"Aku bercanda, bodoh! Untungnya aku punya ramuan itu." Ia tertawa kecil, menunjukkan bahwa ia hanya bercanda.
Kai hanya terdiam mendengar ocehan Seraphina, suasana tiba-tiba canggung. "Rambutmu itu...," Seraphina memulai, sedikit ragu-ragu, jari-jarinya menyentuh untaian rambut panjang Kai yang jatuh di bahunya.
Kai terkejut kemudian memalingkan wajahnya sembari memelintir rambut panjangnya, "Oh iya, aku bahkan tidak sadar rambutku sudah sepanjang ini. Aku bahkan lupa muka ku sendiri bagaimana..." Gumam Kai. Seraphina, tanpa berkata apa-apa, dengan cepat mengambil gunting kecil dari tasnya.
Kai sedikit terkejut, Seraphina memainkan gunting di tangannya, "Jangan khawatir," katanya, "Aku akan sedikit merapikannya dulu." Gerakan cepat Seraphina membuat Kai terkesiap, namun ia tidak protes.
"Kenapa kau membawa benda seperti itu di tasmu, sepertinya tas mu itu berupa kantong ajaib." Kai bertanya, matanya masih tertuju pada gunting kecil di tangan Seraphina. Seraphina tertawa kecil, "Kantong ajaib katanya, fufufu."
Kai terdiam, dengan pasrah disaat Seraphina mulai memotong rambutnya. "Kau tau Kai, ketika menjalankan misi, aku hanya membawa barang yang menurutku berguna mungkin karena itu." Seraphina menjelaskan.
"Sedikit lagi selesai," Seraphina menggunting bagian terakhir yang tersisa dengan fokus, "dan selesai." Ia meletakkan guntingnya dan melangkah mundur untuk melihat hasil karya tangannya. Namun, saat ia menatap wajah Kai, ia terkejut.
Matanya ketika tertutup oleh rambut panjangnya memang terlihat merah tapi jika sudah dipotong ternyata matanya memiliki tatapan yang tajam dengan mata merah darah yang menyala, seperti api yang terpendam di balik kabut. Seraphina terdiam menatap Muka Kai.
"Kai aku ingin memastikan sesuatu, untuk itu ikuti aku." Seraphina menarik tangan Kai. Kai hanya pasrah mengikuti Seraphina dengan menutup kepalanya dengan tudung jubah untuk menutupi matanya yang menjadi ciri khas vampir.
Tidak lama kemudian mereka berdua sampai di tempat makan, Seraphina menyapa resepsionis dan duduk di tempat makanan. Dia melambaikan tangannya ke arah Kai seolah menyuruhnya duduk bersamanya.
"Kai, apa kau masih bisa makan makanan manusia?" Seraphina bersandar santai di kursi kayu panjang, tangannya memegang cangkir teh hangat. Menatap Kai dengan penasaran.
"Eh? Ntahlah, terakhir kali aku mencobanya 5 tahun yang lalu kurasa?" Kai terdiam sejenak, Seraphina menyela "5 tahun yang lalu? Sebelum kau jadi vampir?"
"Ya, makanan yang layak kumakan itu ikan tangkapanku dulu, kurasa..." Kai menjawab tersenyum tipis, "Emang kenapa?"
"Tidak, akan lebih baik jika kau masih bisa memakannya. Yah setidaknya menghilangkan kecurigaan dari orang-orang." Seraphina menyenderkan badannya kemudian dan membuat lingkaran kecil mengikuti cangkir teh yang dipegangnya.
Kai hanya bisa terdiam melihat nya, tiba-tiba pelayan restoran menghampiri meja mereka dan menyajikan beberapa makanan, Kai bingung apa yang harus dilakukan dengan makanan sebanyak ini, "Seraphina... Ini...?"
"Ah coba kau makan. Ini yang akan kupastikan." Seraphina tersenyum kemudian menyodorkan beberapa piring ke hadapan Kai.
Kai masih ragu, apakah dia bisa memakan ini atau tidak, tapi apa salahnya jika tidak mencoba, "Baiklah kalau begitu aku mencobanya." Dia mengambil alat makan lalu mencoba memakan makanan itu.
