Hujan deras mengguyur perkebunan teh di lereng Gunung Patuha, menciptakan genangan kecil di antara barisan tanaman yang rapi. Maya berdiri di bawah sebuah pohon besar, melindungi diri dari hujan dengan selendang tipis yang hampir tidak cukup untuk menahan dingin. Angin malam yang menusuk membuat tubuhnya menggigil, namun pikirannya jauh lebih kacau dibandingkan cuaca malam itu.
Maya memikirkan percakapannya dengan Johannes pagi tadi. Meski keduanya saling menyadari risiko yang mereka hadapi, Johannes berbicara tentang masa depan. Masa depan yang melibatkan mereka berdua, jauh dari kebun teh, jauh dari pandangan orang-orang yang akan menghakimi. Namun, bagi Maya, mimpi itu terasa seperti bayangan yang indah tetapi tak terjangkau.
"Maya, kau pernah membayangkan hidup yang berbeda?" tanya Johannes, suaranya lirih namun penuh harapan.
Maya hanya diam, memandangi tangan Johannes yang perlahan mendekat, namun berhenti di udara, seolah terhalang tembok yang tak terlihat.
"Aku ingin membawamu keluar dari tempat ini. Ke dunia yang tak mengenal batasan seperti ini. Kau percaya padaku?"
Maya mengangkat wajahnya, menatap mata biru Johannes yang penuh keyakinan. Namun di dalam hatinya, Maya tahu bahwa dunia mereka berbeda. Janji Johannes, meski terdengar manis, terasa seperti angin yang bertiup kencang — tak dapat digenggam.
Malam itu, di rumah kecilnya, Maya duduk di depan lampu minyak, menatap bayangannya sendiri di dinding. Wajah ibunya muncul dalam benaknya, dengan tatapan lelah yang penuh harapan agar Maya menjalani hidup sesuai tradisi dan kehendak keluarga. Ibunya sering berkata bahwa seorang wanita harus tunduk pada takdirnya, melayani keluarga, dan tidak boleh bermimpi terlalu tinggi.
Namun, pertemuan dengan Johannes menggoyahkan keyakinan itu. Maya mulai membayangkan kehidupan yang berbeda. Kehidupan di mana dia bisa bebas memilih jalannya sendiri. Tapi bayangan itu selalu diiringi oleh rasa bersalah yang mencekam.
"Maya, kau melamun lagi?" suara ibunya memecah keheningan.
"Tidak, Bu. Hanya memikirkan pekerjaan di kebun," jawab Maya cepat, berusaha menyembunyikan pikirannya.
Ibunya mendekat, duduk di sampingnya. "Maya, aku tahu kau selalu bekerja keras untuk kita. Tapi jangan lupa, ada tanggung jawab yang lebih besar. Keluarga ini membutuhkanmu. Jangan sampai kau melakukan sesuatu yang membuat malu kita semua."
Maya mengangguk pelan, meski dalam hatinya ada pemberontakan kecil yang mulai tumbuh.
Sementara itu, di rumah besar administrasi, Johannes menatap peta yang terbentang di mejanya. Pikirannya dipenuhi rencana untuk membawa Maya pergi. Dia tahu, sebagai seorang Belanda, tindakannya akan dianggap sebagai pengkhianatan oleh rekan-rekannya. Tapi hatinya berkata bahwa cinta ini layak diperjuangkan.
"Apa yang kau pikirkan, Johannes?" suara Rudolf, rekannya, mengejutkannya.
"Tidak ada. Hanya mencoba memahami peta ini," jawab Johannes sambil melipat peta dengan cepat.
Rudolf memandangnya curiga. "Kau terlihat berbeda akhir-akhir ini. Jangan sampai terjebak dalam hal-hal yang tak seharusnya, Johannes. Kau tahu aturan di sini."
Johannes hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dalam hatinya, dia tahu bahwa apa yang dia lakukan melawan aturan, tetapi baginya, cinta kepada Maya lebih berharga daripada semua aturan itu.
Keesokan harinya, Maya kembali bekerja di kebun. Langit cerah setelah hujan semalam, dan udara pagi yang segar sedikit mengurangi kekhawatirannya. Namun, bayangan percakapan dengan Johannes terus mengganggunya. Saat dia sibuk memetik daun teh, Bu Ratmi mendekat.
"Maya, ada tamu di ujung kebun yang ingin bicara denganmu," kata Bu Ratmi dengan nada datar.
"Siapa, Bu?" tanya Maya, merasa gugup.
"Dia bilang namanya Johannes. Kau kenal?"
Jantung Maya berdegup kencang. Dia menunduk, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Iya, Bu. Saya akan menemuinya."
Dengan langkah cepat namun hati-hati, Maya menuju ke tempat yang dimaksud. Johannes berdiri di sana, mengenakan pakaian rapi seperti biasa, dengan senyuman kecil yang mencoba menenangkan kegelisahan Maya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Kalau ada yang melihat…" Maya berbisik, suaranya penuh kecemasan.
"Aku harus bicara denganmu. Ini penting," jawab Johannes, suaranya tenang namun tegas. "Aku menemukan tempat di kota tempat kita bisa tinggal. Tidak ada yang akan mengenal kita di sana."
Maya terdiam, hatinya bercampur aduk antara harapan dan ketakutan. "Johannes, aku tidak bisa meninggalkan keluargaku. Mereka bergantung padaku."
"Maya, aku tahu ini sulit. Tapi aku tak bisa membayangkan hidup tanpa dirimu. Beri aku waktu untuk membuktikan bahwa kita bisa melewati ini bersama."
Maya menatap Johannes, air mata menggenang di matanya. Dia tahu bahwa cintanya pada Johannes nyata, tetapi dia juga tahu bahwa dunia tidak akan pernah memudahkan mereka. "Aku butuh waktu, Johannes. Beri aku waktu untuk berpikir."
Johannes mengangguk pelan. "Aku akan menunggumu, Maya. Berapa lama pun itu."
Malam itu, Maya duduk di tepi ranjangnya, menatap bulan yang bersinar terang di langit malam. Pikirannya dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan. Dia membayangkan hidup bersama Johannes, jauh dari kebun teh, jauh dari tekanan keluarganya. Tapi dia juga melihat bayangan ibunya yang kecewa, masyarakat yang menghakimi, dan kehidupannya yang terancam karena keputusan itu.
Di sisi lain, Johannes duduk di balkon rumah besar, memandang ke arah kebun yang gelap. Dia memikirkan Maya, memikirkan keberanian yang harus dia kumpulkan untuk melawan norma-norma yang ada. Dia tahu bahwa perasaan ini lebih dari sekadar ketertarikan sesaat. Ini adalah cinta yang ingin dia perjuangkan, meski harus melawan seluruh dunia.
Waktu terus berjalan, membawa Maya dan Johannes semakin dekat pada keputusan yang akan mengubah hidup mereka. Di tengah kesulitan dan ketidakpastian, mereka berdua menggenggam mimpi yang rapuh namun indah — sebuah mimpi tentang cinta yang melampaui batasan waktu dan ruang.