"Hilang!"
Kepanikan Sangga di dalam kamarnya menarik perhatian teman-teman di ruang santai.
"Kuy, samperin!" ajak Kevin.
Gibran dan Dimas serta Alleta juga Adara segera bangun menghampiri sumber teriakan. Mereka terkesiap di ambang pintu begitu sehelai kain dilempar Sangga mendarat manis di wajah Kevin.
Serentak melepas tawa kecuali Kevin yang menyambar kaus hitam milik Sangga.
"Kena muka gue!" seru Kevin kembali melayangkan baju.
Sangga tertoleh, gantian wajahnya tertimpuk baju. Yang lainnya tak reda ketawa merasa terhibur dengan pertunjukan di luar dugaan itu.
"Gawat, gue kehilangan barang! Lo semua bantu gue cari!" ujar Sangga memasang ekspresi tegang.
"Nyebar guys! Kita cari barang nih, bocah!" komando Kevin.
Menyerbu masuk ke dalam ruangan minim cahaya. Gibran menekan saklar lampu memudahkan pencarian.
"Innalilahi! Pakaian Lo berserakan di mana-mana, kamar Lo diterjang badai apa gimana? Udah mirip kapal pecah aja!" pekik Alleta sibuk memungut baju di lantai.
"Tahu lah, gue pusing!" bingung Sangga memijat pelipis.
Dimas membuka kaca jendela sembari menerka random. "Mungkin loncat ke sini?"
"Bangsat," umpat Kevin dengan mata melirik.
"Coba ingat-ingat terakhir kali Lo simpan di mana? Mustahil barangnya hilang tanpa sebab," kata Gibran seraya menyingkap ujung selimut.
"Bentuk barangnya kayak gimana? Percuma kita nyari ke sana kemari kalau enggak tahu nama barangnya apa? Gue berani taruhan sampai ayam jantan bertelur pun, barang yang kita cari enggak akan ketemu!" seru Adara.
Masuk akal.
Kegiatan mereka terputus. Sangga terduduk lemas di atas tumpukan pakaian hasil dikumpulkan Alleta membuat perempuan berbaik hati itu, mengerang kesal setengah mati.
"Cincin pernikahan gue hilang," adu Sangga.
Di saat Gibran, Kevin, Dimas dan Alleta menjatuhkan rahang karena terkejut. Adara menggelepek pingsan. Untungnya Alleta paling dekat berdiri di sisinya langsung konek menangkap Adara.
Sangga menelan ludah baru sadar adiknya mendengar benda rahasia bukti pernikahannya dengan Natasha, hilang.
*
"Kok nyalahin kita! Salahin mulut Lo ceroboh ngomong depan Adara!" sergah Kevin.
"Parah Lo jadi orang. Kita seenak jidat main disalahin, gue setuju ucapan mengelak Kevin, salahin aja mulut Lo ngomong sembarangan!" marah Alleta tidak terima.
"Bendera putih berkibar!" lerai Dimas mengacungkan kaus putih dililitkan di gagang sapu, karya cemerlang bikinan Gibran untuk mencegah perselisihan.
Gibran merangkul pundak cowok tampak frustasi, membisikan kata pendorong di telinga kanannya. "Adara berhak tahu hubungan diantara Lo dengan Natasha. Jangan takut, begitu Adara siuman bicarakan semuanya tanpa ada hal ditutupi lagi."
Sangga lelah hidup dibayangi banyak kebohongan atas perbuatannya. Gibran benar, jangan takut membongkar kebenaran.
"Akui segala kebodohan Lo. Semakin lama menabung kebohongan semakin banyak hati orang-orang yang sayang sama Lo, tersakiti." Tambah Dimas.
Atmosfer mendadak berat. Sangga menghela nafas, mengangguk berani menghadapi situasi.
"Adara hidup!" seru Kevin.
Pandangan mereka tertuju pada jemari lentik Adara yang bergerak pelan, suasana panas sekejap menjadi dingin, mereka menunggu kelopak mata itu terbuka sempurna.
