"Om, jalan-jalan ke luarnya pindah jadwal ke hari ketiga, nanggung kondisi Naura kurang memungkinkan buat ikut keliling. Gue enggak mau happy-happy tanpa dia, harap maklum ya, Om? Janji deh, sisa harinya kita keliling bareng!" kilah Rahsya.
"Non cantik demam? Coba saya cek keadaannya jika kondisinya memburuk, kita larikan ke rumah sakit terdekat sekitar kota ini. Saya tidak bisa mengabaikan kesehatan putri Pak Aksan, beliau sudah mempercayakan Non cantik kepada saya, jadi biarkan saya masuk," celoteh Nichol.
"Sebenarnya kondisi Naura jauh dari kata sakit cuma kecapean aja sih, Om enggak perlu bertindak lebih, gue udah beri minum obat pegal linu dan anti-demam nanti hasilnya bakal sembuh. Udah, sekarang terserah Om mau melakukan aktivitas apapun di luar sana, intinya gue sama Naura butuh istirahat total," balas Rahsya.
"Obat pegal linu dan anti-demam? Obat macam apa itu?" tanya Nichol.
Rahsya menghembus gusar, kesabarannya diuji oleh tangan kanan Papa mertuanya yang cukup cerewet.
"Itu Om, untuk masalah pegal linu letak obatnya ada dipijitan kalau anti-demam, gue kasih Naura obat pelukan. So, Naura meriang dikit gara-gara merindukan kasih sayang suaminya," jelas Rahsya.
Nichol berdeham samar. "Saya mengerti. Baiklah, kalian berdua tetap berada di dalam kamar, saya pamit ke luar membeli makanan untuk Non cantik dan Tuan," pungkasnya seraya berlalu.
"Tunggu Om!" seru Rahsya.
Pria belum jauh melangkah memutar seluruh tubuh, menatap dingin pemuda merupakan menantu dari atasannya itu.
"Gue nitip roti terenak paling populer di kalangan masyarakat penduduk sini," pinta Rahsya.
"Baik," patuh Nichol lekas menyambung langkah.
Berhasil mengerjai pria pemilik satu ekspresi itu, Rahsya menertawai permintaan out off the box baru saja dilontarkannya.
"Mulai isengin orang lain, mana sasaran kejahilannya bawahan kepercayaan Papa, kamu enggak mikir takut Om Nichol mendatangi satu per satu semua toko roti di negara ini? Nyari-nyari pesanan aneh barusan kamu yang jawabannya ada di mana-mana," omel Naura mendekat dengan langkah terseok dikarenakan area sen si tif nya masih perih.
Cekatan menutup pintu kamar. Rahsya balik ngambek dibuat kaget atas kecerobohan Naura yang berani meninggalkan tempat tidur.
"Udah diperingatin jangan turun, keras kepala. Aku baca-baca di website artikel tentang selesai berhubungan, katanya perempuan disarankan beristirahat cukup agar mengurangi rasa sakit di bagian tertentu itu. Tapi kamu seenak udel bantah larangan suami! Gimana kalau kamu terkena infeksi? Nurut dong, apa kata aku. Lagi pula demi kebaikan kamu juga!" gerutu Rahsya.
Naura mengulum senyum, diperhatikan sepenuh hati oleh suami pada awal menurut pendapatnya sangat menyebalkan. Namun seiring berputarnya waktu ternyata di balik sombongnya sikap lelaki ini tersembunyi kepedulian level tinggi.
"Ngapain senyum-senyum? Aku serius marah!" kesal Rahsya.
"Bilang ke Om Nichol enggak usah berlebihan, ini kamu justru paling emosional khawatirin aku. Apa kamu enggak malu menelan omongan sendiri?" sindir Naura.
"Wajar lah, aku khawatirin kamu. Aku, kan, suaminya, beda cerita lagi dengan Om Nichol yang bukan siapa-siapa nya kamu. Sekali aku menegur Om Nichol, jawabannya bagus begitu langsung manggut ngerti posisi," tutur Rahsya.
Naura terkekeh kecil lalu berjinjit mengalungkan kedua tangan ke leher Rahsya dan mengecup lembut bibir membeo itu.
Rahsya memeluk pinggang Naura, membalas ciuman sama lembutnya.
"Marah-marah nya udah nanti cepat tua," ejek Naura sekarang tersenyum manis.
"Aku enggak keberatan cepat tua atau lambat asal menuanya bersama kamu."
"Bucin."
"Sekalipun dicibir lebay, alay, itu takkan mengusikku selama cara manis ini bikin kamu bahagia," enteng Rahsya mengangkat Naura mendaratkannya di atas meja berbentuk unik.
"Kamu mau ngapain?" bingung Naura.
"Manjain kamu lagi."
