ini dari para vampir itu. Firasatku mengatakan ini akan berguna suatu saat nanti. Awalnya aku ingin memberikannya saat kelas berlangsung, tapi tidak mungkin aku keluar dengan mode penyamaran, bukan?"

Lilia menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Tapi Glaen," ia berkata dengan suara yang sedikit lebih keras, "kita tidak tahu bagaimana artefak ini bisa berfungsi. Jika itu benar-benar milik vampir, bisa saja ada konsekuensi yang tidak kita ketahui." Ia melangkah mendekat, menatap bola kecil itu dengan ragu-ragu. "Kita harus sangat hati-hati."

Glaen menyeringai kecil, mengangkat bola itu dengan satu tangan, lalu meletakkannya kembali dengan acuh tak acuh. "Tenang," katanya, nada suaranya sedikit meremehkan. "Aku sudah mencobanya dan tidak terjadi reaksi apa-apa."

"Terimakasih atas laporanmu Lilia, sudah kuduga kau akan menjadi mentor yang baik." Glaen tersenyum tipis, matanya berkilat.

"Kau sengaja kan, aku lebih suka mengurung diri di laboratorium milikku." Lilia mengerutkan dahi, sedikit kesal.

"Terlalu menyendiri itu tidak baik Lilia," Glaen berkata, sambil menepuk pelan pundak Lilia, "tapi kau memang berbakat, dan juga ini menjadi semakin menarik. Biar aku yang menemui bocah itu besok, yah sudah lama aku mengabaikan tugasku yang satu ini."

Sementara itu, Kai dan Seraphina sudah sampai di penginapan yang terletak di pinggir sudut kota Narnia. Matahari mulai terbenam, efek ramuan yang dipakai oleh Kai menghilang. Mata dan taring miliknya sudah kembali seperti semula.

"Tepat waktu, Kai," Seraphina berbisik, matanya mengamati sekeliling dengan waspada. "Mata dan taringmu sudah kembali. Di dalam ada Lilie, kuharap kau bisa bersikap seperti kemarin dan pagi ini."

Kai mengangguk, dengan cepat memakai tudung kepalanya. Mereka membuka pintu penginapan, dan seorang gadis kecil, Lilie, terlihat sedang membersihkan meja dengan gerakan cekatan. Ia berhenti sejenak, matanya berbinar ketika melihat mereka.

"Oh! Kak Seraphina dan si gigi bungsu!" Lilie berseru, suaranya ceria. Ia meletakkan kain lap yang dipegangnya, dan tersenyum ramah.

"Gigi bungsu?" Kai terkesiap, terkejut dengan julukan itu. Ia memegangi dadanya, tampak sedikit terguncang. Seraphina tertawa kecil, menepuk bahu Kai untuk menenangkannya, "Wah-wah, panggilan gigi bungsu itu tidak begitu buruk ya kan?" Ucapnya senyum jahil.

"Halo Lilie, seperti biasa kau sudah bekerja keras hari ini." Seraphina tersenyum ramah, mengacak pelan rambut Lilie.

"Hehe terimakasih! Oh iya, apa Kakak akan menginap di sini malam ini?" Lilie bertanya, sambil mengusap keringatnya dengan punggung tangan.

"Tentu saja! Kalau begitu aku siapkan kamar yang biasa Kakak gunakan ya." Seraphina mengangguk, menepuk kepala Lilie dengan lembut. Lilie mengangguk riang, lalu berlari menuju tangga, langkah kakinya ringan dan lincah.

Kai mengamati Lilie yang berlari menjauh, lalu menoleh kepada Seraphina, tangannya tergenggam di pinggang. "Kau terlihat dekat dengannya, ya?" suaranya terdengar sedikit bertanya-tanya.

Seraphina tersenyum tipis, menatap Lilie yang sudah menghilang di balik tangga. "Ya, itu karena dulu setelah direkrut oleh Komandan, Nona Lilia menyarankan aku tinggal di sini untuk sementara. Karena beliau sering menjalankan misi, terkadang aku bermain dengan Lilie." Ia berhenti sejenak, tampak berpikir. "Apa hubungannya Lilia dengan anak itu?" Kai bertanya, alisnya sedikit terangkat.

Seraphina menghela napas pelan. "Ah, mereka... adik kakak." Ia menatap Kai dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ah, mereka... adik kakak. " Seraphina menjelaskan, mencoba untuk meyakinkan Kai.

Kai menaikan alisnya, seketika membandingkan gadis kecil itu dengan Lilia, dia meletakkan tangan di dagunya sembari berfikir, "Sama sekali tidak mirip."

"Yah, terkadang saudara itu tidak harus mirip, kan?" Seraphina tersenyum tipis, menguap kecil. Ia menggosok matanya dengan lelah, lalu berjalan menuju ruangannya. "Kau boleh beristirahat sekarang, Kai. Aku akan masuk ke kamarku." Ia berhenti sejenak di ambang pintu, lalu berbalik, tatapannya sedikit tajam. "Tapi kau jangan sekali-kali berpikir untuk kabur. Mengerti?"

Kai menatap Seraphina dengan ekspresi datar, "Aku tidak akan kabur. Jadi, masuklah." Ia sedikit menggeram, menunjukkan ketidaksukaannya terhadap sikap Seraphina yang sedikit arogan.

Kai menghela napas panjang, kemudian berjalan ke lantai atas menuju kamarnya. Setelah masuk, ia melepas jubahnya dengan gerakan yang pelan dan hati-hati, melipatnya dengan rapi sebelum meletakkannya di sudut kasur. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, menutup matanya dengan tanganya.

Pikirannya melayang. "Sejauh ini, para Hunter bersikap baik padaku, kurasa karena Oracle itu. Aku tidak peduli dengan itu. Tujuan utamaku bergabung dengan Hunter adalah balas dendam." Ia membuka matanya, menatap langit-langit kamar. Sejenak, ia tersenyum getir. "Yah, setidaknya aku tidak meminum darah tikus lagi." Tiba-tiba, ia tersentak, bangun duduk di kasur, memegangi lehernya. "Ngomong-ngomong, aku tidak merasa haus hari ini. Apa karena darah ayam yang diberikan Glaen sebelumnya?" Ia menatap cermin di ruangannya saat ini, memeriksa giginya dengan teliti.

(To be continued).