Kai, masih sedikit linglung, mengangguk pelan, mencoba mencerna perubahan sikap Seraphina yang begitu drastis. Dia ingin bertanya, namun ragu. Ini masalah serius.
Kai dan Seraphina menyusuri lorong rahasia yang sempit dan gelap. Suasana tegang, meski Seraphina berusaha mencairkan suasana dengan senyum tipis. Suara langkah kaki mereka bergema di sepanjang lorong. Kai masih memikirkan perubahan sikap Seraphina yang tiba-tiba. Keraguan menggerogoti pikirannya; bertanya terasa berisiko.
"Jangan terlalu tegang, Kai. Acies tidak seburuk yang kau bayangkan. Ya, pelatihannya keras, tapi kau akan bertemu banyak orang hebat di sana, dan kau akan belajar banyak hal yang membantumu," kata Seraphina, senyumnya masih tipis, namun terasa lebih tulus.
Kai hanya mengangguk pelan, matanya mengamati setiap sudut lorong, tangannya diam-diam meraih gagang pedang di bawah jubahnya. Waspada. Dia belum sepenuhnya percaya pada Seraphina, meskipun wanita itu telah membantunya.
"Apakah... apakah ada yang tahu tentang... tentang aku?" tanya Kai, suaranya hampir tak terdengar.
Seraphina berhenti. Tatapannya sulit diartikan. Ekspresinya berubah serius. Dia menghela napas pelan sebelum menjawab. "Untuk saat ini, hanya Komandan, Nona Lilia, dan aku. Jadi, kau bisa tenang selama menggunakan ramuan yang diberikan Nona Lilia."
Kai mengangguk, namun raut wajahnya masih tegang. "Aku sangat paham tentang itu, huh. Maaf jika mengecewakan kalian, tapi aku setuju dengan rencana ini karena pembalasan dendamku. Aku masih tidak yakin dengan orakel atau semacamnya itu." Dia menggigit bibir bawahnya, menunjukkan keraguannya.
Tak lama kemudian, mereka tiba di gerbang utama Akademi Acies. Bangunan megah itu terbuat dari batu kokoh, dihiasi ukiran rumit. Suasana lebih hidup dan ramai dibanding lorong tadi. Para Hunter berlalu-lalang, berlatih, atau berdiskusi.
Kai melangkah masuk ke Akademi Acies, Seraphina di sampingnya. Dia terkesima oleh keramaian. Para Hunter berlatih dengan senjata, beberapa berlatih sihir, juga ada beberapa yang terlihat sedang bereksperimen dengan Alkimia.
"Tidak hanya Alkimia, tapi sihir juga?"Gumam Kai sembari berjalan, matanya melirik ke kanan kiri mengamati sekelilingnya. Alisnya terangkat tinggi, menunjukkan keterkejutannya.
"Kamu tahu tentang sihir? Ah, aku bodoh sekali menanyakan ini. Aku hampir lupa kau adalah setengah vampir, jadi tidak mungkin—" Seraphina terpotong, menutup mulutnya dengan tangan, seolah menyesali kecerobohannya. Dia melirik Kai dengan ekspresi khawatir.
"Tidak..." Kai menggelengkan kepalanya pelan, matanya melebar tak percaya. Ekspresinya bercampur aduk antara keterkejutan, kebingungan, dan sedikit kecewa. "...aku tidak tahu cara menggunakan sihir. Aku tahu tentang sihir karena melihat bawahan Alfred dan ketika vampir menyerang desa dulu. Di sana, aku melihat manusia menggunakan sihir... dan andai saja waktu itu aku bisa menggunakan sihir..." Kai mengepalkan tangannya, jari-jarinya memutih karena tekanan. Kepalanya sedikit menunduk, seolah terbebani oleh penyesalan.
"Kai, maaf mematahkan harapanmu, tapi manusia memang punya mana. Namun, mereka menggunakan sihir melalui artefak, tidak seperti vampir yang bisa menguasai sihir tanpa artefak." Seraphina menatap tajam Kai, kemudian memejamkan matanya sejenak, "Jadi apapun yang kau lakukan di masa lalu itu tidak benar, dan juga tidak salah."
"Ya, kau benar. Tidak ada gunanya meratapi masa lalu. Sekarang yang harus kulakukan adalah... balas dendam," Kai mengepalkan tangannya, jari-jarinya memutih karena tekanan. Tatapannya tajam, menunjukkan tekad yang kuat.