"Enggak mau, jejak pertama aja belum sembuh," lugas Naura pilih memeluk Rahsya dan menopang dagu di sebelah pundak.
Rahsya mengelus punggung Naura yang terasa tidak memakai lapisan apapun lagi, hanya mengenakan gaun piyama saja.
"Asumsi kamu ngeres banget siapa juga mau ajak bertempur lagi? Aku tawari kamu dimanja seperti ini, bukan melakukan kegiatan pa nas persis semalam," elak Rahsya.
"Nyebelin banget sih, salah kamu juga bicara ambigu jadinya aku mikir enggak-enggak!" malu Naura.
"Salah di kamu, siapa suruh main menyimpulkan tanpa bertanya lanjut."
"Pokoknya salah kamu! Lain kali menyampaikan sesuatu apapun itu minimal jelas biar lawan bicara kamu enggak gagal paham," debat Naura.
"It's okay, aku ngalah. Kamu menang, congrats!" mengalah Rahsya.
Naura tertawa pelan terhibur atas perdebatan sembrono dengan Rahsya, tidak menduga pernikahannya akan berjalan semanis ini.
"Impian kamu pengen punya anak berapa?" tanya Rahsya mengganti topik.
"Empat. Dua cewek, dua cowok. Yang cewek tumbuh cantik, yang cowok ganteng-ganteng. Kalau harapan kamu ingin berapa anak?"
Rahsya diam sejenak dan memberi jawaban antusias, "Sepuluh anak!"
"Eh!"
"Iya, sepuluh. Bayangin, rumah kita rame ditambah aku dan kamu jumlahnya jadi dua belas! Pasti seru, di usia muda mengurus anak sebanyak itu, saat mereka menginjak usia remaja, kita berdua dikelilingi mereka semua!" heboh Rahsya menerawang jauh indahnya masa depan.
"Sepuluh itu angka besar. Aku merinding gimana proses melahirkan nanti bayangin tiap setahun sekali, aku lahiran! Berarti sepuluh kali aku mengandung, sepuluh tahun juga aku melahirkan!" bergidik Naura.
"Enggak papa dong, tugas kamu, kan, mencetak anak," santai Rahsya.
"Enak di kamu, sakit di aku!"
"Meski begitu kita berdua yang bahagia. Iya, enggak?" bisik Rahsya.
Naura tenggelam dalam lamunan termakan rasa takut menggambarkan masa-masa persalinan–melahirkan bayi sebanyak itu.
"Pelayan hotel udah anterin sajian makan siang, kamu udah nyobain seafood nya belum? Aku sempat nyobain lobster sama kepiting, daging nya empuk banget kalau jenis seafood lainnya aku enggak tertarik makan, menurut kamu gimana?" oceh Rahsya. "Apa jangan-jangan semua seafood kamu suka?" terkanya.
Hening.
"Naura, dengar aku enggak?" guncang Rahsya.
"Apa? Gimana?" beo Naura terenggut sadar.
"Ketahuan enggak nyimak. Capek-capek aku cerita tahu-tahunya ngomong sendiri. Kamu lamunin apa?"
"Mikirin kemauan kamu miliki sepuluh anak. Gimana kalau aku enggak bisa penuhi harapan kamu dan cuma mampu melahirkan setengah nya?" lirih Naura.
"Serius kamu lamunin itu?" kaget Rahsya.
"Menurut kamu!"
"Ngapain dipikirin, aku cuma bergurau jujur aja buat aku pribadi berapapun jumlah keturunan yang dititipkan Tuhan ke rahim kamu, aku akan terima dan syukuri. Mengenai sebuah harapan karena sifatnya bebas makanya aku asal jawab," terang Rahsya.
"Kan, nyebelin lagi! Abisnya jawaban kamu ketangkapnya serius, aku pikir emang beneran kamu dambakan sepuluh anak!" Naura makin kesal.
"Nyalahin aku lagi, kamu aja pembawaannya mudah baper, apa-apa diambil hati. Enggak boleh keterusan gitu sayang nanti gampang stres, enggak bagus bagi kesehatan kamu. Contohnya aku korban penyimpan beban perasaan selama bertahun-tahun sekarang nyesel kena dampak negatifnya jadi sering marah enggak berarti, kamu lihat sampai detik ini emosi aku kayak gimana?"
"Enggak stabil," sendu Naura.
"Iya. Emosi aku naik turun udah mirip roalcoaster maka dari itu, untuk segala perlakuan dan kata-kata sinis selama ini aku tunjukkan ke kamu, aku minta maaf."
"Enggak boleh menyalahkan diri sendiri. Aku yakin emosi tak stabil kamu bisa kembali normal, jangan bikin aku sedih dengan rangkaian kata-kata sedihmu lagi, ya." nasehat Naura ikut terluka.
Rahsya terharu, memeluk erat dan menenggelamkan wajah ke leher Naura.