"Pegang tangan aku," suruh Rahsya.
Naura meraih uluran tangan Rahsya, dituntun meniti undakan anak tangga menuruni pesawat. Di belakangnya, Nichol mengawal dingin, rempong menyeret koper dan menenteng kardus.
"Indonesian, i'am comeback!" teriak Naura saat menginjak permukaan bandara.
Rahsya membebaskan Naura berlarian menikmati semilir angin dengan pengawasan di bawah Nichol.
"Gue kebelet buang air, titip Naura sebentar," pamit Rahsya.
"Baik, Tuan."
Selesai berurusan dengan kamar mandi, Rahsya mematri langkah mengacuhkan lalu lalang pejalan kaki di sekeliling, hingga insiden menabrak seseorang dari arah berlawanan tak dapat dihindari.
"Sorry," terburu Rahsya tanpa menatap.
Rahsya hendak menyambung langkah namun tertahan ketika perempuan tak sengaja ditabraknya meringis di tempat.
"Rambutku tersangkut. Diam sebentar, aku akan melepaskannya," kata perempuan tengah kesulitan melepas helaian rambut yang tersangkut dikancing kemeja.
Rahsya menepis tangan perempuan di depannya, mengusut helaian rambut tersangkut di biji kancing kemejanya.
"Udah," ucap Rahsya.
Perempuan berdres biru menarik mundur kepala, berdiri tegak merapikan rambut pirang panjangnya.
"Maaf, aku buru-buru jadi nabrak kamu. Kenalkan, namaku Syaqeela Queenzy," Aqeela mengulurkan tangan.
"Sangga Rahsya," balasnya menanggapi.
Aqeela memberi remasan pada genggaman membuat Rahsya tersenyum kecil memahami bahasa nyaman kontak fisik.
"Queen, kita berangkat pulang! Rekan kerja Papi sudah menunggu di lokasi," ajak Pria berdasi hitam, datang-datang merangkul Aqeela.
Aqeela menyudahi jabatan tangan dengan Rahsya. Memutar setengah leher menatap pemuda tampan di belakang, melambaikan tangan bentuk harapan jumpa di lain waktu, saat Herdian membawanya pergi.
"Tuan," panggil Nichol menghampiri.
Rahsya menoleh.
"Non cantik keseleo," lapor Nichol.
"Kenapa bisa?"
"Sepatu heelsnya tidak kuat dipakai lari-larian bahkan ujung bawahnya sampai patah. Saya sudah mengamankan Non cantik sekarang dia kesakitan di kursi sekitar sini," jelas Nichol.
"Antar gue ke situ," pinta Rahsya.
"Mari, Tuan."
Begitu mendapati Naura memasang ekspresi menahan sakit sambil memijat sebelah pergelangan kaki. Rahsya jongkok di bawah, memeriksa cedera pergelangan kaki Naura dan mulai membenarkan tulang yang sedikit bergeser.
"Aws, pelan-pelan," ringis Naura.
"Kaki satunya lagi, sakit enggak?" tanya Rahsya.
"Yang sakit cuma ini—aws, pelan-pelan!"
"Udah pelan. Tahan bentar ini tinggal diurut," beritahu Rahsya. "Dibilangin jangan pakai heels, keras kepala. Sekarang kena batunya, enak?" lanjutnya memarahi.
"Ya maaf, aku, kan, enggak tahu kalau bakal jatuh gini."
"Untung cuma keseleo coba kalau cederanya di kepala, bisa-bisa masuk rumah sakit! Sembuh kaki, main lagi sana, lari-larian kayak anak kecil biar kesandung lagi!" omel Rahsya.
"Iya, aku nyesel enggak dengar larangan kamu, maaf."
"Udah kejadian, enggak guna minta maaf juga!" ketus Rahsya.
Mata Naura mengembun, akhir-akhir ini sering dimarahi oleh Rahsya.
"Kenapa sih, kamu berubah?" tercekat Naura menahan tangis.
"Berubah gimana? Aku biasa-biasa aja," elak Rahsya.
Naura memalingkan muka ketahuan meneteskan air mata di depan Nichol yang sedari diam memerhatikan.
"Aku mau pulang," Naura menghapus kasar pipi basahnya, menelan tangis bulat-bulat ke dasar hati.
"Mobilnya udah siap, Om?" tanya Rahsya tanpa perlu menengok.
"Sudah Tuan," jawab Nichol.
Setelah mengurut, Rahsya bangkit berdiri, menggenggam tangan Naura, membantunya bangun.
"Aku bisa jalan sendiri," murung Naura.
"Ya udah." Rahsya melepaskan pegangan.
Belum sempat mengayunkan kaki, Naura dibuat menahan nafas sejenak ketika dengan ringannya Rahsya mengangkatnya ke gendongan.
"Nangis terus dasar cengeng," desis Rahsya mengejek.
Naura menenggelamkan wajah di dada Rahsya, terisak samar karena sakit hati. "Aku enggak minta kamu buat menggendong aku sekarang turunin aja."
"Yakin minta diturunin? Emang sanggup menuju mobil di pinggir jalan? Ngadi-ngadi," sinis Rahsya melangkah lebar mengikuti jejak Nichol meninggalkan lapangan pesawat.
