Maya duduk di kursi kayu tua di ruang tamu rumah orang tuanya, matanya menatap kosong ke luar jendela yang memantulkan cahaya matahari sore yang lembut. Beberapa hari terakhir, perasaan gelisah terus menghantuinya. Bayang-bayang Johannes, meskipun sudah lama pergi, tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Setiap kali angin sore menyentuh kulitnya, ia teringat pada detik-detik terakhir mereka bersama—waktu yang terasa begitu singkat, meskipun sudah terlewati bertahun-tahun.
Ia menghela napas dan meraih meja kecil di samping kursinya. Di sana, sebuah amplop kuno tergeletak. Amplop itu tampak usang, namun di atasnya tertulis namanya dengan tulisan tangan yang tak asing lagi. Maya bisa mengenali tulisan itu. Itu adalah tulisan Johannes. Tangannya gemetar saat ia meraih amplop tersebut, dan perasaan campur aduk menyelubungi hatinya. Setelah sekian lama, surat itu datang juga. Surat yang selama ini ia tunggu, meskipun di dalam hatinya ada ketakutan bahwa surat itu mungkin hanya akan membawa kekecewaan lagi.
Dengan hati berdebar, Maya membuka amplop tersebut dan mengeluarkan selembar kertas berwarna krem yang sudah agak pudar. Surat itu tampak sangat sederhana, tapi entah mengapa, itulah yang membuatnya semakin terasa berharga. Maya memejamkan matanya sejenak, seolah ingin merasakan kehadiran Johannes di dekatnya. Ia menghela napas dalam-dalam dan mulai membaca surat itu.
*"Maya cintaku,
Aku harap surat ini bisa sampai padamu dengan selamat. Aku tahu sudah terlalu lama sejak terakhir kita saling berkomunikasi, dan aku merasa bersalah karena membiarkan waktu berjalan begitu lama tanpa memberimu kabar. Tapi percayalah, setiap hari aku selalu memikirkanmu. Tidak ada satu pun hari yang berlalu tanpa aku mengenangmu, mengenang saat-saat kita bersama.
Aku berharap kamu baik-baik saja di sana. Aku tahu, saat aku meninggalkanmu dulu, aku membawa banyak sekali kenangan yang berat bagi kita berdua. Keputusan untuk pergi adalah keputusan yang sangat sulit bagiku, Maya. Tidak ada yang lebih aku inginkan selain bisa bersamamu di sini, namun keadaan dan tanggung jawabku di Eropa tak memungkinkan itu. Aku ingin sekali bisa kembali kepadamu, tetapi aku tidak tahu kapan itu akan terjadi. Semua ini adalah cobaan yang harus kita jalani.
Aku mohon, Maya, jangan lupakan aku. Aku berjanji, suatu hari aku akan kembali untukmu, meskipun aku tidak tahu kapan waktunya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa cintaku padamu tetap ada, meskipun jarak dan waktu memisahkan kita. Kamu selalu ada dalam pikiranku, dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk kembali padamu.
Dengan cinta,
Johannes."*
Maya menurunkan surat itu, hatinya dipenuhi dengan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Ada kelegaan, tapi juga rasa sakit yang kembali muncul, seolah-olah luka lama yang sempat sembuh kembali terbuka. Surat ini seakan membawa angin segar bagi jiwanya yang telah lama lelah. Namun, pada saat yang bersamaan, itu juga mengingatkannya pada kenyataan pahit yang telah ia coba lupakan.
Semenjak Johannes pergi, hidup Maya tidak lagi sama. Ia harus belajar menghadapinya sendiri, menjalani hari-hari tanpa sosok yang selalu menjadi pelipur lara di tengah segala kesulitan. Keputusan Johannes untuk meninggalkan Indonesia dan kembali ke Eropa adalah hal yang tidak bisa ia terima pada awalnya, namun seiring berjalannya waktu, ia mulai belajar menerima. Ia tahu, meskipun cinta itu masih ada, jarak dan perbedaan dunia mereka adalah hal yang tak mudah untuk dihadapi. Tetapi dengan surat ini, Maya merasakan kembali ada sedikit harapan yang menyala di dalam dirinya.
