Chereads / LOVE IN TWO ERAS / Chapter 4 - Pertentangan dalam Diri

Chapter 4 - Pertentangan dalam Diri

Pertentangan dalam Diri

Maya duduk di tepi sungai kecil di pinggiran desa, memandang air yang mengalir perlahan dengan pikiran yang jauh melayang. Kehidupannya yang sederhana tiba-tiba terasa lebih rumit setelah kehadiran Johannes. Kata-katanya, senyumannya, dan perhatian kecil yang dia tunjukkan telah menggoyahkan prinsip-prinsip yang selama ini Maya pegang teguh. Namun, setiap kali Maya membayangkan Johannes, dia juga diingatkan pada realitas yang keras.

Di desa tempat Maya tinggal, aturan tidak tertulis sangat kuat. Hubungan antara pribumi dan orang Belanda tidak hanya dianggap tabu, tetapi juga berbahaya. Orang-orang di sekitarnya selalu berbicara tentang bagaimana orang seperti Johannes tidak pernah benar-benar memedulikan nasib orang pribumi. Maya tahu betul bahwa hubungannya dengan Johannes, jika diketahui, akan membawa skandal yang tidak hanya mencoreng nama keluarganya tetapi juga bisa mengancam kehidupannya.

"Apa yang sedang kau pikirkan, Maya?" suara halus ibunya membuyarkan lamunannya. Ibunya berdiri tidak jauh darinya, memegang keranjang bambu berisi cucian.

"Tidak ada, Bu," jawab Maya sambil tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan pergolakan batinnya. "Hanya sedang menikmati angin sore."

Ibunya menatapnya dengan curiga. "Akhir-akhir ini kau sering melamun. Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?"

Maya menggeleng, tetapi di dalam hatinya, dia ingin sekali menceritakan semuanya. Namun, dia tahu bahwa ibunya tidak akan pernah bisa menerima apa yang dia rasakan. Maka, dia memilih untuk tetap diam.

Di sisi lain, Johannes duduk di balkon rumah besar milik administrasi perkebunan. Sore itu, dia memandang ke arah ladang teh yang terbentang luas di bawah cahaya matahari yang mulai redup. Wajah Maya muncul di pikirannya, membuatnya tersenyum tanpa sadar. Namun, di balik senyuman itu, dia juga merasa gelisah.

Sebagai seorang pria muda yang dibesarkan dalam keluarga terpandang di Belanda, Johannes tahu betul bahwa hubungannya dengan seorang gadis pribumi akan dianggap sebagai pelanggaran besar terhadap norma dan ekspektasi sosial. Ayahnya, seorang pedagang besar yang memiliki pengaruh kuat, telah memperingatkan Johannes sebelum dia berangkat ke Hindia Belanda.

"Ingat, Johannes," kata ayahnya, "kamu berada di sana untuk bekerja, bukan untuk terlibat dalam urusan yang tidak pantas."

Namun, Johannes merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Maya. Dia bukan hanya seorang gadis pribumi biasa di matanya. Ada kecerdasan dan keteguhan dalam cara Maya berbicara dan membawa diri, sesuatu yang membuat Johannes semakin ingin mengenalnya lebih jauh.

"Johannes, kau melamun lagi," kata Rudolf, rekannya, yang tiba-tiba muncul di balkon. "Apakah kau sedang memikirkan gadis itu?"

Johannes terkejut. "Gadis siapa?"

Rudolf tertawa kecil. "Jangan berpura-pura. Aku melihat caramu memandang salah satu pekerja itu. Apa namanya? Maya?"

Johannes terdiam, merasa tertangkap basah. "Itu bukan urusanmu, Rudolf," jawabnya dingin.

"Dengarkan aku, Johannes," kata Rudolf dengan nada serius. "Aku tahu kau baru di sini, tetapi kau harus berhati-hati. Hubungan seperti itu hanya akan membawa masalah. Orang-orang di sini tidak akan pernah menerima hal seperti itu."

Johannes mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya, dia tahu bahwa kata-kata Rudolf tidak akan mengubah apa yang dia rasakan.

Hari-hari berikutnya, Maya mencoba menghindari Johannes. Setiap kali dia melihat pria itu di perkebunan, dia berusaha untuk tidak menarik perhatiannya. Namun, Johannes tampaknya tidak menyerah begitu saja. Suatu pagi, saat Maya sedang memetik daun teh, Johannes mendekatinya.

"Maya," panggilnya pelan.

