Chereads / LOVE IN TWO ERAS / Chapter 6 - Jejak Masa Lalu

Chapter 6 - Jejak Masa Lalu

Maya duduk di beranda rumahnya yang sederhana, menghadap kebun teh yang membentang hijau sejauh mata memandang. Angin sore berembus lembut, membawa aroma khas daun teh yang menenangkan. Tapi hatinya jauh dari tenang. Pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Johannes malam sebelumnya.

"Maya, ada sesuatu yang harus aku katakan. Sesuatu tentang keluargaku," katanya, dengan nada suara yang penuh keraguan.

Maya mengingat tatapan matanya saat itu, seolah ada beban besar yang sedang ia pikul. Johannes, pria yang membuatnya merasa hidup di tengah kekangan zaman, tampak begitu rapuh. Dia tahu sesuatu yang besar akan diungkapkan malam itu, tapi dia tak pernah menyangka sebesar ini.

Johannes berasal dari keluarga terpandang di Belanda. Ayahnya adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan kolonial, seseorang yang keras dan berpegang teguh pada prinsip bahwa perbedaan kelas dan ras adalah hukum alam yang tidak boleh dilanggar. "Jika dia tahu tentang kita, Maya, dia akan menghancurkan segalanya," kata Johannes.

"Mengapa kau memberitahuku ini sekarang?" Maya bertanya, suaranya bergetar di tengah deru angin malam.

Johannes menggenggam tangannya erat, seolah takut dia akan pergi. "Karena aku mencintaimu, Maya. Aku ingin kau tahu apa yang kita hadapi. Aku tidak bisa menyembunyikan ini darimu."

Saat itu, Maya hanya bisa diam. Cinta di hatinya bercampur dengan kekhawatiran. Bagaimana mereka bisa menghadapi rintangan sebesar ini?

Hari-hari berikutnya dihabiskan Maya dalam kebimbangan. Setiap langkahnya di kebun teh terasa berat, seperti ada bayang-bayang yang terus mengikutinya. Ketika dia memetik daun teh, dia memikirkan kata-kata Johannes. Ketika dia berbicara dengan keluarganya, dia merasa seperti sedang menyembunyikan rahasia besar yang bisa menghancurkan segalanya.

"Maya, kamu kenapa akhir-akhir ini? Seperti tidak ada semangat," tanya ibunya suatu sore saat mereka duduk bersama di dapur.

Maya menggeleng pelan, mencoba tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu. Hanya lelah saja."

Tapi ibunya tahu lebih baik. Dia menatap putrinya dengan tatapan tajam, seolah bisa melihat sesuatu yang tidak diucapkan. "Ingat, Maya, kita ini orang kecil. Jangan sampai terjebak dalam sesuatu yang tidak bisa kita selesaikan."

Kata-kata ibunya terus terngiang di kepala Maya sepanjang malam. Dia tahu apa yang dimaksudkan ibunya, meskipun tidak diucapkan secara langsung. Hubungannya dengan Johannes adalah sesuatu yang tidak bisa diterima, bukan hanya oleh masyarakat, tapi juga oleh keluarganya sendiri. Tapi bagaimana mungkin dia meninggalkan seseorang yang membuatnya merasa hidup?

Johannes, di sisi lain, juga tidak kalah gelisah. Dia sering berdiri di tepi bukit, memandang hamparan kebun teh yang tampak seperti lautan hijau. Di tempat itu, dia pertama kali melihat Maya. Gadis yang sederhana, dengan senyum yang mampu meluluhkan hatinya. Tapi sekarang, kebahagiaan yang dulu dia rasakan berubah menjadi kecemasan yang menggerogoti pikirannya.

Suatu malam, mereka bertemu di tempat biasa, sebuah pondok kecil di tengah kebun teh yang tersembunyi dari pandangan orang-orang. Johannes membawa sebuah kotak kecil, berisi beberapa foto lama dan surat-surat dari keluarganya.

"Aku ingin kau melihat ini," katanya, menyerahkan kotak itu kepada Maya.

