Chereads / KEJEBAK CINTA / Chapter 45 - Selalu Mencintaimu

Chapter 45 - Selalu Mencintaimu

"Tiba di Istanbul, gue merindukan kalian terkecuali Kevin dan Gibran," ungkap Rahsya.

"Gue aja cuma dirindukan," tergelak Dimas.

"Ck, emangnya siapa yang berharap dirindukan sama Lo!" dengkus Kevin.

"Dirindukan atau tidak, endingnya udah ketebak nanti Lo pulang lagi ke sini dan ketemu gue. Sekarang mau sombong gimana lagi, Lo?" sahut Gibran.

"Tapi bo'ong, mana bisa pilih kasih ke teman-teman terbaik yang gue punya. Serius, gue bakalan kangen mengenang kebersamaan dengan Lo bertiga, selama gue dan Naura pergi, tolong temani Adara jangan mengacuhkannya seperti yang udah-udah, kalau kalian sedia mematuhi perintah ini, gue berhutang jasa atas kebaikan Lo semua," tutur Rahsya.

Dimas menepuk pundak sahabatnya. "Misi Lo selesai dengan baik. Sisanya serahkan penyembuhan Adara ke kita bertiga. Tahu-tahu saat Lo pulang, Adara sembuh."

"Gue bantu Adara sembuh," ucap Kevin.

"Gue juga," timpal Gibran.

"Thanks."

Rahsya merentangkan kedua tangan, meraup tiga kawannya untuk di peluk, kemudian di balas hangat oleh para remaja itu sebagai tanda solidaritas.

"Pelukannya udah?"

Senyum Rahsya makin melebar tatkala Naura, Adara juga Kinan mendekat saling gandengan tangan.

"Sebelum keberangkatan Abang dan Kakak ipar ke luar negeri, gue mau mengabadikan momen indah bersama kalian. Kita foto bareng, yuk?" ajak Adara.

"Boleh tuh! Yuk, merapat!" seru Kevin.

Rahsya memposisikan jongkok di tengah, sebelah kanan dan kirinya diikuti Dimas, Gibran lalu Kevin dengan satu lutut masing-masing menyentuh permukaan paving serta kedua tangan mereka terlipat depan dada menopang di atas lutut satunya lagi.

"Kalian berdiri di belakang, pose lipat tangan juga kayak kita biar setara," kata Rahsya.

Mengangguki request, para cewek mematung di barisan punggung lelaki, bergaya sesuai tema 'Kenangan'.

"Bro, sini sebentar!" panggil Rahsya.

Seorang pejalan kaki berbelok menghampiri.

"Boleh tolong fotoin?" the points Rahsya sembari melepas kamera digital mengalung di leher.

"Please!" serempak puppy eyes.

Orang asing itu tak ada pilihan, mengambil kamera dan melangkah mundur berancang-ancang menangkap gambar.

"Dalam hitungan tiga, siap!" orang asing memberi aba-aba.

Naura mengangkat tangan. "Tunggu."

"Kenapa Nau?" tanya Kinan.

"Kita melupakan orang tua," jawab Naura.

Perempuan berbando kelinci lari menuju sudut lapangan pesawat, meraih pergelangan Bu Salma dan Pak Aksan yang hanya memperhatikan sedari tadi.

"Dilarang nolak. Papa, Bunda, wajib ikutan berfoto," tegas Naura.

Pak Aksan dan Bu Salma tersenyum pasrah mengikuti langkah Naura.

"Saya sebelah kiri Kinan, Ibu sebelah kanan Adara, formasi seperti ini secara langsung merangkap semua anak-anak," ujar Pak Aksan.

"Saya setuju." Bu Salma berdiri di samping putri kesayangannya.

"Tatap ke arah depan, siap!" seru pemegang kamera.

Satu,

Dua,

Ckrek!

Tujuh kali jepretan kamera mengabadikan foto Big Familly yang tersenyum cerah.

"Gantian pakai ponsel gue!" pinta Adara.

Lelaki itu mengembalikan kamera ke pemiliknya dan mengambil handphone Adara, lalu mundur lagi bersiap memotret.

Sesi berfoto selesai. Semuanya berseru riang dan segera mengerubungi pasangan muda hendak dilepas jauh. Sedangkan orang asing tadi sudah pergi setelah menyerahkan ponsel Adara.

"Have a nice trip!"

...

Pesawat ditumpangi Naura, Rahsya dan seorang tangan kanan Pak Aksan bernama Nichol, akhirnya lepas landas meninggalkan negara Indonesia.

"Detik-detik berpisah dengan orang terdekat sangat mengharukan, air mataku terkuras deras, aku enggak mau jauh dari Papa, aku mau turun, kumpul lagi sama mereka," isak Naura.

Rahsya merangkul erat Naura, memahami perasaan berat meninggalkan sang Papa.

"Kita perginya enggak akan lama cuma satu pekan liburan di sana. Nangisnya udah ya, malu diliatin penumpang lain nanti ngiranya aku apa-apain kamu," bisik Rahsya.

"Berjauhan dari Papa bikin aku takut kehilangan orangtua. Mama aku udah ninggalin kita kalau aku enggak ada di sisi Papa, aku enggak sanggup bayangin Papa sewaktu-waktu pergi ninggalin aku," adu Naura mengutarakan ketakutannya.

"Enggak sayang, semua baik-baik aja kamu jangan mikir yang aneh-aneh. Sekarang pejamkan matamu, redakan tangisanmu, biarkan aku meresap kekhawatiranmu terhadap hal-hal negatif tengah kamu rasakan," kata Rahsya berusaha menenangkan.

Naura memejamkan mata, meredam isakan yang mana lama-kelamaan membuatnya lelah dan jatuh tidur.

Rahsya tersenyum sendu merasakan getaran takut kehilangan orang tua. Namun pikiran jeleknya cepat dienyahkan dengan mengalihkan pandangan pada Pria duduk di kursi deret kiri, bersebelahan dengannya.

"Non cantik masih menangis?" tanya Nichol.

"Udah enggak," jawab Rahsya.

Nichol mengangguk.

Mengamati ekspresi datar Pria berjas formal itu, Rahsya mengernyit dahi. "Om, kedinginan? Perutnya belum diisi makanan?" terka nya.

"Saya sudah makan."

"Terus kenapa air mukanya enggak nunjukin ekspresi lain, selain acuh. Sejak pesawat ini terbang, gue perhatiin wajah Om gitu-gitu terus," lanjut Rahsya menggunakan kosakata non baku, sebab lawan bicaranya salah satu karyawan di kantor Papa mertua.

Jadi, tidak apa-apa, kan?

Nichol tampak tidak memusingkan cara berinteraksi bocah itu, justru meladeni obrolan dengan dingin. "Dari lahir, muka saya memang gini, agak tidak bersahabat."

Selanjutnya Rahsya tertawa, baru sadar sudah mengolok wajah Nichol yang sedatar tembok.