Kai menurut memakan makanan itu, sudah lama dia tidak merasakan makanan masuk ke perutnya. Itu aneh, terasa di lidah tapi tidak memberikan nutrisi. Jika dibilang dia bisa makanannya atau tidak, apakah ini berarti bisa?
"Bagaimana Kai?" Antusias Seraphina menunggu reaksi dan jawaban Kai.
"Hm, aku masih bisa merasakan rasanya. Tapi rasanya makanan ini tidak masuk ke perutku. Atau lebih tepatnya tidak diserap oleh tubuhku?" Kai menjelaskan dengan bingung.
"Oh, begitu. Sepertinya tidak ada masalah, meskipun tubuhmu tidak menyerapnya," jelas Seraphina. "Tampaknya hanya darah yang bisa memberikan nutrisi padanya, kalau tidak..." Seraphina bergumam, matanya berkilat tajam. Kai sedikit heran. "Ada apa?" tanyanya.
"Oh, tidak, tidak apa-apa. Oh iya, Kai, kau bisa menahannya untuk besok?" tanyanya, suaranya sedikit tegang.
"Kurasa... mungkin, aku tidak tau pasti. Tapi sepertinya bisa." jawab Kai ragu-ragu.
Seraphina mengangguk puas. "Bagus sekali! Aku akan melaporkan ini ke Komandan. Sekarang, ayo kita ke penginapan. Kau perlu istirahat yang cukup untuk malam ini." Ia mengulurkan tangannya, menunjukkan sikap ramah dan membantu.
Tidak terasa waktu berjalan dengan tepat, matahari mulai terbenam. Mereka berjalan beriringan menyusuri jalanan Narnia yang dipenuhi aroma bunga-bunga harum dan gemericik air dari air mancur di tengah kota.
Cahaya bulan memantul di permukaan kolam air mancur. Seraphina sesekali melirik Kai, memastikan ia baik-baik saja. Tak lama kemudian, mereka tiba di penginapan. Penginapan itu tampak sederhana namun nyaman, terletak di sebuah sudut tenang yang jauh di kota Narnia.
Seraphina menunjukkan kamar yang akan dipakai Kai malam ini. "Ini kamarmu. Soal bayaran, tenang saja. Aku kenal pemilik penginapan ini," jelas Seraphina sambil mengedipkan mata.
"Terima kasih untuk hari ini, Seraphina. Maaf merepotkanmu," ucap Kai, tersenyum tipis. Ia bersyukur bertemu orang baik setelah keluar dari sel tahanan di markas budak vampir itu.
"Sama-sama! Istirahat yang cukup, ya. Aku akan menemui Komandan sekarang. Sampai jumpa besok!" Seraphina melambaikan tangan. Kai membalas senyum, lalu masuk ke kamar yang telah disiapkan. "Hangat dan nyaman," gumamnya, duduk di tempat tidur.
Merasa tidak nyaman tidur hanya dengan mengenakan jubah, Kai membukanya. Seketika ia teringat bahwa ia tak mengenakan pakaian apa pun di bawah jubah itu. Wajahnya memerah. Ia baru menyadari bahwa seharian ini ia telah berkeliling bersama Seraphina hanya mengenakan jubah tanpa busana! "Bodoh sekali aku, baru menyadari ini?!" Ia panik.
Matanya langsung tertuju pada tumpukan pakaian di ujung kasur. Ia segera mengenakannya; untunglah ukurannya pas. Ia menghela napas lega, lalu menatap ke arah cermin.
"Jadi, ini penampilanku sekarang? Aku benar-benar tak mengenali diriku sendiri setelah kejadian itu," gumamnya, menatap bayangannya di cermin. Bayangan itu asing, dengan mata merah, taring merah dan rambut putih ini bukanlah dirinya yang ia kenal.
"Mata ini... taring ini... bahkan rambut putih ini... semua ini berkat Alfred sialan itu!" geramnya dalam hati, menggenggam tangannya erat-erat. Ia berdiri, mendekati cermin, bayangannya di cermin seakan menantang.
"Ayah, Ibu, Kakak... dan semuanya!" suara Kai bergetar karena amarah yang membara, matanya menyala-nyala seperti bara api. "Aku pasti... AKAN membalas apa yang terjadi dengan kalian!" Kepalan tangannya mengeras, giginya beradu, menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan untuk membalaskan dendam.
