"Baik semuanya harap tenang, kelas akan segera dimulai." Lilia mengetuk meja dengan buku tebal yang dibawanya, suaranya lantang dan berwibawa. Tatapannya menyapu seluruh ruangan, menunjukkan otoritasnya.
Tatapannya menyapu seluruh ruangan, menunjukkan otoritasnya. "Bagus. Sepertinya semua telah hadir dikelas ini. Sebelumnya sebagai mentor kelas ini, tentu saja harus perkenalan diri bukan? Namaku Lilia Lamprouge, mohon bantuannya untuk satu tahun kedepan." Ia menyelipkan sehelai rambut yang jatuh di wajahnya di balik telinga, lalu mengatur posisi duduknya dengan tenang dan anggun.
"Wah, itu.... Itu... Nona Lilia...!" Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan, matanya berbinar-binar karena tak percaya.
"Kau kenal dengan dia?" Kai menoleh ke arah gadis yang duduk di sebelahnya karena dia menunjukkan ekspresi yang semangat. Gadis itu mengangguk cepat, masih dengan mata berbinar. "Siapapun kenal dia tahu! Dia itu Lilia Lamprouge yang itu kan, Alkemis Hunter, aku tidak menyangka akan berada di kelas yang dimentorinnya." Ia mengepalkan tangannya dengan gembira.
"Begitu ya," sebuah pikiran melintas di benak Kai, "Aku tidak ingin menebak dan sok tau, pasti itu karena si komandan Hunter Glaen itu, tidak cukup dengan Seraphina sekarang Lilia juga." Kai diam sejenak, matanya menatap ke arah Lilia dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Hening. Semua mata tertuju pada Lilia. Ia tersenyum tipis, lalu dengan suara yang jelas dan lantang, memulai penjelasannya, "Seperti yang kalian tau, Akademi Acies adalah tempat yang menerima seseorang yang memiliki potensi menjadi Hunter, dan tentunya Hunter harus memiliki senjata sebagai pacuan mana untuk mengeluarkan sihir. Seraphina Laurent, karena kau sudah berpengalaman, aku harap kau yang menjelaskannya kali ini."
Lilia melirik Seraphina, sebuah anggukan kecil sebagai persetujuan. Seraphina berdiri tegak, menyesuaikan postur tubuhnya, membusungkan dada dengan tenang. "Baik, Mentor Lilia," katanya, suaranya terdengar jelas dan percaya diri.
Suasana kelas sedikit penuh dengan bisikan saat ini, semua siswa terkejut. Beberapa siswa berbisik-bisik, saling bertukar pandang dengan mata melebar.
"Seraphina Laurent, yang itu kan?"
"Oi oi, ada apa yang dilakukan captain Hunter itu di sini."
"Wah aku benar-benar tidak percaya berada di satu kelas dengan Seraphina."
Bisikan dari siswa yang lain mulai terdengar, Seraphina berdiri tegak, bahunya tegap, ia mengatur napas sejenak sebelum mulai menjelaskan dengan suara yang tenang dan percaya diri, mencoba meredam bisikan-bisikan tersebut.
"Seperti yang kita tau, Manusia memiliki Mana namun tidak bisa mengeluarkan sihir secara langsung, oleh karena itu para Hunter akhirnya menemukan cara supaya manusia bisa mengeluarkan sihir dengan menggunakan acuan senjata atau artefak sihir." Seraphina berdiri dari tempat duduknya, merogoh pistol yang berada di sakunya, "Sebagai contoh pistol ini," ucapnya sembari memperlihatkan pistol miliknya.
"Senjata ini bertindak sebagai penghubung antara Mana kita dan kekuatan sihir..." Seraphina mengalirkan Mana ke dalam pistolnya, gerakan tangannya halus dan terampil. Ia menarik pelatuknya dengan mantap, seraya mengucapkan mantra, "Fireball!" Sebuah bola api kecil, berkilauan dan panas, muncul dari moncong pistol. Dengan gerakan cepat dan akurat, Seraphina mengarahkan bola api itu ke papan target di kelas.
"Bagus sekali, Seraphina. Terima kasih atas penjelasan yang jelas dan ringkas. Kau boleh duduk sekarang." Lilia tersenyum, mengangguk kecil sebagai tanda penghargaan. "Karena senjata sangat penting bagi seorang Hunter, pembelajaran pertama kita akan fokus pada pengukuran Mana kalian menggunakan artefak yang dikembangkan dengan alkimia. Artefak ini akan memberikan saran yang tepat untuk memilih senjata yang sesuai dengan kemampuan masing-masing." Lilia menunjuk ke arah meja di depan kelas, di mana beberapa artefak tampak tergeletak rapi.
"Baiklah, aku akan memanggil nama kalian satu persatu. Silakan maju ke depan dan letakkan tangan kalian di atas artefak ini." Lilia mengambil daftar nama dari mejanya, membacanya dengan tenang dan tertib. Ia menunjuk ke arah artefak di atas meja dengan jari telunjuknya, gerakannya lembut dan terukur.
