Hari-hari berlalu, namun bayangan pertemuan Maya dengan Johannes terus menghantui pikirannya. Setiap kali dia kembali ke ladang teh, matanya tak sengaja mencari-cari sosok pria itu di kejauhan. Begitu pula Johannes, yang kini sering berkeliling ladang dengan alasan memeriksa kerja para pekerja. Namun, di balik itu, dia selalu berharap bertemu Maya.
Pagi itu, Maya sedang memetik daun teh seperti biasa. Angin gunung yang sejuk menyapu wajahnya. Tiba-tiba, langkah kaki mendekat dari arah belakang. Ketika dia menoleh, Johannes sudah berdiri di sana, tersenyum seperti biasa.
"Selamat pagi, Maya," sapanya dengan nada ramah.
"Selamat pagi, Tuan Johannes," jawab Maya cepat sambil menunduk. Dia merasa jantungnya berdegup kencang setiap kali pria itu mendekatinya.
Johannes melangkah lebih dekat, hingga hanya beberapa langkah memisahkan mereka. "Aku bilang, panggil saja aku Johannes," katanya dengan lembut. Maya hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.
"Aku ingin bertanya," lanjut Johannes. "Apa kau sering berjalan-jalan di luar ladang ini? Ada tempat yang kau sukai?"
Maya terkejut dengan pertanyaan itu. Dia berpikir sejenak sebelum menjawab, "Kadang-kadang, Tuan. Ada sungai kecil di balik bukit itu. Tempatnya sepi dan indah."
"Sungai kecil di balik bukit?" Johannes mengulang kata-katanya sambil tersenyum. "Kedengarannya menarik. Maukah kau menunjukkan tempat itu padaku?"
Maya terdiam. Dia tahu bahwa menerima ajakan itu bisa menimbulkan masalah besar. Namun, tatapan mata Johannes begitu tulus, dan entah mengapa dia merasa sulit untuk menolak.
"Baiklah, Tuan," jawabnya akhirnya. "Tapi hanya setelah jam kerja selesai."
Senja mulai turun ketika Maya menuntun Johannes menuju sungai kecil di balik bukit. Jalan setapak itu sempit dan dikelilingi pepohonan yang rimbun. Di antara keheningan, hanya suara langkah kaki mereka dan kicauan burung yang terdengar.
Ketika mereka tiba, Johannes terpesona dengan pemandangan yang ada di depannya. Air sungai yang jernih mengalir pelan di atas bebatuan, dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang melindungi tempat itu dari terik matahari.
"Ini luar biasa," katanya dengan suara pelan. "Aku tidak pernah membayangkan ada tempat seindah ini di sini."
Maya hanya tersenyum tipis. Dia duduk di tepi sungai, membiarkan kakinya menggantung di atas air. Johannes mengikuti, duduk di sebelahnya dengan jarak yang sopan.
"Kau sering datang ke sini?" tanyanya, memecah keheningan.
"Ya, Tuan. Tempat ini memberiku ketenangan. Di sini, aku bisa melupakan semua masalah," jawab Maya sambil menatap air yang mengalir.
"Masalah apa yang kau maksud?" Johannes bertanya dengan nada penuh perhatian.
Maya terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Banyak, Tuan. Hidup di sini tidak mudah, terutama bagi orang seperti saya. Kami harus bekerja keras setiap hari hanya untuk bertahan hidup."
Johannes mengangguk pelan, merasa bersalah meski dia tahu tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah sistem yang sudah ada. "Aku mengerti," katanya akhirnya. "Tapi kau tahu, Maya, aku ingin mengenal lebih banyak tentang hidupmu, tentang dirimu."
Maya menatapnya dengan ragu. "Kenapa, Tuan?" tanyanya. "Apa yang membuat Tuan tertarik pada hidup saya yang sederhana?"
Johannes tersenyum. "Karena aku merasa kau berbeda. Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku ingin tahu lebih banyak."
Hati Maya berdebar mendengar kata-kata itu. Namun, dia segera mengingatkan dirinya tentang batasan yang ada di antara mereka. Dia menunduk, menghindari tatapan Johannes.