Maya terkejut, tetapi dia tidak punya pilihan selain menoleh. "Ada apa, Tuan Johannes?" tanyanya dengan nada formal.

"Mengapa kau menghindariku?" tanyanya langsung.

Maya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Karena kita tidak seharusnya berbicara seperti ini, Tuan."

"Mengapa tidak?" tanya Johannes. "Aku hanya ingin mengenalmu lebih baik. Apa itu salah?"

Maya menatapnya dengan ragu. "Bukan salah, tetapi tidak pantas. Kita berasal dari dunia yang berbeda."

Johannes menghela napas. "Aku tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan, Maya. Yang aku tahu, aku ingin mengenalmu lebih jauh."

Hati Maya berdebar mendengar kata-kata itu, tetapi dia tahu bahwa perasaan itu berbahaya. "Tuan Johannes, ini tidak mungkin," katanya dengan suara pelan tetapi tegas. "Tolong jangan mempersulit hidup saya."

Johannes terdiam. Dia bisa melihat ketakutan dan keraguan di mata Maya, tetapi dia juga bisa merasakan bahwa gadis itu tidak sepenuhnya menolaknya. "Aku mengerti," katanya akhirnya. "Tetapi aku harap kau tahu bahwa aku tidak akan menyerah begitu saja."

Malam itu, Maya kembali bergulat dengan pikirannya. Dia tahu bahwa Johannes berbeda dari pria-pria Belanda lainnya yang hanya memandang rendah orang pribumi. Namun, dia juga tahu bahwa hubungan mereka tidak akan pernah diterima oleh masyarakat.

"Apakah aku terlalu egois jika mengikuti hatiku?" pikir Maya. "Atau apakah aku harus melepaskan perasaan ini demi kebaikan semua orang?"

Di tengah pergulatan itu, Maya memutuskan untuk berdoa. Dia berlutut di depan tempat tidurnya, memohon petunjuk kepada Tuhan. "Tunjukkan jalan yang benar, Ya Allah," bisiknya. "Aku tidak tahu harus berbuat apa."

Sementara itu, Johannes duduk di kamarnya, menulis di buku catatannya. Dia mencurahkan semua perasaannya tentang Maya, tentang bagaimana gadis itu telah mengubah pandangannya tentang hidup. "Mungkin aku tidak akan pernah bisa memilikimu, Maya," tulisnya, "tetapi aku tidak bisa menyangkal apa yang aku rasakan."

Malam itu, dua hati yang terpisah oleh batasan sosial dan budaya merasakan kerinduan yang sama. Namun, mereka juga tahu bahwa jalan yang mereka tempuh penuh dengan rintangan yang tidak mudah diatasi.

Hari berikutnya, Maya memutuskan untuk berbicara dengan sahabatnya, Ratih. Dia tahu bahwa Ratih adalah satu-satunya orang yang bisa dia percayai.

"Ratih, aku perlu bicara," kata Maya ketika mereka sedang duduk di bawah pohon besar di pinggir ladang.

"Apa yang terjadi?" tanya Ratih, terlihat khawatir.

Maya ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku... aku merasa ada sesuatu antara aku dan Tuan Johannes."

Ratih terkejut. "Maya! Kau tahu itu berbahaya. Kau tidak boleh melibatkan dirimu dengan orang seperti dia."

"Aku tahu," kata Maya dengan suara lirih. "Tapi aku tidak bisa mengontrol apa yang aku rasakan."

Ratih memegang tangan Maya erat-erat. "Maya, dengarkan aku. Aku tahu kau orang yang baik, tetapi kau harus berhati-hati. Jika orang lain tahu, mereka tidak akan memaafkanmu."

Maya mengangguk, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu harus berbuat apa, Ratih. Aku merasa seperti terjebak antara hati dan logika."

Ratih memeluknya dengan erat. "Aku di sini untukmu, Maya. Apapun yang terjadi, kau tidak sendiri."

Hari-hari berikutnya, Maya mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras. Namun, perasaan itu tetap ada, menghantui setiap langkahnya. Dia tahu bahwa dia harus membuat keputusan, tetapi keputusan itu terasa semakin sulit setiap kali dia memikirkan Johannes.

Di tengah semua kebimbangan itu, Maya menyadari satu hal: cintanya kepada Johannes mungkin tidak masuk akal, tetapi itu adalah perasaan yang nyata. Dan meskipun dunia mungkin tidak akan pernah menerima mereka, Maya tahu bahwa perasaan itu telah mengubah hidupnya selamanya.