Chereads / KEJEBAK CINTA / Chapter 46 - Selalu Mencintaimu

Chapter 46 - Selalu Mencintaimu

Jarak tempuh Indonesia ke Abu Dhabi menghabiskan kurang lebih 12 jam. Menjelang pukul 19:00 malam bagian waktu Istanbul, mereka bertiga akhirnya tiba di sebuah hotel berbintang.

"Om Nichol, kondisi kita lelah banget jadwal tournya besok aja lah gue mau istirahat, kasihan juga Naura udah tepar duluan di gendongan gue," keluh Rahsya.

Keseharian Nichol biasa bepergian jauh lalu ditantang perjalanan hari ini tidak terlalu banyak menguras energi hanya saja tubuhnya dibanjiri keringat, tidak semengenaskan seperti Rahsya memasang wajah tersiksa.

Nichol menatap Naura yang pingsan di gendongan punggung Rahsya, memprihatinkan.

"Baiklah, silakan masuk." Nichol membuka pintu kamar.

Setelah melakukan registrasi pemesanan kamar di meja resepsionis beberapa menit sebelumnya, Rahsya berjalan gontai memasuki ruangan luas nan mewah ini.

"Butuh bantuan membaringkan Non cantik?" tanya Nichol setia mematung di ambang pintu.

"Enggak usah, Gue bisa sendiri! Adanya kalau dibantuin, Om keenakan megang Naura," tolak Rahsya. "Tolong simpan aja koper gue dekat meja rias," sambungnya memerintah.

Nichol menatap datar, menyeret koper berat berisi pakaian pasangan muda tersebut.

"Jika membutuhkan bantuan saya tinggal tekan tombol pintu kamar diseberang Tuan. Itu kamar saya," kata Nichol.

"Iya, Om, makasih."

Nichol pamit, menarik daun pintu kamar di belakangnya dan menutup rapat.

Rahsya duduk di tepi ranjang, hati-hati menidurkan koala cantik nempel di punggung.

"Gerah banget mending dahuluin mandi, lagian bosan juga nunggu Naura siuman," monolog Rahsya lantas beranjak ke kamar mandi.

Naura baru saja kembali sadar, celingak-celinguk mencari tahu keberadaannya kini. "Ruangan asing. Apa ini hotel yang dikatakan Om Nichol?" gumamnya kebingungan.

Glek!

Daun pintu di seberang selatan di putar seseorang, berhasil mengalihkan atensi perempuan berjaket tebal tengah rebahan di atas kasur.

"Pusing sama mual nya udah hilang? Sekarang rasanya gimana?" todong pemuda berlilitan handuk melingkari pinggang.

"Sedikit pusing," jawab Naura.

"Hirup lagi aroma caplang biar cepat berangsur pulih atau mau aku pijitin punggung kamu, siapa tahu penyebab kamu pingsan pas di tengah jalan karena masuk angin?" sambung Rahsya mendekati.

"Emang masuk angin cuma sekarang udah agak mendingan enggak separah kayak tadi. Aku gerah mau mandi juga," balas Naura memaksa bangun.

"Aku gendong sampai dalam, kamu mandi air hangat supaya suhu tubuh kamu kembali normal. Lagian enggak lucu semisal kamu beneran sakit, besok jadwal keliling Istanbul, masa aku berduaan sama Om Nichol!" ujar Rahsya.

Naura menjatuhkan tatapan ke pangkuan, belum berani memindai terang-terangan keseksian tubuh suaminya, walaupun di rumah sering melihat Rahsya seperti ini. Namun suasana kali ini sungguh berbeda dan mendebarkan jantung, mengingat tujuan liburan ke sini adalah untuk 'memadu kasih'.

"Lepas jaket kamu," titah Rahsya.

Dengan wajah memanas, Naura membuka jaket menyisakan kaus merah melekat di tubuh atasnya.

"Ini harus dicopot," tambah Rahsya menarik lepas bando kelinci.

"Lebih baik kamu pakai baju, lagian sepasang kaki ku sanggup menghantarkan ku ke kamar mandi," usir Naura.

"Alasan. Bilang kamu malu diliatin aku, asal kamu ingat ya, Papa dan Bunda nyuruh kita menginap di hotel ini bukan semata untuk tidur. Mereka ingin kita bersenang-senang membuat cucu, paham?" papar Rahsya.

"Aku tahu."

"Ya terus kenapa masih malu?" heran Rahsya.

Naura mengepalkan tangan, mendadak bo doh tidak mengetahui tutorial bikin anak.

"Jawab pertanyaanku, kenapa selalu malu?" desak Rahsya.

"Aku bingung gimana cara melakukannya!" ungkap Naura.

Kejengkelan Rahsya pudar seketika tergantikan seutas senyuman nakal.

"Aku tahu caranya, mari belajar dengan suami."

...

Hari semakin larut, sementara dua insan di atas tempat tidur yang empuknya kelewatan sedang dimabuk cinta semakin menyala terbakar api ingin saling memiliki.

