Hari mulai berganti, jendela terbuka membuat cahaya matahari masuk ke ruangan Kai. "Cahaya?" Kai menyipit kan matanya, lalu Perlahanan ia membuka matanya, dan bangun dari tidurnya.
"Ternyata kabur dari ruangan itu bukan mimpi," Kai menundukkan badannya, pandangannya ke arah telapak tangannya terbuka menandakan dia masih tidak percaya dengan apa yang telah dialaminya sekarang.
Ketukan pintu terdengar, Kai yang masih terpaku dengan pikirannya sedikit terkejut mendengar ketukan itu. Dia mengambil jubah yang dikenakannya dengan niat menutupi mata merahnya, lalu berdiri dari tempat tidurnya membuka kan pintu ruangan, terlihat seorang gadis berambut cokelat berdiri di ambang pintu, senyum lembut terukir di wajahnya. Ia memegang sebuah nampan kecil berisi air hangat dan handuk. Dari postur tubuhnya dia terlihat seperti seorang anak berusia 10 tahun.
"Selamat pagi," sapa gadis itu, suaranya lembut. "Namaku Lilie. Kak Seraphina memberitahuku soal dirimu dan memintaku untuk membantumu." Lilie melangkah masuk, meletakkan nampan di meja dengan cekatan.
Kai sentak terdiam mendengar itu dari Lilie, dia ingin berbicara, namun entah kenapa suaranya tidak bisa keluar saat ini. Disisi lain, setelah meletakkan nampan berisi air itu, dia berbalik kemudian menatap Kai.
"Kak Seraphina mengatakan kalau gigi bungsumu baru saja hilang kan?, aku mengerti beberapa hari yang lalu gigi bungsuku juga hilang. Rasanya tidak ingin berbicara seharian. Saat membuka mulut saja rasanya ya sudah sakit." Lilie mengangkat tangannya, menunjuk ke arah pipinya dengan jari telunjuk, seolah menggambarkan rasa sakit yang dialaminya.
Kai merasa lega. Seraphina tidak mengatakan apapun tentang dirinya seorang vampir. Dilihat dari manapun, Lilie masih kecil. Diberi penjelasan ini saja mungkin dia langsung mengerti, jika Kai membuka mulutnya, maka taringnya akan terlihat jelas.
"Aku sudah membawakan air hangat untukmu, cuci mukamu dengan ini ya." Lilie menunjuk ke arah nampan di meja, lalu mundur selangkah, mengamati Kai sambil menunggu respon.
Kai hanya mengangguk, Lilie tersenyum, "Baiklah, kalau begitu aku permisi ya." Dia membungkuk sopan, kemudian meninggalkan ruangan Kai.
Kai kembali membuka tudung jubahnya, dia menghela nafas sejenak. Mengambil handuk dan menyelupkannya ke air hangat di nampan lalu menggosok mukanya dengan handuk lalu menatap cermin.
"Ini kedua kalinya aku menatap mata ini setelah kejadian itu," gumamnya, jari-jarinya menyentuh cermin, seolah ingin menyentuh bayangannya sendiri. Dia kembali menghela nafas, "Sebaiknya aku menenangkan pikiranku, Dia berjalan keluar dari ruangannya, menuruni tangga.
Di lantai bawah terlihat Seraphina sedang berdiri di depan meja resepsionis, dia melihat Kai yang berada di lantai atas lalu menyapanya, "Kai, Selamat pagi." Kai hanya menjawab lambaian tangan, karena tidak mungkin dia membuka mulutnya saat ini, diapun bergegas turun dan menemui Seraphina.
Seraphina melangkah mendekat, tatapannya penuh perhatian, "Selamat pagi, bagaimana tidurmu? Bagaimana pakaiannya? Aku tidak tau ukuran yang sesuai untukmu, hanya menyuruh mereka menyiapkan pakaian untuk pria berusia 16 tahun jadi....." Seraphina menatap Kai dengan ekspresi penasaran
Kai mengangguk kecil, mencoba tersenyum, "Lumayan nyaman, ruangannya hangat. Lalu, terimakasih untuk pakaiannya. Itu sangat nyaman dipakai." Ia menatap mata Seraphina, menunjukkan rasa terima kasihnya.
Seraphina menatap Kai dengan ekspresi yang sulit diartikan. Alisnya sedikit terangkat, menunjukkan sedikit kekhawatiran. "Kai, Komandan ingin bertemu denganmu." Ia memperhatikan ekspresi ragu-ragu Kai, jari-jarinya memainkan ujung rambutnya. "Jangan khawatir," ujarnya meyakinkan, sambil meletakkan tangannya sebentar di lengan Kai, "aku yang bertanggung jawab membawamu ke sini, jadi aku akan menjagamu."