"Sylus Thornwood." Lilia mulai memanggil para siswa, dan seseorang bernama Sylus berdiri dengan tenang, tanpa ragu-ragu. Ia berjalan dengan langkah pasti menuju meja, tatapannya lurus ke depan, menunjukkan kepercayaan diri.
"Silahkan, letakkan tanganmu di atas artefak ini." Lilia menunjuk ke artefak yang tampak dingin dan halus. Sebuah cahaya redup berkedip-kedip di permukaannya.
Siswa bernama Sylus itu meletakkan tangannya di atas artefak. Artefak itu bergetar sedikit, kemudian memancarkan cahaya biru muda yang lembut.
"75 dari 100, Mana yang lumayan besar. Untuk senjatanya kau disarankan menggunakan Crossbow. Apa kau tahu cara menggunakannya?" Lilia mencatat hasil pengukuran dengan cepat dan efisien di buku catatannya, tatapannya tetap tertuju pada artefak.
"Ya Mentor Lilia, karena aku biasa menggunakan itu untuk berburu hewan di hutan."
"Bagus, kalau begitu ini senjata yang cocok untukmu. Silahkan duduk." Lilia mengangguk puas, menunjukkan keahliannya dalam membaca dan menginterpretasi data dari artefak.
Lilia mengecek data siswa untuk memanggil nama selanjutnya, "Selanjutnya, Claire Adler."
"Baik!" Claire, gadis yang duduk di samping Kai itu menjawab, suaranya sedikit gemetar. Ia berdiri, menyesuaikan roknya, lalu berjalan menuju meja dengan langkah yang agak tergesa-gesa, tangannya sedikit gemetar.
Ia meletakkan tangannya di atas artefak itu dan kemudian artefak itu bergetar sedikit, dan memancarkan cahaya keemasan yang menyala terang.
"85 dari 100. Cukup tinggi, Untuk senjatanya," Lilia menatap artefak itu dengan seksama. "Ooh, staf dan tongkat magis!" Lilia tersenyum lebar, matanya berbinar, dan ia sedikit membungkuk ke depan, menunjukkan ketertarikannya. "Wah, kau sepertinya berbakat untuk jadi Alkemis, gadis muda."
Claire tampak terkejut, matanya melebar, menunjukkan kegembiraan dan sedikit ketidakpercayaan. Jika kau berminat menjadi Alkemis, aku akan membimbingmu."
"B-Baik Mentor! Saya akan berusaha memikirkannya." Jawabnya dengan gugup, Claire membungkuk sopan kemudian kembali ke tempat duduknya.
"Kau, lumayan juga." Kai menatap Claire, tatapannya dingin dan misterius, menunjukkan kedalaman emosinya yang tersembunyi.
"fufufu, terimakasih." Claire membalas dengan senyum kecil, menunjukkan rasa terima kasih.
Setelah itu, satu per satu siswa maju ke depan, meletakkan tangan mereka di atas artefak pengukur Mana itu. Lilia dengan cekatan mencatat hasil pengukuran Mana dan memberikan rekomendasi senjata yang sesuai. Prosesnya berulang hingga hanya tersisa beberapa siswa yang belum diuji. Kelelahan tampak sedikit terlihat di wajah Lilia, namun matanya masih berbinar dengan semangat.
"Seraphina Laurent," Lilia memulai, suaranya sedikit ragu-ragu. Ia terdiam sejenak, mengamati Seraphina dengan saksama. Seolah-olah ia melihat sesuatu yang membuatnya bimbang. Kemudian, ia mengetuk-ngetuk meja, tatapannya masih tertuju pada Seraphina. "Apakah kau ingin mengulangi pengukuran ini?"
"Tentu saja mentor. Walaupun aku sudah melakukan ini tahun lalu, jadi tidak ada salahnya mencoba lagi. " Balas Seraphina, ia berdiri kemudian mengaitkan rambutnya ke telinganya dan berjalan ke depan untuk mengecek kembali mana yang dimilikinya.
Artefak itu bergetar sejenak, cahaya putih yang menyilaukan terpancar darinya, lalu meredup. Lilia mengangguk, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya saat ia mencatat hasilnya: "95 dari 100. Mana yang sangat tinggi. Senjata yang direkomendasikan: Revolver Gun. Seperti yang kuduga. Silakan duduk, Seraphina."
"Selanjutnya Brad Finnian."
Brad, dengan langkah percaya diri, maju ke depan kelas. Beberapa siswa berbisik-bisik, mengamati Brad dengan rasa ingin tahu. Lilia tersenyum tipis, tatapannya menyapu seluruh ruangan sebelum kembali tertuju pada Brad. "Jadi kamu, siswa yang menarik perhatian di tes ujian waktu itu?" Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menunjukkan ketertarikannya, "Kalau begitu, silahkan letakkan tanganmu di atas artefak ini."
Brad mengangguk, iapun meletakkan tangannya di atas artefak dan artefak mulai mengukur, tak lama kemudian artefak itu mengeluarkan cahaya kuning keemasan dan menunjukan hasilnya.