Sekilas Rahsya cium bi bir Naura, merunduk kembali melakukan tugasnya dalam hal me mu as kan.

Naura membalik posisi seketika Rahsya terkejut dengan anggunnya sang istri menyibak rambut panjang berantakannya.

"Capek belum?" terengah Naura.

"Belum." Rahsya mencuri cium buah da da terpampang di depan mata.

Naura melenguh tipis menikmati sensasi spesial diberikan Rahsya.

"Kamu siap terima be nih kecebong aku?" Rahsya memastikan, mengelus-elus punggung Naura.

"Sakit enggak?" cemas Naura.

"Enggak tahu, belum punya pengalaman soalnya. Kita coba bersama kalau ngerasa sakit, aturannya kamu boleh cakar aku, gigit aku, peluk aku, mende sah kan nama aku, dan mencengkeram sprei. Di luar lima hal itu aku melarang kamu mencari pegangan lain," jelas Rahsya.

"Ya udah, aku siap." Imbuh Naura.

Tidak mengulur waktu, Rahsya membalik posisi kesemula memudahkan akses mencumbu setiap inci tu buh Naura yang terkurung di bawahnya.

De sa ha n Naura tak tertahankan, jambakan rambut serta tancapan kuku di pundak langsung di dapat Rahsya begitu menginjak puncaknya cinta.

Naura merintih kesakitan bagian intinya berhasil diterobos oleh 'sen ja ta', milik Rahsya.

"Maaf," ucap Rahsya dengan nafas tersengal, bulir keringat berjatuhan dari dagunya membuktikan perjuangannya mencapai ha s rat benar-benar luar biasa.

Naura meredam tangis, sementara Rahsya tertegun memberi jeda reaksi, sibuk mengatur nafas.

"Jangan terburu-buru melakukannya aku tahu kamu merasakan sakit sekarang jalan pelan aja," kata Naura, nafasnya tak kalah memburu merasakan kesesakan di area sen si tif.

Maka tanpa sepengetahuan Rahsya diam-diam Naura belajar rileks menerima kontak fisik se in tim saat ini.

"Sekali lagi maaf kalau ini menyakiti kamu. Aku akan melakukannya dengan baik," ucap Rahsya, berat.

Naura mengangguk percaya, mengulas senyum ketika Rahsya menautkan sepuluh jemari tangan dengan jemarinya.

"Pelan," mohon Naura, tubuhnya ikut memantul seirama hen ta kan demi hen ta kan diterima.

"Ini udah ... pelan!" desis Rahsya patah-patah disela kegiatan.

"Rasanya tetap sakit! Bisa lebih halus?" protes Naura.

"Apa? Kamu minta mainnya dipercepat? Bisa, bisa banget!"

"Bukan—akh!" penolakan Naura terpotong lajuan meningkat gerakan Rahsya sehingga apa yang lolos dari bibirnya cenderung de sa ha n.

...

Menyingsing pagi, silau mentari menyadarkan Rahsya dari buaian syahdunya malam.

"Capek banget ya, kamu? Sampai-sampai jam segini malas bangun," kekeh Rahsya.

Dielusnya pipi mulus Naura lengket bekas keringat, sapuan jemari Rahsya merayap turun ke jenjang leher di mana banyak ruam kemerahan tanda kepemilikan dilabuhkannya berada.

Rahsya tersenyum makna mengecup sayang kening Naura dan sedikit iseng mengigit bibir bawahnya.

"Sakit," ringis Naura.

"Kita awali pagi dengan mandi bareng. Ayok, bangun," ajak Rahsya.

"Aku mandi setelah kamu tanggung nih masih ngantuk," tolak Naura berbalik memunggungi.

"Aku tunggu kamu sampai enggak ngantuk udah itu kita mandi bersama, titik!" tegas Rahsya.

"Serah."

Gemas. Rahsya menarik pinggang Naura membalik paksa menghadap ke arahnya lalu mendusel-dusel wajah keceruk leher istrinya.

"Sayang, ayok mandi keburu Om Nichol ganggu waktu kita," ganggu Rahsya.

Naura menggeliat nyaman tidak perduli buah da da nya kini bebas dibelai manja telapak tangan Rahsya.

"Mau minum ultra milk dari sumbernya langsung? Kebetulan si kembar lagi gatal, aneh juga sih, padahal semalam udah di hi sap kamu tapi pagi ini gatal banget," keluh Naura menatap sayu.

"Kangen digigit mungkin?" goda Rahsya.

"Enggak tahu."

"Ya udah, sini aku bantu sembuhin," putus Rahsya menyelinap sembunyi ke dalam selimut.

"Enggak papa aku lanjut bobo?" izin Naura.

"Bobo aja nanti siang, aku bangunin kamu," balas Rahsya.

Naura menguap kecil, meluruskan diri membiarkan Rahsya di dalam selimut meng him pit tubuh, nyaman dengan posisi penuh kehangatan seperti ini perlahan kelopak matanya terpejam, kembali tidur.