Dengan hati-hati, Maya membuka kotak tersebut. Di dalamnya ada foto seorang pria yang tampak sangat mirip dengan Johannes, hanya saja lebih tua. "Itu ayahku," kata Johannes. "Dia adalah orang yang sangat berkuasa, Maya. Dan dia tidak akan pernah menerima hubungan kita."

Maya menatap foto itu dengan perasaan campur aduk. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya merasa kecil, seolah-olah dia sedang dihakimi hanya dengan melihatnya. Tapi dia tetap mendengarkan Johannes, mencoba memahami beratnya beban yang dia bawa.

Di bawah foto itu, ada beberapa surat yang ditulis dalam bahasa Belanda. Johannes membacakan salah satu surat untuk Maya, menceritakan bagaimana ayahnya selalu menuntut kesempurnaan darinya, bagaimana dia diharapkan untuk menikah dengan seorang wanita dari keluarga terpandang di Belanda, dan bagaimana setiap langkahnya selalu diawasi.

"Aku tidak ingin hidup seperti itu, Maya. Aku ingin hidup denganmu, bebas dari semua tekanan ini. Tapi aku tidak tahu apakah itu mungkin," kata Johannes, suaranya penuh keputusasaan.

Maya menutup kotak itu dengan hati-hati dan menggenggam tangan Johannes. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu satu hal: aku mencintaimu. Dan aku akan berjuang untuk cinta kita selama aku bisa."

Johannes menatapnya, mata birunya penuh dengan emosi. Untuk sesaat, mereka berdua merasa bahwa cinta mereka cukup untuk melawan dunia. Tapi di dalam hati mereka, ada ketakutan yang tak bisa diabaikan.

Hari berikutnya, Maya memutuskan untuk mengunjungi sebuah tempat yang selalu menjadi pelariannya ketika dia merasa bingung. Di dekat kebun teh, ada sebuah pohon besar yang sudah berusia ratusan tahun. Pohon itu berdiri kokoh di tengah padang rumput, seolah menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Maya duduk di bawah pohon itu, memandang langit yang perlahan berubah warna menjadi oranye keemasan. Dia memikirkan kehidupannya, keluarganya, dan cintanya pada Johannes. Dia tahu bahwa cinta mereka bukan hanya tentang mereka berdua. Ada dunia di luar sana yang tidak akan membiarkan mereka bersama.

Tapi di saat yang sama, dia merasa bahwa cintanya pada Johannes adalah sesuatu yang begitu murni, begitu benar, sehingga tidak mungkin salah. Bagaimana mungkin cinta yang membuatnya merasa hidup menjadi sesuatu yang salah?

Saat matahari tenggelam di balik bukit, Maya merasa bahwa dia harus membuat keputusan. Dia tidak tahu bagaimana caranya, tapi dia tahu bahwa dia harus menemukan cara untuk melindungi cinta mereka, apa pun yang terjadi.

"Jika cinta ini adalah dosa, biarlah aku yang menanggung dosanya," gumamnya pelan, sebelum beranjak pergi, meninggalkan pohon tua itu sebagai saksi dari tekadnya.

Malam itu, Maya menulis surat untuk Johannes. Dia menuliskan semua perasaannya, semua ketakutannya, dan semua harapannya.

"Johannes,

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita. Aku tidak tahu apakah dunia akan menerima cinta kita. Tapi aku tahu satu hal: aku mencintaimu, dengan segala ketulusan hatiku. Jika kau percaya pada cinta kita, maka aku juga akan percaya. Apa pun yang terjadi, aku ingin kau tahu bahwa kau selalu ada di hatiku.

Maya"

Setelah selesai menulis, Maya menyelipkan surat itu ke dalam tasnya. Dia berencana untuk memberikannya kepada Johannes keesokan harinya, saat mereka bertemu lagi di pondok kecil mereka.

Maya tidak tahu bahwa surat itu akan menjadi salah satu dari banyak kenangan yang akan dia simpan di hatinya, sebagai bagian dari cinta yang terhalang oleh waktu dan dunia yang tidak berpihak pada mereka.