"Humu, sesuai yang diharapkan. 95 dari 100. Senjata yang direkomendasikan: pedang. Luar biasa! Tidak kusangka dua tahun berturut-turut ditemukan siswa dengan Mana setinggi ini." Lilia tersenyum, menatap Brad dengan penuh minat.
"Sepertinya kau tahun ini mendapatkan Rival, Seraphina." Seraphina hanya mengangguk pelan, namun matanya memancarkan tekad yang kuat. Ia mengatur napasnya, menunjukkan ketenangan.
"Baiklah, sepertinya ini yang terakhir," kata Lilia, suaranya sedikit lelah namun tetap berwibawa, sambil mencatat sesuatu di buku catatannya. "Kai, sekarang giliranmu."
Kai beranjak dari kursinya, langkahnya tenang namun memancarkan aura misterius, menuju ke depan kelas. Semua siswa memperhatikannya saat ini.
"Letakkan tanganmu di atas artefak ini," ujar Lilia, matanya mengamati Kai dengan seksama.
Kai mengangguk dan meletakkan tangannya di atas artefak. Hening. Lilia terkesiap, menarik napas dalam-dalam. Ia meraih artefak dengan hati-hati, menelitinya dengan saksama. Apakah ada sesuatu yang salah?
"Tidak terdeteksi?" Ucapan Lilia, yang diiringi oleh alisnya yang terangkat tinggi sebagai tanda keterkejutan yang nyata, menimbulkan gelombang kehebohan di kelas. Mendengar itu, bisikan-bisikan kaget langsung memenuhi ruangan. Beberapa siswa bertukar pandang dengan ekspresi tak percaya.
Lilia mendekati Kai, membungkuk sedikit agar bisikannya terdengar jelas, dan berbisik, "Aku tidak tahu alat ini rusak atau dia memang tidak bisa mengukur Mana milikmu, jadi aku anggap sementara alat ini rusak."Kai hanya menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa ekspresi. "Jadi maksudmu aku tidak memiliki Mana?"
Lilia menggeleng pelan. "Aku tidak tahu pasti, tapi alat ini tidak bisa mendeteksi Mana-mu, dan itu menunjukkan kemungkinan kau memang tidak memiliki Mana."
Lilia lantas menoleh, mengubah nada bicaranya menjadi lebih formal. "Baiklah, Kai, kau boleh duduk." Kai mengangguk, langkahnya berat saat kembali ke tempat duduknya. Bisikan-bisikan bercampur aduk terdengar di kelas; ada yang bersimpati, ada yang bergunjing, dan ada pula yang penasaran.
Lilia pun merapikan buku dan alat yang dibawanya, "Sepertinya semua sudah melakukan tes Mana sekarang. Untuk kelas hari ini selesai sampai di sini. Kalian bisa bubar sekarang." Ucapnya dengan tegas, kemudian berjalan keluar meninggalkan kelas.
Suasana kelas mencekam. Keheningan yang tiba-tiba setelah pengumuman Lilia tentang Kai dipecah oleh bisikan-bisikan rendah yang bercampur aduk. Beberapa siswa ada yang sudah keluar dari ruangan kelas dan berbisik dengan penuh rasa ingin tahu, mencoba memahami situasi yang tidak biasa ini. Yang lain berbisik dengan nada simpati, merasakan ketidakadilan yang dialami Kai. Ada juga yang berbisik dengan nada mengejek, menunjukkan sikap tidak percaya dan bahkan merendahkan. Udara di kelas terasa berat, dipenuhi dengan berbagai emosi yang bercampur aduk.
Claire mendekat ke Kai, menarik kursinya agar lebih dekat, dan berbisik, "Dasar, mereka setidaknya tidak menilaimu hanya karena itu. Benar kan?" Ia menatap Kai dengan tatapan pengertian, mencoba meringankan beban yang dirasakan Kai.
"Ah iya, Anu...." Kai menjawab singkat, keningnya berkerut, menunjukkan kebingungan yang nyata. "Claire. Kalau tidak salah kamu Kai kan? Salam kenal ya!" Claire tersenyum ramah, menularkan tangannya untuk bersalaman.
Kai membalas jabat tangan Claire, "Ya, kau juga," balasnya singkat. Claire tersenyum ramah. Di sisi lain, Seraphina memperhatikan mereka berdua dengan tajam. Tidak sengaja, mata Kai bertemu dengan tatapan Seraphina yang tajam. Kai mengangkat alis sedikit, seolah bertanya-tanya apa maksud tatapan Seraphina.
Di laboratoriumnya, Lilia tampak bingung, keningnya berkerut, sambil memeriksa artefak tersebut. "Tidak ada kerusakan, berarti alat ini memang tidak bisa mendeteksi Mana bocah itu," gumamnya, suaranya terdengar frustrasi. Ia bersandar di kursi, menggerutu pelan, "Dasar Glaen, apa rencanamu memasukkan anak ini ke pasukan Hunter?"
(To be continued)