"Jadi, bagaimana kalau kita melanjutkan pembahasan yang tertunda?" Glaen bertanya, sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, tatapannya tajam dan penuh keyakinan. "Maaf Seraphina, ini sepertinya menjadi pembicaraanku dengan anak ini, jadi untuk sekarang bisakah kamu menunggu diluar?"
"Baik, komandan. Kalau begitu saya permisi." Seraphina membungkuk sedikit, gerakannya anggun dan penuh hormat, sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah tenang dan pasti.
Kai berusaha berdiri, tangannya yang terluka karena gigitan sendiri perlahan mulai menutup sendiri, Glaen mengerutkan dahinya, "Jadi, siapa namamu?"
"Kai, hanya Kai." Kai menjawab dengan suara serak, namun suaranya tegas, menunjukkan tekadnya.
"Baiklah, Kai. Sejauh mana yang kau tahu soal Hunter?" Glaen berdiri membelakangi Kai, menunggu respon darinya
"Tidak banyak, namun aku pernah mendengar dari bawahan Alfred, Hunter itu organisasi manusia yang memburu para vampir." Kai menjawab dengan tenang, namun dengan tatapan lurus ke mata Glaen, suaranya menunjukkan keyakinan diri yang tersirat.
"Jadi apa kau paham maksudnya itu?" Glaen kembali menatap Kai, kemudian menaikkan sebelah alisnya, sedikit terkesan dengan kepercayaan diri Kai yang baru.
"Ya." Kai menjawab dengan tegas, posturnya tegak dan mantap. Dia menatap Glaen dengan tatapan menantang, menunjukkan keyakinannya pada dirinya sendiri. Glaen menggelengkan kepalanya, "Huh." Dia menghela nafasnya, gerakan tangannya lincah saat membuka kotak rokok perak kecilnya, jari-jari lentiknya mengambil sebatang rokok dan menyalakannya dengan korek api emas yang berkilauan.
"Sepertinya, kau tidak tau apa-apa ya. Apa kau tau tentang orakel?" Asap rokok mengepul di sekitar wajah Glaen, menutupi sebagian ekspresinya, namun suaranya tetap terdengar dingin dan menilai.
"Tidak..., emangnya apa itu?" Kai mengerutkan dahi, tangannya terkepal ringan, menunjukkan sedikit keraguan namun tetap mempertahankan posturnya yang tegak.
"Sudah kuduga kau tidak tau apa-apa, Kai. Apa kau ingat apa yang dilakukan vampir itu setelah mengubahmu menjadi vampir?" Glaen mengambil sepucuk rokok, memasukkannya ke mulutnya, dan menghirupnya dalam-dalam, matanya tetap tertuju pada Kai.
"Dia tidak mengubahku, ini terjadi karena kebodohanku." Kai menjawab dengan suara rendah, menunduk sejenak, lalu mengangkat kepalanya kembali, matanya menunjukkan penyesalan.
"Apa?" Glaen mengerutkan ldahi, dia menjatuhkan rokoknya kemudian menginjak rokok itu.
"Waktu itu ketika aku pulang kerumah, dan melihat keluargaku telah dihabisi oleh vampir itu. Aku kehilangan akal kemudian mengigit kakinya, lalu darahnya tidak sengaja masuk ke tubuhku." Kai menceritakan kisahnya dengan suara yang sedikit gemetar, namun tetap berusaha untuk tenang, tangannya mengepal erat, menunjukkan emosinya yang terpendam.
Glaen menghela nafasnya, dia menarik rambutnya ke atas kemudian menatap Kai dengan tajam, "Jadi biar kutebak, awalnya vampir itu ingin menghisapmu juga namun karena kebodohanmu. Kau jadi dibiarkan hidup dan membawa mu ke markas selatan itu?" Dia menyilangkan kedua tangannya.
"Eh bagaimana kau bisa mengetahui itu?"Kai bertanya, alisnya terangkat sedikit, tubuhnya sedikit condong ke depan, menunjukkan rasa ingin tahunya yang meningkat. Tangannya tanpa sadar mengepal, memperlihatkan sedikit ketegangan.
"Itu sangat mudah ditebak, bodoh, karena orakel itu." Glaen berkata dengan nada meremehkan, menunjuk ke dada Kai dengan jari telunjuknya yang panjang dan ramping, "Sepertinya kau tidak tau apa-apa, baiklah aku akan memberitahumu." Glaen bersandar ke dinding disampingnya, tatapannya berubah menjadi serius, menunjukkan kesiapannya untuk menjelaskan.
Beberapa ratus tahun yang lalu, konon katanya karena kekuasaan vampir yang merajalela, dia menghabisi semua ras non human tanpa tersisa sedikitpun, dan para ras manusia dibiarkan hidup karena menjadi sumber energi bagi mereka, mau tidak mau ketika itu manusia hidup sebagai ternak oleh vampir.
Namun, sebuah harapan muncul: sebuah ramalan orakel yang memprediksi kehancuran kaum vampir di masa depan, di tangan sesama mereka sendiri. Meskipun vampir menganggapnya sebagai ancaman biasa, ramalan ini menyulut api harapan bagi manusia. Didorong oleh ramalan itu, manusia mulai mengembangkan alkimia dan metode pelatihan khusus, berusaha mempelajari kelemahan vampir, mencari secercah harapan di tengah keputusasaan.
Tentu saja, vampir mengabaikan upaya manusia. Mereka yakin, bagaimanapun kerasnya manusia berusaha, itu semua sia-sia. Namun, ramalan orakel tetap menghantui mereka. Demi mengamankan diri, kaum vampir bersumpah untuk tidak saling menyerang, berharap untuk membuktikan bahwa ramalan itu hanyalah omong kosong belaka.