Kai mengangguk perlahan, matanya masih menunjukkan keraguan. "Baiklah, aku akan menemuinya. Sejak awal kau membawaku, aku sudah menduga ini akan terjadi." Ia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya.
Seraphina tersenyum tipis, "Ahaha, maaf ya. Baiklah, ikuti aku!" Ia berbalik dan mulai berjalan, langkahnya cepat dan mantap. Mereka keluar dari penginapan dan Kai mengikuti Seraphina dari belakang. Kai menoleh kiri-kanan mengamati suasana kota Narnia.
Tidak lama berjalan, mereka telah sampai di markas Hunter kota Narnia, Seraphina membuka pintu menggunakan kode, dan memasuki pintu tersebut. Setelah itu, Mereka berjalan melalui koridor yang gelap dan sunyi. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar. Suasana tegang terasa mencekam. Sesekali, Seraphina melirik ke belakang, memastikan Kai masih mengikutinya. Keheningan itu semakin menegangkan.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah ruangan besar, pintu besi berat terbuka sedikit, mengungkapkan sosok Komandan Glaen yang duduk di kursi besar, wajahnya serius. Namun, Kai lebih terkejut dengan perubahan sikap Seraphina. Saat ia berdiri di ambang pintu, keanggunan dan kelembutannya sirna. Ia berdiri tegak, posturnya berubah menjadi tegas dan berwibawa, tatapannya tajam dan memerintah. Ia bukan lagi Seraphina yang lembut yang membawanya ke sini.
"Komandan," Seraphina berkata dengan suara yang lebih rendah dan lebih dalam dari biasanya, suaranya terdengar berwibawa dan sedikit dingin. "Saya telah membawanya seperti yang Anda perintahkan." Ia membiarkan Kai berdiri di belakangnya, seakan menempatkannya dalam posisi yang lebih rendah.
Kai terkesiap. Perubahan sikap Seraphina membuatnya terkejut. Ia tidak menyangka perubahan itu begitu drastis. Ia merasa seolah-olah telah dibawa ke dalam permainan yang lebih besar dan lebih berbahaya dari yang ia duga. Ia melirik Seraphina, mencoba memahami apa yang terjadi, tetapi wajah Seraphina tetap datar dan ekspresi sulit diartikan.
Glaen berdiri dari kursinya, langkahnya tenang namun penuh ancaman. Ia mendekati Kai, bayangannya menyelimuti Kai, menciptakan suasana tegang. Dengan gerakan cepat dan tepat, ia membuka tudung jubah Kai, jari-jarinya menyentuh pipi Kai dengan sentuhan dingin. Tatapan Glaen tertuju pada mata merah Kai, "Mata merah ini...!" suaranya berbisik, namun penuh dengan arti. Kai merasakan hawa dingin yang menusuk tulang punggungnya.
Sebelum Kai sempat bereaksi, Glaen sudah mencengkeram rahangnya dengan kuat, jari-jarinya menekan dengan keras. Mulut Kai terbuka paksa, menunjukkan deretan taring yang tajam. "Taring, huh... Tidak salah lagi." Kai terkejut dan tidak berdaya, ia mencoba melawan, tetapi cengkeraman Glaen terlalu kuat. Bola matanya mengecil, karena terkejut dan takut. Ia merasakan sakit yang menusuk di rahangnya, namun lebih dari itu, ia merasakan rasa takut yang luar biasa.
Glaen melepaskan cengkeramannya dari rahang Kai, setelah lepas dari cengkraman Glaen, Kai batuk dikarenakan pernafasan tidak stabil sebelumnya. Glaen tetap mengamati Kai dengan curiga. Ia menoleh ke Seraphina, alisnya terangkat sedikit, menunjukkan keraguan.
"Seraphina," suaranya terdengar sedikit curiga, "kapan terakhir kali dia meminum darah?" Tanyanya. Seraphina berdiri tegak, tatapannya lurus ke depan, menunjukkan sikap profesional dan tenang. "Sesuai dengan laporan komandan," ujarnya dengan suara tenang dan datar, "kemarin. Itupun darah hewan." Ia tidak menunjukkan sedikit pun emosi.
"Hoo..." Glaen terkekeh, "Apa kau masih bisa bertahan dengan ini?" dia merogoh sakunya dan mengeluarkan pisau kecil dari sakunya. Dia pun melukai tangannya sendiri dengan pisau itu, sehingga membuat darahnya menetes ke lantai.
Pandangannya terpaku pada Glaen, sosok tinggi tegap yang berdiri di hadapannya, cahaya redup menerpa wajahnya yang tampak tenang namun menyimpan ancaman. Mata Kai melebar, refleks tubuhnya yang tak terkendali. Air liur menggantung di sudut bibirnya, menetes perlahan ke tanah berdebu. Sensasi aneh menjalar di rahangnya; taring-taringnya yang tajam terasa memanjang, mendesak keluar dari bibir yang gemetar. Sebelum akal sehat mampu mengendalikannya, tubuhnya bergerak sendiri, didorong oleh insting buas yang tak tertahankan. Serangan pertama diluncurkan, sebuah serangan liar dan tanpa strategi.
