"Sementara aku mandi, kamu packing pakaian kita. Jangan lupa belanjaan dari Grand Bazaar kemas juga buat oleh-oleh keluarga dan teman-teman kita yang ada di Indonesia," perintah Naura, lalu menutup pintu kamar mandi.
"Merepotkan," desis Rahsya mulai mengemas barang-barang.
Handphone berdering, Rahsya merogoh saku celana mengeluarkan benda canggihnya dan menerima panggilan.
"Waalaikumsalam, Pa." Jawab Rahsya.
"..."
"Pulang hari ini."
"..."
"Senang banget, makasih hadiah liburannya Pa. Ngomong-ngomong, gimana perkembangan adikku? Apa ada kemajuan?"
"..."
"Kabar bagus. Tolong sampaikan ucapan terimakasih ku kepada Bunda, Dimas, Gibran, Kevin juga Kinan, atas kepeduliannya mengurus Adara."
"..."
"Papa sehat-sehat di sana, bentar lagi kami bertiga Chek- out dari hotel. Sekarang lagi berkemas siap-siap pergi."
"..."
"Naura sedang mandi nanti aku sampaikan salam Papa."
"..."
"Iya. Waalaikumsalam, Pa."
Rahsya mematikan sambungan telepon dengan Pak Aksan. Kembali sibuk menata rapi pakaian ke dalam koper dan membungkus oleh-oleh ke dalam kardus.
"Sandwich gulung isi daging milik aku mana? Kok, enggak ada di meja!" teriak Naura sesudah membersihkan diri, perutnya lapar.
"Cari yang benar. Hilang juga enggak akan jauh di sekitar meja!" sahut Rahsya.
"Eh, ternyata sembunyi di bawah kemasan bekas snake! Kok, tinggal setengah gulungan sih? Kamu isengin aku, ya?" seru Naura.
"Sembarang. Dari tadi kamu asyik makan sendirian! Mana ada aku ikutan nguyah!" sanggah Rahsya.
Naura terkekeh, mendekati Rahsya sambil menggigit roti gulung berisian daging cincang dan sayuran matang.
"Mau nyobain?" tawar Naura.
Rahsya menatap perempuan berhanduk putih sebatas pa ha, di depannya. Menggigit sedikit makanan disodorkan Naura dan mengangguk-angguk. "Delicious," komentarnya.
"Pengen mandi ulang? Aku tungguin di sini," kata Naura.
"Ngapaian mandi ulang, buang-buang waktu," sinis Rahsya.
"Aku nanya baik-baik, kamu biasa aja jawabnya," gumam Naura.
Bungkam. Rahsya menelan makanan di mulutnya, menggeser Naura ke pinggir dan menarik resleting koper.
"Kamu marah kenapa, sih? Aku lakuin kesalahan lagi kah?" bingung Naura.
"Cepetan pake baju. Di lantai dasar, Om Nichol udah nungguin kita chek-out," ucap Rahsya.
"Jawab dong, kamu kenapa dulu?" tuntut Naura.
"Enggak kenapa-napa."
"Bohong. Kamu sembunyikan sesuatu dari aku, kan?" tuduh Naura.
"Enggak."
Gulungan sandwich habis. Naura menyipitkan mata, merasa tak beres dengan suaminya. Menghapus kata 'Malu', dalam kamus pernikahan. Naura inisiatif duduk di pangkuan Rahsya dengan sepasang tangan melingkari leher.
"Tatap mataku. Kamu ngambek gara-gara ajakan mandi bareng hari ini, ku tolak?" terka Naura.
"Enggak."
"Aku lihat di mata kamu tersimpan kebohongan. Iya, kan, kamu ngambek karena hal itu?" ngotot Naura melayangkan asumsi.
"Aku enggak mempermasalahkan hal itu, lagian udah basi tiga puluh menit lalu," dingin Rahsya.
Berpikir keras, benarkah bukan sebab hal itu. Naura melirik kedua tangan Rahsya menumpu di permukaan kasur, mengacuhkan pinggang ramping di hadapannya. Menggigit bibir, Naura cemas bagaimana jika suaminya tak suka memanjakannya lagi.
"Kamu enggak mau cium aku?" cicit Naura, frontal.
"Enggak."
Singkat, padat, jelas, penolakan Rahsya menohok hati. Naura tersenyum khawatir.
"Secepat ini? Kamu enggak sayang lagi sama aku? Apakah, alasannya kamu menyukai perempuan asing di kota ini?" overthinking Naura.
"Bukan urusan kamu."
Naura menatap lamat, mencari potongan dusta di antara dua bola mata hitam Rahsya. Namun, mata itu sulit diselami, terlalu dingin nan tajam.
"Aku enggak tahu penyebab kamu marah, ku harap dengan ini bisa menyembuhkan kemarahan tak berdasar kamu," ucap Naura.
Kemudian mencium bibir terkunci Rahsya. Kecewa tidak mendapat balasan, Naura menarik wajah. Mengusap lama bekas kecupan bertepuk sepihak.
"Jangan menggodaku, Naura," geram Rahsya mengepalkan tangan.
"Aku istri kamu. Kenapa enggak boleh menggoda? Apa mungkin, kamu cuma membolehkan perempuan lain untuk merayu? Sedangkan aku, enggak ada hak untuk ini?" tukas Naura.
Rahsya enggan mendebat, sebelah tangannya memeluk posesif. "Kamu memiliki hak lebih sekedar menggoda. Jadi, apa yang ingin kamu lakukan padaku?"
Naura menelan ludah. "Aku—"
"Udah ku duga, kamu enggak mampu berbuat lebih. Cukup Naura, tak perlu memaksakan apa yang bukan keahlianmu."
"Aku bisa menaklukkan kamu," gugup Naura.
"Benarkah?"
Terdiam, Naura kehilangan kata-kata.
"Menggoda dengan cara dipaksakan enggak akan membuatku tunduk. Pergilah, pakai baju kamu, aku tunggu di balik pintu."
Rahsya melonggarkan pelukan, menunggu Naura beranjak meninggalkan pangkuan.
"Aku menolak turun sebelum kamu tenang enggak marah lagi," ujar Naura.
"Aku enggak marah."
"Buktinya aku didiamkan, apa namanya kalau bukan dilanda marah?" gelisah Naura.
Dilatar belakangi kehilangan sosok Ibu, menjadikan Naura pribadi takut ditinggalkan orang tersayang, menurut pandangannya, sikap dingin cara halus orang menjauhinya. Stigma itu, terbukti saat membuka lembaran baru hidup di Asrama, menyedihkannya hanya bertahan sebentar karena orang-orang nyaris disayanginya memusuhinya dengan menunjukkan sikap dingin dan mengucapkan kata sinis terang-terangan.
Kendati miris, pada akhirnya semesta mendekatkannya kembali dengan orang-orang pernah menyakiti perasaan Naura. Hadir dalam versi terbaik mereka semua. Dan, kini, kesedihan menyelimuti relung, takut Rahsya berubah arah meninggalkannya.
"Untuk membuktikan aku enggak marah, kamu mau diapain sama aku?" tembak Rahsya membuyarkan lamunan istrinya.
"Jujur segalanya tentang apapun itu, termasuk alasan kamu bersikap dingin padaku," pinta Naura.
Rahsya menghela nafas, berat. "Aku kepikiran Adara," ungkapnya.