"Oh ya, Seraphina, apa kau juga bisa menggunakan sihir?" Kai bertanya, matanya masih menunjukkan tekad, tapi juga rasa ingin tahu.
"Ah ya, tentu," Seraphina tersenyum tipis, menarik napas dalam-dalam. Ia mengeluarkan sebuah artefak berbentuk pistol dari sakunya, menunjukkannya pada Kai. "Aku menggunakan artefak ini. Terlihat seperti pistol, bukan?"
"Ah, pistol yang itu," Kai mengangguk, mengingat artefak yang pernah dilihatnya sebelumnya.
"Benar sekali," Seraphina mengacungkan pistol itu, sebuah cahaya redup muncul di ujung laras. "Sederhananya, aku mengalirkan mana sebagai 'peluru' dan mengubahnya menjadi sihir melalui pistol ini."
Kai mengamati pistol itu dengan saksama, mencoba untuk memahami cara kerjanya. Ia mengangguk perlahan, menunjukkan pemahamannya.
"Yah, nanti kau juga akan paham sendiri," Seraphina memasukkan kembali pistol itu ke dalam sakunya.
"Oh ya, untuk menjadi siswa di sini, bagaimana? Apa aku perlu mengikuti tes semacamnya?" Kai bertanya, suaranya terdengar sedikit ragu-ragu.
"Yah, normalnya begitu," Seraphina tersenyum kecil, menatap Kai dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Tapi karena kau masuk karena rekomendasi Komandan, jadi kau bisa masuk tanpa tes, dan untuk berkas pendaftaranmu, sudah diurus Komandan sebelum kau bertemu dengannya."
Kai terdiam sesaat, menatap Seraphina dengan tatapan yang tajam. Ia menyadari sesuatu. "Ternyata kalian benar-benar berniat memanfaatkanku, ya." Suaranya datar, tanpa emosi.
Seraphina terkekeh pelan, suaranya terdengar seperti tawa jahat. "Fufufu, Kai lebih cerdas dari yang kuduga." Ia menatap Kai dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah menyimpan rahasia yang lebih dalam. Mereka berhenti di depan pintu sebuah kelas yang cukup besar, terlihat Lilia saat ini menunggu mereka dengan tatapan yang tajam.
"Kalian berdua terlambat." ujarnya, nada suaranya datar. Lilia menyilangkan tangan di dada, menunggu penjelasan.
Kai sontak terkejut sebentar, bola matanya mengecil lalu tangannya menunjuk ke arah Lilia, "Kau kan, yang ada di ruangan itu tadi?" Tanyanya serius, "Tunggu berdua, berarti Seraphina juga akan berada di kelas ini?"
Lilia menyilangkan tangannya di dada. "Lilia. Setidaknya kau ingat namaku. Selama kau berada di kelasku, ingat itu." Ia menatap tajam Kai dengan iris biru di matanya. "Benar, karena Seraphina ditugaskan mengawasi mu jadi dia akan berada di kelas ini, dan juga." Lilia melirik Seraphina, senyum tipis terukir di bibirnya. "Anggap saja ini pengulangan dari semester yang lalu."
"Mengulang semester? Oi, Seraphina jangan-jangan kau...?" Kai tampak terkejut, matanya membulat.
"Aku tidak seperti yang ada di pikiranmu tau, malahan sebaiknya. Aku dibolehkan tidak ikut semester karena perlakuan khusus." Seraphina tersenyum sinis. "Dan, ini juga alibi untuk mengawasimu, Kai." Ia menaikkan sebelah alisnya, menantang.
"Aku paham dengan pengawasan itu, tapi aku tidak ingin menonjol dengan terlihat dekat dengan murid populer seperti mu." Kai menunjuk Seraphina dengan jari telunjuknya, matanya menyipit tajam. Ia sedikit maju, mendekatkan dirinya pada Seraphina.
"Oh Kai, ternyata kau tau itu...~" Seraphina terkekeh pelan, matanya berbinar-binar. Ia mencondongkan tubuh, seolah ingin berbisik.
"Itu terlihat jelas tau, selama perjalanan ini. Semua orang menatap ke arahmu. Siapun pasti tau kalau kau itu murid populer." Kai mendekati Seraphina, menatapnya dengan tatapan tajam dan penuh arti. Ia menunjuk-nunjuk Seraphina dengan jari telunjuknya, menunjukkan sedikit rasa kesal.