Namun, meskipun surat itu mengandung banyak kata-kata penuh cinta dan harapan, ada satu hal yang membuatnya bimbang: waktu. Waktu yang sudah begitu lama berlalu. Johannes sudah terlalu lama pergi, dan dunia Maya telah berubah. Kepergian Johannes membuatnya kehilangan banyak hal, termasuk bagian dari dirinya yang dulu selalu hidup dalam mimpi dan harapan bersama Johannes. Lalu, apakah harapan yang dituliskan dalam surat itu masih bisa bertahan setelah begitu lama?
Maya menutup surat itu perlahan, kemudian meletakkannya di sampingnya di atas meja. Ia duduk diam, memikirkan semua perasaan yang datang bersamaan dengan surat tersebut. Perasaan cinta, rindu, dan sekaligus keraguan. Apakah masih mungkin baginya untuk menunggu sesuatu yang entah kapan akan datang? Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Di satu sisi, ia ingin sekali mempercayai kata-kata Johannes, berharap bahwa suatu hari pria itu akan kembali padanya. Namun, di sisi lain, ia juga merasa cemas. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak hal yang harus ia hadapi. Kehidupan di sekitarnya terus bergerak maju, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu yang terbuka. Ibunya masuk ke ruang tamu, membawa nampan berisi teh hangat. Ibunya melihat Maya duduk di sana, termenung dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia mendekati meja tempat Maya duduk dan meletakkan teh itu di depan Maya.
"Maya," kata ibunya lembut, "apakah kamu baik-baik saja?"
Maya menatap ibunya, kemudian menghela napas panjang. Ia merasa sedikit canggung, namun ia tahu bahwa ibunya selalu ada untuknya. Ia tidak bisa menutupi perasaannya lagi.
"Aku baru menerima surat dari Johannes," jawab Maya pelan. "Dia mengirimkan surat setelah sekian lama."
Ibunya terdiam sejenak, matanya terlihat penuh pengertian. Maya tahu, ibunya selalu memperhatikan dirinya dengan seksama, tetapi tidak pernah mengungkit masa lalu yang sulit. Mungkin, ibunya tahu bahwa ini adalah saat yang berat baginya.
"Kamu sudah lama menunggu, Maya," kata ibunya. "Terkadang, hidup membawa kita pada jalan yang tak terduga. Tidak semua yang kita inginkan bisa kita raih. Tapi kamu harus membuat keputusan sendiri. Apakah kamu ingin terus menunggu, ataukah kamu ingin melanjutkan hidupmu tanpa terikat pada masa lalu?"
Maya menatap ibunya, meresapi kata-kata itu. Kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Terkadang, kita harus membuat pilihan yang sulit, meskipun itu menyakitkan. Namun, Maya juga sadar bahwa ia tidak bisa terus terjebak dalam perasaan yang tak pasti. Waktu terus berjalan, dan ia harus berani melangkah ke depan.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," ujar Maya dengan suara serak. "Aku ingin percaya padanya, tetapi aku takut jika aku terus menunggu, aku hanya akan terluka lagi."
Ibunya menyentuh tangan Maya dengan lembut. "Maya, cinta itu tidak selalu mudah, tetapi kamu harus memilih untuk bahagia. Cinta sejati tidak akan membuatmu merasakan beban yang berat, tetapi sebaliknya, ia akan membuatmu lebih kuat."
Maya menatap ibunya, merasakan kedalaman kata-kata itu. Ia tahu bahwa apapun yang ia putuskan, itu adalah pilihan yang harus ia buat untuk dirinya sendiri. Dan mungkin, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia mulai merasa bahwa ia dapat melanjutkan hidupnya dengan penuh harapan, tanpa terbebani oleh bayang-bayang masa lalu.