Sumpah itu bertahan selama beberapa generasi, menciptakan keseimbangan yang rapuh antara manusia dan vampir. Manusia terus mengembangkan kemampuan mereka, sementara vampir menikmati kekuasaan mereka, tetapi selalu waspada terhadap ancaman dari dalam. Generasi demi generasi, perjuangan manusia melawan vampir berlangsung dalam bayang-bayang, diselingi oleh periode gencatan senjata yang rapuh dan serangan-serangan kecil yang dilakukan secara diam-diam dan pada saat itulah Hunter dibentuk, Kemajuan alkimia manusia terus berlanjut, menciptakan senjata dan taktik baru untuk melawan vampir. lalu membangun akademi pelatihan menjadi pemburu vampir.
"Dari sini, apakah kau paham maksudnya?" Glaen menyilangkan tangannya di dada, tatapannya tajam dan menusuk, menunggu jawaban Kai dengan sabar namun penuh tekanan.
"Ya. Itulah kenapa vampir itu tidak membunuhku karena darahnya sudah masuk ke tubuhku dan mereka menganggap ku adalah bagian dari mereka." Kai menjawab dengan suara pelan, menunduk sedikit, menunjukkan sedikit keraguan.
"Jujur saja. Jika aku jadi kau, maka aku akan menikmati itu. Bukankah itu hal bagus? Mengingat diriku menjadi semakin kuat dari sebelumnya," Glaen tersenyum tipis meremehkan, senyum yang tidak sampai ke matanya.
Mendengar itu, mata Kai melebar. Spontan, ia menyerbu Glaen. Tubuhnya bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan, tangannya mengepal membentuk pukulan yang kuat. Glaen dengan mudah menghindar, gerakannya begitu cepat dan tepat. Ia bahkan tak perlu bergeser jauh dari kursinya. Dengan tenang, Glaen mengeluarkan pistol—senjata yang tampak elegan dan mematikan—lalu menembak kaki Kai. Badan Kai menjadi kaku sepenuhnya.
"Kau terlalu naif," Glaen berkata, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Percuma saja mencoba berdiri; peluru yang baru saja kutembakan itu memiliki efek kelumpuhan sementara. Kau tak akan bisa bergerak beberapa menit." Glaen mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya tetap dingin dan menilai, mengamati reaksi Kai.
"Jadi, kutanya sekali lagi. Apa kau serius ingin membalaskan dendammu itu, atau menikmati sisa hidupmu sebagai vampir? Karena kau sudah berada di sini, itu sudah tidak mungkin lagi." Glaen bertanya dengan tatapan tajam, sembari mengacungkan pistol tepat di pelipis Kai. Jari-jarinya, yang memegang pistol, bergetar sedikit—bukan karena gugup, melainkan karena ia sedang menikmati momen ini.
"Ya, aku masih berpegang teguh pada pembalasanku, setidaknya. Sebagai menghilangkan penyesalan di hari itu," jawab Kai, suaranya bergetar, namun tetap menunjukkan tekad. Ia berusaha untuk tetap tegak, meski kakinya terasa nyeri.
Glaen tersenyum kekeh, kemudian tertawa terbahak-bahak sejenak. Ia menarik kembali pistolnya. Tertawanya menggema di ruangan, menunjukkan betapa ia menikmati situasi ini. "Kau sangat menarik, anak muda. Ini jawaban yang ku tunggu." Ucapnya sembari memasukan kembali pistol kedalam jas miliknya.
"Terus terang saja, Seraphina membawamu ke sini dengan tujuan untuk memanfaatkanmu. Karena orakel itu memiliki harapan, dan dari laporan Seraphina, kau ingin membalaskan dendam keluargamu, kan?" Glaen mengulurkan tangannya kepada Kai, "sampai kapan kau mau tiduran seperti itu, efeknya udah hilang loh?"
Kai meraih tangan Glaen, "Tidak masalah, asalkan kalian membantuku untuk bisa mengalahkan para vampir itu." Kai menjawab dengan suara yang masih sedikit lemah, namun tekadnya terlihat jelas di matanya.
"Entah mengapa mendengar ini dari seorang vampir sepertimu rasanya sangat mustahil," Glaen berkata, mengangkat sebelah alisnya, menunjukkan keraguan yang terselubung.
"Baiklah, pertama-tama kita harus menyamarkan mata dan taringmu ini." Glaen tersenyum tipis, "Aku tau kau sudah datang Lilia." Ucapnya dengan suara lantang.
Di depan pintu, terbuka saat ini terlihat seorang gadis berdiri disana, dia memiliki rambut Ia memiliki rambut cokelat panjang yang terurai dan mata merah muda yang tajam. Wanita itu mengenakan jubah panjang berwarna ungu tua, menunjukkan profesinya sebagai seorang alkemis.
"Aku sudah menduga sesuatu akan terjadi ketika kau meminta untuk membuat ini, tapi aku tidak menyangka kau mengajak seorang vampir untuk bergabung menjadi Hunter." Lilia berkata, suaranya terdengar sedikit heran, namun tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah Kai, matanya menunjukkan sedikit rasa was-was.
Glaen terkekeh pelan, menggerakkan cerutunya di antara jarinya. "Kau terlalu lugu, Lilia. Dunia ini jauh lebih rumit daripada yang kau bayangkan. Kadang, kita perlu bekerja sama dengan musuh untuk mengalahkan musuh yang lebih besar." Ia menatap Kai dengan tatapan yang penuh makna, seolah-olah sedang menilai seberapa besar potensi yang dimiliki oleh Kai. "Lagipula, dia memiliki kemampuan yang sangat berguna bagi kita."
(To be continued)