"Sudah, kalian berdua," Lilia menghela napas panjang, mengelap keringat di dahinya dengan punggung tangan. "Huh. Kelas akan segera dimulai, jadi..." Lilia menatap Kai dari atas hingga bawah, alisnya terangkat sedikit, seakan menilai. "Oh aku lupa kau belum punya seragam. Untuk saat ini tidak apa-apa menggunakan jubah itu, tapi selanjutnya pakai seragammu." Lilia membelakangi mereka berdua dan masuk ke dalam kelas.
"Kai, untuk seragam, karena kau masuk dengan mendadak, jadi seragammu mungkin akan dikirim besok." Dia tersenyum, lalu melirik ke arah pintu kelas yang mulai ramai. Baru selangkah kakinya masuk ke dalam kelas, ia langsung menarik perhatian beberapa siswa yang langsung berbisik-bisik, kemudian menoleh ke arah Kai sejenak, "Kai, kamu tidak ingin masuk?"
"Aku akan masuk melewati pintu yang satunya. Akan terlihat mencurigakan jika berjalan bersamamu." Kai berbalik dan berjalan langsung menuju pintu belakang tanpa kata lagi. Ia tampak dingin dan acuh tak acuh terhadap Seraphina.
"Aha... Apa kau tidak sebegitu maunya dekat denganku?" Dia melangkah mendekati Kai, memberikan senyum nakal sambil menyentuh lengan Kai dengan lembut, seolah ingin meyakinkannya.
"Berisik! Sana cepat masuk, aku akan menyusul nanti!" Kai mengangguk singkat kepada Seraphina, lalu berjalan dengan tenang dan mantap menuju pintu belakang. Ia tidak menoleh ke belakang.
Kai masuk ke dalam kelas, mencoba untuk masuk dengan tenang. Seperti yang diharapkan, banyak mata tertuju pada Seraphina—sesuai rencana. Namun, tujuan Kai untuk tidak mencolok sirna seketika. Seraphina, dengan sengaja, menoleh ke arahnya, tersenyum sembari melambaikan tangan. Gerakan tangannya anggun, tetapi senyumnya sedikit mengejek. Mata Kai tak sengaja bertemu dengannya.
Kai menggeram pelan di dalam hati, tangannya mengepal erat di bawah jubah. "Dia mendengar perkataan ku tidak sih?" gumamnya, wajahnya memerah menahan amarah.
Seketika, tatapan satu kelas beralih ke arah Kai. Ia merasa seperti berada di bawah sorotan lampu panggung, semua mata menatapnya dengan rasa ingin tahu dan sedikit mengejek.
"Dia siapa ya? Kenapa bisa Nona Seraphina tersenyum kepada pria itu?" Ucap seseorang sembari berbisik kepada temannya, menatap Kai dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.
"Hei, apa kau pernah melihatnya di ujian masuk?" Orang berbeda kali ini mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat wajah Kai.
"Apa-apaan itu? Kenapa dia menggunakan jubah yang sangat jelek itu?" Siswa ini tertawa kecil, menunjukkan rasa jijik terhadap jubah yang dikenakan Kai. Ia menunjuk-nunjuk Kai dengan jari telunjuknya, menarik perhatian siswa lain.
Semua bisikan itu terdengar oleh Kai, dia mengabaikan perkataannya sembari melirik ke luar melalui jendela. Tiba-tiba, terdengar suara tarikan kursi di sebelah Kai. Ia tersentak kaget, lalu menoleh dengan cepat. Seorang wanita berambut biru, dengan mata yang selaras dengan warna rambutnya, tersenyum lembut padanya.
"Aku, boleh duduk di sini, kan?" Wanita itu bertanya dengan suara lembut, matanya bersinar ramah.
Kai melirik dari atas sampai ke bawah, menilai wanita itu dengan tatapan tajam. "Terserah kau saja," jawabnya singkat, suaranya datar tanpa ekspresi.
"Ngomong-ngomong, siapa namamu? Oh iya, namaku Cl—..." Belum sempat gadis itu memperkenalkan diri sepenuhnya, Lilia memasuki ruangan kelas. Ia berjalan dengan langkah cepat dan mantap, membawa setumpuk buku yang cukup tebal di kedua tangannya. Buku-buku itu sedikit bergeser, hampir jatuh, tetapi Lilia berhasil memegangnya dengan kuat.
"Baik semuanya harap tenang, kelas akan segera dimulai." Lilia mengetuk meja dengan buku tebal yang dibawanya, suaranya lantang dan berwibawa. Tatapannya menyapu seluruh ruangan, menunjukkan otoritasnya.
(To be continued)