"Mas Sangga," gumam Adara.
"Aku di sini," gugup Sangga, menggenggam dingin sebelah tangan adiknya.
"Kabar pernikahan itu ternyata benar?" lirih Adara.
Sangga menunduk sesal, mencium takdzim punggung tangan Adara.
"Natasha cemburu lihat scene romantis ini," celetuk Kevin.
"Mana ada cemburu ke adik ipar sendiri, dasar jomblo!" cibir Gibran.
"Heh, mentang-mentang kita sesama jomblo, iri? Bilang bos!" sewot Kevin.
"Berisik!" tegur Sangga, terusik.
Kevin dan Gibran mengunci mulut, diam-diam saling melempar tatapan membunuh, menyalahkan satu sama lain.
Adara menarik tangan dari pegangan Sangga, beringsut duduk sandaran di tempat tidur.
"Aku keliru menyembunyikan rahasia pernikahan dan Natasha dari kamu. Aku pengecut takut mengungkapkan segalanya ke kamu karena aku terbiasa menanggung beban perasaan seorang diri. Aku takut memberitahu hal sakral ini, takut setelahnya kamu kepikiran dan jatuh sakit. Sorry, belum bisa menjadi kakak baik buat kamu," ungkap Sangga benar-benar menyesal.
Alleta duduk di samping perempuan berhati rapuh yang kini meneteskan air mata. "Kakak Lo bukan manusia sempurna, adakalanya selalu di jalan lurus kemudian lupa pilih berbelok. Sangga tulus minta maaf sama Lo," ucapnya.
Dimas naik ke kasur, membaringkan tubuh di sisi kosong dekat Adara, menyimak keseriusan Sangga meminta maaf, dan keputusan tetap ada di tangan Adara.
"Aku capek menjalani situasi menekan seperti ini. Kita adalah sepasang kakak dan adik, udah seharusnya menjalin hubungan senormal layaknya keluarga. Qiara Natasha sekarang kakak ipar kamu, dia istri aku. Terima atau tidak kenyataan takkan berubah, aku harap kamu berdamai dengan perasaan kamu," tandas Sangga bangun berdiri.
"Please, jangan tinggalin aku!" isak Adara mencekal pergelangan tangan Sangga.
Pertahanan Sangga membendung air mata tak sanggup dikendalikan lagi hingga akhirnya menangis dan kembali duduk, langsung membawa Adara ke dekapan.
"Mulai sekarang dan selamanya, kita terhubung sebagai kakak dan adik?" tanya Sangga.
Adara mengangguk kalah, melawan perasaan membuncahnya selalu merindukan pelukan hangat ini. "Janji."
Dimas, Gibran, Kevin serta Alleta, berbarengan menyeka air mata. Terharu menjadi saksi atas kelarnya masalah pribadi Sangga dan Adara.
Pelukan terlerai, Adara meminta Sangga tetap duduk di sini ditemani teman lainnya sebelum ia bergegas turun menuju kamarnya.
Selang beberapa menit, Adara balik ke kamar Sangga dan menyerahkan kotak merah beludru yang disimpannya dalam tas sekolah.
"Ini, kan!" Sangga tak percaya menatap kotak perhiasan dianggapnya hilang.
"Setelah kepergian Abang meninggalkan rumah. Aku nemu itu di lemari pakaian Abang," gemetar Adara, menahan tangis.
"Adara—"
"Aku egois. Maaf." Adara menyela cepat ucapan Sangga.
Adara tersenyum tegar, menyembunyikan serpihan hati dan mengambil kotak beludru, membukanya. "Benda ini bikin Abang panik? Ambil, pakai di jari manis. Natasha enggak boleh couple sendirian."
Cincin tak jua diambil. Adara mengeluarkan perhiasan cantik tersebut dan menyematkannya di jari manis tangan kiri Sangga.
"Happy wedding, my brother."