Disisi lain, di Mansion Alfred. Alfred duduk santai di kursinya yang mewah, kaki di atas meja, sementara segelas anggur merah berputar pelan di tangannya. Cahaya lilin menerangi ruangan megah itu, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding. Seorang bawahan masuk, wajahnya pucat pasi.
"Yang Mulia," bawahan itu hampir membujuk melaporkan sesuatu kepada Alfred, "markas di selatan... telah diserang."
Alfred mengangkat alis, tetapi senyumnya tidak hilang. "Oh? Oleh siapa?"
"Hunter, Yang Mulia. Karena itu banyak budak menjadi mati sia-sia oleh Hunter itu." Jelas bawahannya sembari khawatir.
Alfred tertawa pelan, suaranya dingin dan mencemooh. "Hunter? Mereka hanya sekelompok tikus. Biarkan mereka bermain-main." Ucapnya sembari menggoyangkan gelas miliknya.
Bawahannya hanya terdiam, menunggu perintah. Alfred menaruh gelasnya di meja kemudian berdiri dari tempat duduk miliknya. "Untuk kehilangan subordinate itu tidak masalah, aku akan mencari lagi nanti. Untuk saat ini bereskan saja tempat itu untuk budak yang baru nanti." katanya dengan tenang, suaranya datar tanpa emosi. Ia berjalan menuju meja kerjanya, mengambil sebuah peta besar yang terbentang di atasnya.
"Perintah diterima." Jawab bawahannya dengan hormat.
Cerita beralih ke Seraphina yang melakukan laporan dengan komandannya. Seraphina berdiri tegak di depan Komandan Glaen, menunduk hormat. Ruangan itu besar dan megah, dipenuhi dengan berbagai peralatan militer dan peta. Komandan Glaen duduk di balik meja besar, wajahnya serius.
"Komandan," Seraphina memulai laporannya dengan suara tegas, "Sesuai dengan Laporan yang diberikan oleh bawahan saya, saya menemukan manusia setengah Vampir yang kesadarannya masih ada."
"Hooh, menarik. Jelaskan lebih lanjut," Komandan Glaen berkata, suaranya dingin dan penuh otoritas.
"Dia ditemukan di markas bawahan bangsawan Vampir bernama Alfred. Awalnya kukira dia adalah vampire tingkat bawah, namun setelah bertemu dengannya. Dia masih memiliki kesadaran karena belum memakan darah manusia." Jelas Seraphina.
"Ooh itu hal yang luar biasa, dari laporan mu. Dia sudah menahan hasratnya selama lima tahun." Glaen membaca kembali laporan yang diterima dari Seraphina.
"Ya, komandan. Mungkin ini bisa mewujudkan orakel kuno itu walau hanya memberi harapan 0,1 persen." Jawab Seraphina tegas.
Komandan Glaen, yang awalnya tampak serius, mulai menunjukkan minat. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja. "Bagaimana kau yakin dengan itu, para vampir itu hanya menganggap orakel itu cuman karangan kuno yang hanya mengancam." Tanyanya penasaran.
Seraphina mengeluarkan sebuah file dari tasnya, menyerahkannya kepada Komandan Glaen. "Ini laporan lengkap tentangnya. Saya juga telah mencatat beberapa potensi kelemahannya, untuk meminimalisir risiko."
Komandan Glaen menerima file tersebut, membukanya dengan hati-hati. Ia membaca laporan tersebut dengan seksama, sesekali mengerutkan kening, sesekali mengangguk. Setelah beberapa saat, ia mengangkat wajahnya, tatapannya tajam dan penuh perhitungan. "Ini menarik, tapi ada kemungkinan akan gagal kan, bagaimana tanggapanmu tentang ini Seraphina?"
"Jika gagal, maka saat itu saya sendiri akan membunuhnya. Karena saya yang bertanggung jawab membawanya kemari." Jawab Seraphina tegas.
"Baiklah," Komandan Glaen berkata, suaranya tegas. "Aku percaya pada penilaian mu, dan besok bawa dia kehadapanku. Lalu untuk saat ini istirahatlah. Kali ini kau sudah berusaha dengan baik."
"Baik komandan." Seraphina membungkuk sopan.
( To be continued)