Chereads / LOVE IN TWO ERAS / Chapter 1 - Penghujung Jaman

LOVE IN TWO ERAS

🇮🇩Novie_Pay
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.6k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Penghujung Jaman

Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, menciptakan semburat jingga yang menyelimuti perkebunan teh di lereng Gunung Patuha. Suara gemerisik daun teh yang bergoyang tertiup angin berpadu dengan kicauan burung, menciptakan harmoni alam yang menenangkan. Namun, di balik keindahan itu, tersimpan kehidupan yang penuh batasan dan ketidakpastian.

Maya, seorang gadis muda berusia 22 tahun, sedang sibuk memetik daun teh di ladang bersama para pekerja lainnya. Kulitnya yang kecokelatan berkilauan oleh keringat, sementara sehelai kain melingkar di kepalanya untuk melindungi wajah dari teriknya matahari siang. Wajahnya yang sederhana namun memikat sering kali mencuri perhatian, meskipun Maya selalu berusaha menyembunyikan dirinya di tengah kerumunan.

"Maya, lebih cepat sedikit. Langit sudah mulai gelap," seru Bu Ratmi, pengawas lapangan, dengan nada tegas namun penuh perhatian.

"Baik, Bu," jawab Maya, sambil mempercepat gerakan tangannya. Dia tahu bahwa pekerjaannya harus selesai sebelum malam tiba, atau keluarganya tidak akan mendapatkan upah penuh hari itu.

Setelah jam kerja selesai, Maya berjalan perlahan menuju rumahnya yang sederhana di pinggir desa. Jalannya melewati jalan setapak yang dikelilingi pohon-pohon besar, dengan suara serangga malam mulai menggema di udara. Di kejauhan, terlihat rumah-rumah pekerja lain dengan lampu minyak yang menerangi jendela kecil mereka.

Ketika Maya tiba di rumah, ibunya sedang duduk di beranda sambil merapikan anyaman bambu. Wajahnya tampak lelah, namun dia tetap menyambut Maya dengan senyuman hangat.

"Bagaimana hari ini di kebun, Nak?" tanya ibunya.

"Seperti biasa, Bu. Tapi hari ini daun teh lebih banyak yang layak dipetik," jawab Maya sambil duduk di samping ibunya. Tangannya yang kecil dan kasar mulai membantu menyelesaikan anyaman itu. Keduanya bekerja dalam diam, menikmati kehangatan satu sama lain di tengah kehidupan yang penuh perjuangan.

Malam itu, setelah makan malam sederhana, Maya berbaring di tikar bambu di bawah atap rumahnya yang rendah. Pandangannya tertuju pada langit-langit, pikirannya melayang jauh. Meski tubuhnya lelah, hatinya terus berdebar memikirkan pertemuannya pagi itu di perkebunan.

Johannes van Houten, seorang pria muda Belanda yang baru tiba di Indonesia beberapa bulan lalu, adalah pengawas baru di perkebunan teh tempat Maya bekerja. Penampilannya yang rapi dengan rambut pirang dan mata biru langsung menarik perhatian banyak orang. Namun, tidak ada yang menyangka bahwa pria muda itu memiliki kelembutan yang jarang terlihat pada pengawas kolonial lainnya.

Pagi tadi, Maya tanpa sengaja menumpahkan keranjang daun teh di dekat Johannes. Dengan wajah panik, dia buru-buru mencoba mengumpulkan kembali daun-daun itu, sementara Johannes hanya berdiri di sana, memandangnya dengan senyuman kecil di wajahnya.

"Tenang saja. Tidak apa-apa," katanya dalam bahasa Indonesia yang terpatah-patah.

Maya terkejut mendengar nada suaranya yang ramah. Dia mendongak dan melihat pria itu tersenyum padanya. Wajahnya memerah, dan dia buru-buru menunduk kembali.

"Maaf, Tuan. Saya ceroboh," katanya sambil menghindari tatapan mata Johannes.

"Nama kamu siapa?" tanya Johannes tiba-tiba.

Maya terdiam sejenak sebelum menjawab, "Maya, Tuan."

"Maya," ulang Johannes, seolah mencoba merasakan nama itu di lidahnya. "Nama yang indah."

Maya tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya mengangguk pelan sebelum bergegas pergi, meninggalkan Johannes yang masih memandanginya dengan penuh rasa ingin tahu.

Kembali ke malam itu, Maya memegang selimutnya erat-erat. Hatinya dipenuhi oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Dia tahu siapa Johannes, tahu batas-batas yang ada di antara mereka, tapi mengapa dia tidak bisa berhenti memikirkan senyuman pria itu?

Di luar rumah, suara jangkrik dan angin malam terdengar jelas. Maya memejamkan mata, mencoba melupakan wajah Johannes, namun semakin dia mencoba, semakin wajah itu terpatri dalam benaknya.

Sementara itu, di rumah besar milik administrasi perkebunan, Johannes duduk di meja kerjanya. Sebuah buku catatan terbuka di depannya, tapi pikirannya melayang ke arah lain. Dia memikirkan Maya, gadis yang baru saja dia temui pagi tadi. Ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda dari orang lain yang pernah dia temui di tanah jajahan ini.

"Johannes, kamu di sini rupanya," suara seorang pria memecah lamunannya. Itu adalah Rudolf, rekan sesama Belanda yang lebih tua darinya.

"Ya, aku sedang mencatat laporan," jawab Johannes, menutup bukunya dengan cepat.

Rudolf tertawa kecil. "Kamu harus keluar dari kantor ini sesekali. Jangan terlalu serius. Nikmati saja hidup di sini. Banyak hal menarik yang bisa kamu temukan di Hindia."

Johannes hanya tersenyum tipis. Dia tahu apa yang dimaksud Rudolf, tapi hatinya tidak tertarik pada kesenangan seperti itu. Perhatiannya kini tertuju pada sesuatu yang jauh lebih mendalam, sesuatu yang bahkan dia sendiri belum sepenuhnya pahami.

Pagi berikutnya, Maya kembali ke perkebunan dengan keranjang di tangannya. Namun, kali ini, langkahnya terasa lebih berat. Dia tidak tahu apakah dia ingin bertemu Johannes lagi atau justru menghindarinya. Tapi takdir sepertinya sudah memutuskan untuk mempertemukan mereka.

Saat Maya sibuk memetik daun teh, dia mendengar langkah kaki mendekat. Ketika dia menoleh, dia melihat Johannes berdiri di sana, dengan senyuman yang sama seperti sebelumnya.

"Selamat pagi, Maya," sapanya.

Maya terkejut, tapi dia mencoba bersikap tenang. "Selamat pagi, Tuan," jawabnya pelan.

"Kau tidak perlu memanggilku Tuan. Panggil saja Johannes," katanya.

Maya terdiam, bingung harus berkata apa. Tapi sebelum dia bisa menjawab, Johannes melanjutkan, "Aku ingin tahu lebih banyak tentang tempat ini. Mungkin suatu hari kau bisa menunjukkan padaku?"

Maya menatapnya dengan ragu, tapi ada sesuatu dalam tatapan mata Johannes yang membuatnya merasa nyaman. Mungkin, hanya mungkin, dia bisa mempercayai pria ini.

"Baik, Tuan... maksudku, Johannes," jawab Maya akhirnya.

Senyuman Johannes semakin lebar. Dan di bawah langit biru yang cerah, sebuah kisah cinta yang rumit mulai terjalin, tanpa mereka sadari betapa besar rintangan yang menunggu di depan.