Maya berdiri di ujung jalan, menatap punggung Johannes yang semakin menjauh. Setiap langkah pria itu terasa seperti tikaman di hati, membuatnya semakin hancur, semakin merasa kosong. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, hanya kesunyian yang mengisi ruang di antara mereka. Johannes, dengan wajah serius dan mata yang penuh tekad, telah membuat keputusan. Keputusan yang menghancurkan segala harapan Maya.
"Aku harus pergi, Maya," ujar Johannes sebelum berbalik, menatapnya untuk terakhir kali. "Tapi aku janji... aku akan kembali."
Janji itu seakan bergema di telinga Maya, namun tidak memberi ketenangan. Sebaliknya, hanya menambah kepedihan yang semakin dalam. Bagaimana bisa seseorang kembali setelah pergi meninggalkan begitu banyak kenangan? Bagaimana bisa sebuah janji yang terucap begitu saja menenangkan perasaan yang nyaris pecah?
Akhirnya Johannes pun pergi, meninggalkan Maya yang terdiam, tubuhnya kaku seolah terikat oleh sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh matanya. Seiring berjalannya waktu, dia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya. Bukan hanya sekadar kekasih yang pergi, tetapi juga bagian dari dirinya yang hilang bersama langkah Johannes yang menjauh. Bagaimana bisa hidup berjalan normal jika hati ini merasa terbelah?
***
Malam pertama tanpa Johannes begitu berat bagi Maya. Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke dinding kamar yang sepi. Di luar, hujan turun dengan lebat, membuat dunia terasa semakin gelap dan sunyi. Maya teringat kembali akan janji yang diucapkan Johannes—"Aku akan kembali." Tapi bagaimana jika itu hanya kata-kata kosong? Bagaimana jika, setelah semua ini, dia tidak pernah kembali lagi?
"Aku harus percaya pada janji itu," gumam Maya pelan kepada dirinya sendiri, mencoba mengusir keraguan yang perlahan merayap masuk. Tapi meskipun dia ingin percaya, hatinya begitu ragu. Janji dalam hubungan mereka selalu terasa penuh dengan ketidakpastian. Banyak hal yang terjadi di luar kendali mereka, dan Maya merasa seolah-olah dia hanya seorang pengamat, bukan aktor dalam kisah yang mereka jalani bersama.
Dia memeluk lututnya, merasakan kehampaan yang memenuhi setiap sudut tubuhnya. Keheningan itu begitu berat, hampir seperti sebuah beban yang tak bisa dia angkat. Pikirannya berlarian, melayang pada kenangan-kenangan indah mereka bersama—tawa yang mengisi hari-hari mereka, percakapan yang penuh mimpi tentang masa depan, dan tatapan mata Johannes yang selalu memberinya rasa aman. Semua itu kini terasa seperti sebuah ilusi yang perlahan menguap, meninggalkan dia dalam kegelapan yang begitu pekat.
Maya mengingat betul saat Johannes pertama kali menyentuh tangannya, dengan lembut namun penuh ketulusan. Semua perasaan itu kini seolah terlepas begitu saja, meninggalkan dia di tengah-tengah ruang yang kosong.
Di tengah malam yang sunyi, Maya merasakan kepedihan yang datang dari dalam dirinya, lebih dalam dari yang bisa dia bayangkan. Dia ingin berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Apa yang bisa dia lakukan selain menunggu? Menunggu Johannes kembali. Namun, seiring berjalannya waktu, semakin besar ketakutannya bahwa dia mungkin tidak akan kembali.
***
Pagi berikutnya, Maya bangun dengan rasa lelah yang mendalam. Tidak hanya fisik, tetapi juga emosional. Dia merasa seperti seolah telah melewati seluruh hidupnya dalam satu malam. Setiap hal kecil di sekitarnya mengingatkan dia pada Johannes—bunga yang mereka tanam bersama di halaman rumah, buku-buku yang mereka baca bersama di sore hari, bahkan suara hujan yang jatuh ke atap rumah, yang selalu mereka nikmati dalam keheningan. Segalanya terasa sepi tanpa kehadirannya.
Namun, Maya berusaha untuk tetap melangkah. Ada rutinitas yang harus dijalani, ada hidup yang tidak bisa hanya berhenti begitu saja. Meski hatinya hancur, Maya tahu dia tidak bisa membiarkan kesedihan itu menguasai dirinya. Dia berusaha untuk kembali bekerja, untuk tetap terhubung dengan teman-temannya, untuk menjalani hari-hari meski tanpa Johannes di sisinya.
Di kantor, teman-temannya sering kali memperhatikannya dengan cemas. Mereka tahu ada yang berubah dalam diri Maya—sikapnya yang lebih pendiam, senyumnya yang semakin jarang, dan tatapan kosong yang sering kali terarah pada sesuatu yang jauh di luar jangkauan mereka. Maya berusaha untuk tidak terlalu mencolok, tetapi terkadang, tidak bisa disembunyikan. Setiap kali seseorang bertanya, "Bagaimana dengan Johannes?", hatinya kembali terbelah, seperti terbuka luka lama yang baru saja mulai sembuh.
Maya tahu dia tidak bisa melarikan diri dari kenyataan. Johannes pergi, dan meskipun dia berjanji untuk kembali, itu tidak menjamin apa-apa. Setiap hari yang berlalu, setiap detik yang terlewati, adalah pengingat bahwa dunia tidak berhenti berputar hanya karena dia merasa kehilangan. Maya harus menemukan cara untuk berdiri sendiri, meskipun perasaan itu masih membelenggu hatinya.
Namun, semakin hari, semakin banyak kenangan tentang Johannes yang mengisi ruang dalam pikirannya. Dia mulai menulis. Menulis adalah caranya untuk melepaskan perasaan yang tak bisa dia katakan dengan kata-kata biasa. Setiap halaman yang dia tulis berisi potongan-potongan perasaan, luka, dan harapan yang tak terucapkan. Dia menulis tentang cintanya yang terpisah, tentang janji yang masih ada di udara, tentang kesepian yang kini menjadi teman setianya. Mungkin suatu saat, tulisannya akan menjadi sesuatu yang bisa dia kenang, atau mungkin hanya menjadi sebuah catatan tentang masa lalu yang perlahan terlupakan.
Di malam hari, Maya masih sering berdiri di jendela, menatap ke langit yang gelap. Bintang-bintang selalu tampak begitu jauh, tetapi dalam hati Maya, mereka seperti mewakili semua yang dia rasakan—terlalu jauh untuk dijangkau, tetapi tetap ada di sana, memberikan harapan. Dia berdoa agar Johannes benar-benar menepati janjinya. Namun, di sisi lain, dia juga tahu bahwa tidak ada yang bisa memastikan masa depan.
Maya menyadari satu hal yang penting dalam perjalanan ini—bahwa hidup, dan cinta, tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan. Ada banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan, dan kadang-kadang, kita hanya perlu belajar untuk menerima kenyataan yang ada. Cinta yang terpisah ini bukanlah akhir dari segalanya. Ini adalah bagian dari perjalanan, bagian dari pembelajaran untuk menjadi lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih siap untuk apa pun yang akan datang.
Dan meskipun hatinya hancur, Maya tahu bahwa harapan itu tidak akan pernah mati. Setidaknya, sampai saat Johannes benar-benar kembali—atau sampai dia belajar untuk melepaskannya dengan ikhlas.