Beberapa hari berikutnya, pertemuan mereka di sungai menjadi lebih sering. Johannes selalu mencari alasan untuk keluar dari rumah administrasi dan menuju tempat itu. Maya, meskipun awalnya ragu, mulai merasa nyaman dengan kehadiran Johannes. Namun, di sisi lain, dia tahu bahwa hubungan ini tidak akan diterima oleh siapa pun.
Suatu sore, ketika mereka duduk di tepi sungai seperti biasa, Johannes tiba-tiba berkata, "Maya, aku ingin kau tahu bahwa aku menghargai setiap momen yang kita habiskan bersama. Aku tahu ini mungkin sulit bagimu, tapi aku berharap kau bisa mempercayai aku."
Maya menatapnya, matanya dipenuhi kebingungan. "Kenapa Tuan mengatakan ini? Hubungan seperti ini... tidak mungkin," katanya dengan suara pelan.
"Aku tahu," jawab Johannes dengan nada serius. "Tapi aku tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Yang penting adalah apa yang kita rasakan."
Maya menggeleng pelan. "Tuan Johannes, kau tidak memahami tekanan yang ada padaku. Keluarga, masyarakat, mereka semua akan mengutuk hubungan ini."
"Aku memahami itu, Maya. Tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja," kata Johannes dengan nada tegas. "Kita bisa mencari cara untuk bersama, tanpa harus peduli dengan batasan yang dibuat oleh orang lain."
Air mata mengalir di pipi Maya. Dia tahu bahwa apa yang dikatakan Johannes benar, tetapi kenyataan di sekitarnya terlalu menakutkan untuk diabaikan. Di satu sisi, hatinya menginginkan pria ini. Namun, di sisi lain, akal sehatnya mengatakan bahwa cinta ini hanya akan membawa kehancuran.
"Aku butuh waktu," katanya akhirnya. Johannes mengangguk, memberikan senyuman lembut yang seolah mengatakan bahwa dia akan menunggu, berapa pun lama waktunya.
Namun, seperti yang telah Maya khawatirkan, kehadiran Johannes di perkebunan mulai menarik perhatian. Para pekerja mulai berbisik-bisik setiap kali melihat pria Belanda itu berbicara dengan Maya. Bahkan Bu Ratmi, yang biasanya tidak terlalu peduli, mulai memperhatikan perubahan ini.
"Maya, kau harus hati-hati," kata Bu Ratmi suatu hari. "Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kau dan Tuan Johannes, tapi aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa dunia ini tidak adil bagi kita."
Maya hanya mengangguk, meski hatinya dipenuhi rasa gelisah. Dia tahu bahwa setiap langkahnya diawasi, dan satu kesalahan saja bisa menghancurkan hidupnya.
Di sisi lain, Johannes juga merasakan tekanan dari rekan-rekan Belandanya. Rudolf, yang biasanya ramah, mulai menunjukkan sikap dingin.
"Johannes, aku mendengar kau sering berbicara dengan salah satu pekerja," kata Rudolf dengan nada tajam. "Kau harus ingat siapa dirimu dan siapa mereka. Jangan membuat masalah di sini."
Johannes hanya diam, tidak ingin memperpanjang pembicaraan. Namun, dalam hatinya, dia tahu bahwa perasaannya pada Maya bukanlah sesuatu yang bisa dia abaikan begitu saja.
Hari itu, di bawah langit yang mendung, Maya dan Johannes kembali bertemu di tepi sungai. Kali ini, suasananya lebih berat daripada sebelumnya. Keduanya sadar bahwa hubungan mereka sedang berada di ambang bahaya.
"Maya," kata Johannes, memecah keheningan. "Aku tahu ini sulit, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu."
Maya menatapnya dengan mata penuh air mata. "Aku juga mencintaimu, Johannes. Tapi aku takut. Aku takut kehilangan segalanya."
Johannes menggenggam tangan Maya, memberikan kehangatan yang membuatnya merasa aman. "Kita akan menemukan cara, Maya. Aku berjanji."
Namun, di dalam hati mereka, keduanya tahu bahwa cinta ini tidak akan pernah mudah. Mereka hanya bisa berharap bahwa waktu akan memberikan jalan bagi mereka untuk bersama, meski dunia di sekitar mereka penuh dengan larangan dan prasangka.