"Hanya ini saja kau mampu menahannya, huh?" Suara Glaen terdengar jauh, seperti bisikan angin malam yang bergema di lembah sunyi. Kai merasakan sentuhan dingin pedang Glaen membentur pergelangan tangannya, getaran tajam menjalar hingga ke tulang sumsum. Tubuhnya tersentak, kesadarannya mulai melayang seperti debu yang tertiup angin.
Ia berusaha melawan, menahan gelombang dorongan liar yang menguasai tubuhnya, mencoba untuk mengendalikan gerakan-gerakan yang terasa asing dan tak terkendali. "Sial!" Umpatan tertahan di tenggorokannya, suara serak dan parau. Nafsu membutakan penglihatannya, membuatnya kembali menyerang, tetapi Glaen dengan mudah menangkis setiap serangannya, gerakannya begitu lincah dan tepat. Pedang Glaen menari-nari di udara, menciptakan kilatan cahaya yang menyilaukan.
"Oi, Seraphina. Sepertinya laporanmu kali ini tidak benar," Glaen berkata, suaranya terdengar samar, seperti suara dari mimpi yang hampir sirna. Kesadaran Kai semakin menjauh, dunia di sekitarnya mulai memudar.
Serangan Glaen semakin cepat, tetapi setiap serangannya terasa seperti pukulan kapas. Kai masih bisa merasakannya, tapi rasanya seperti ia hanya penonton dalam tubuhnya sendiri. Ia mencoba menangkis, menyerang, tapi gerakan-gerakan itu terasa lamban, tak terkendali.
Pandangan Kai mulai kabur, seolah-olah dunia diselimuti kabut tebal. Satu-satunya yang masih terlihat jelas adalah senyum Glaen yang semakin mengejek. Kegelapan mengancam, menelan kesadarannya sedikit demi sedikit. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, Kai melakukan sesuatu yang irasional, sesuatu yang bodoh, tapi mungkin satu-satunya cara untuk bertahan. Ia menggigit tangannya sendiri, sekuat tenaga. Walaupun sesaat ia merasa ini bisa mengembalikan kesadarannya.
Kai menatap Glaen dengan nafas yang terengah-engah.Glaen terkekeh, senyum puas mengembang di wajahnya. Dengan gerakan lihai, ia mengembalikan pedang ke sarungnya di pinggang. Langkahnya tenang, terukur, saat ia mendekati Kai.
"Reaksi yang menarik," Glaen berkata, suaranya terdengar rendah dan beresonansi. "Aku tidak menyangka kau mengigit dirimu sendiri untuk menahan kesadaranmu." Ia berhenti beberapa langkah dari Kai, mengamati setiap gerakan kecil tubuh Kai.
Kai mengerang, lidahnya menjulur keluar, membersihkan darah yang mengering di sudut bibirnya. Tangannya mengepal, urat-urat di lengannya menegang. "Aku juga sedikit terkejut," desis Kai, suaranya serak. "Tidak kusangka kau melukai dirimu sendiri untuk memancingku." Ia berusaha bangkit, tapi tubuhnya masih terasa berat, kakinya gemetar.
Glaen merogoh saku mantelnya, jari-jarinya menyentuh sesuatu yang dingin dan licin di dalam. Ia mengeluarkan sebuah botol kecil, berisi cairan merah pekat, dan menyodorkannya kepada Kai. "Ini."
Kai masih terduduk, napasnya tersengal-sengal, tatapannya kosong. Ia hanya menatap botol itu tanpa reaksi. Glaen mengerutkan dahi, kemudian berkata dengan nada sedikit meremehkan, "Tenang saja, ini darah ayam. Dari laporan Seraphina, selama ini kau menenangkan nafsumu dengan darah hewan. Yah, setidaknya ini lebih bagus daripada darah tikus, kan?" Glaen menyeringai, senyumnya penuh ejekan. Ia menaikkan sebelah alisnya.
Dengan tangan gemetar, Kai mengambil botol itu dari Glaen. Ia membuka tutup botol itu dengan hati-hati, lalu meneguk isinya perlahan. Seiring cairan merah itu mengalir di kerongkongannya, tatapan matanya yang semula liar mulai menenangkan. Taringnya, yang sebelumnya menonjol, perlahan surut masuk ke dalam mulutnya.
"Jadi, bagaimana kalau kita melanjutkan pembahasan yang tertunda?" Glaen bertanya, sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, tatapannya tajam dan penuh keyakinan.
( To be continued)