"Aku salah apa sih, sama kamu? Di hotel marahin aku sekarang di sini musuhin aku, benar-benar tega!" isak Naura tak mampu menyimpan kekesalan.
Rahsya membisu mengabaikan tangisan Naura, memilih tegas membawa masuk ke perut mobil milik karyawan mertuanya, Nichol menginjak pedal gas, melesat pergi.
"Pulang ke rumah, jangan ke Sarasa Coffe," perintah Naura disela menyeka air mata.
"Baik Non," patuh Nichol.
"Lurus ke Cafe. Jangan belok ke rumah," tolak Rahsya.
"Aku enggak mau pulang ke Cafe!" protes Naura.
"Nurut kata suami," dingin Rahsya.
"Pokoknya aku enggak mau ke Cafe! Antar aku ke rumah!" ulang Naura.
"Ya udah, aku naik Taxi, kamu lanjutin pulang ke rumah."
"Mulai nyari masalah, kamu kenapa sih!" frustasi Naura.
"Melangsungkan hukuman buat kamu jalani karena berani pegang-pegang cowok lain pas di Istanbul."
"Masalah itu udah kelar. Masa kamu masih terusik! Ya ampun, aku enggak nyangka kamu tega nyakitin perasaan aku separah ini karena hal sepele udah jelas ku anggap selesai," tak habis pikir Naura.
"Sepele menurut kamu. Serius menurut aku."
"Jangan bilang cara kamu memperlakukanku dingin waktu mengemas barang di hotel, alasannya bukan kepikiran Adara?" todong Naura.
Rahsya tersenyum simpul. "Bukan."
"Iiih, nyebelin banget sih, kamu! Aku kira emang beneran mikirin Adara!"
"Enggak lah, ngapain mikirin Adara, udah bukan prioritas utamaku lagi. Walaupun aku harus memperhatikan hidupnya sampai melihat dia menikah. Adikku bukan prioritas pertamaku, lagi. Dia prioritas keduaku setelah kamu," tutur Rahsya melirik perempuan berwajah sembab di sisi nya.
"Apa lirik-lirik!" galak Naura terpengaruhi kesal.
"Enggak mau di peluk sama aku?" tawar Rahsya.
Naura melempar pandangan ke luar kaca mobil. "Enggak minat."
Rahsya menarik Naura ke pelukan, melabuhkan kecupan sayang ke puncak kepalanya.
"Sayang, maafin aku, ya? Bikin kamu kebingungan dan menangis, kamu tahu aku benci air mata perempuan, tapi dengan sengaja nya aku menguji kamu," sesal Rahsya.
"Lepasin. Aku enggak butuh permintaan maaf kamu, aku terlanjur sakit hati diperlakukan semena-mena oleh kamu," ungkap Naura berontak ingin lepas.
Rahsya mengunci pelukan, menggigit pelan pipi Naura supaya tidak berontak. Melalui kaca gantung, menyaksikan betapa impulsif nya menantu dari atasannya, Nichol kembali fokus menyetir.
"Malu diliatin Om Nichol!" jengkel Naura.
"Makanya jangan melawan."
Naura mendorong Rahsya menggunakan sisa tenaganya lalu memojokkan diri di kursi.
"Ya udah kalau enggak mau di peluk," pasrah Rahsya.
"Keputusannya saya antar kalian ke rumah atau ke cafe?" tanya Nichol membuka suara.
"Gue ngikut pilihan istri. Tanya aja Naura," lelah Rahsya menyandarkan punggung.
"Gimana Non?" tembak Nichol.
"Tetap pulang ke rumah," teguh Naura.
"Baik."
...
"Alhamdulillah, Non pulang selamat!" senang Bik Inem.
"Capek banget Bik. Papa ada di rumah?" the points Naura.
"Tuan Aksan lagi ketemuan sama rekan kerjanya Non," adu Bik Inem.
"Gitu."
"Den ganteng mana? Tumben enggak nongol? Pindah hidup ke planet lain?" celingak-celinguk Bik Inem.
"Ketiduran di mobil. Aku udah minta Om Nichol bangunin—"
"Tuan Rahsya susah di bangunkan," potong Nichol mengadu.
"Ndak apa-apa Tuan. Den ganteng dibangunin pawangnya aja mending Tuan masuk, istirahat di kamar tamu. Lelah juga, toh?" sambar Bik Inem.
"Non, boleh saya istirahat?" ijin Nichol.
"Silakan, Om," angguk Naura.
Pria kaku memasuki rumah. Naura putar balik mendekati mobil dan memperhatikan Rahsya yang tidur pulas di tempatnya duduk.
"Kasihan kalau dibangunin, tapi tidur sambil duduk enggak bagus buat kesehatan. Bangunin aja lah, terserah mau dimarahin juga tinggal aku balik marahin," monolog Naura.
Baru menepuk sekali pipi, Naura tersenyum canggung menjadi pemandangan pertama dilihat Rahsya.
"Kiss," manja Rahsya, pura-pura tidur.
Perintah kerasnya untuk melaporkan gagal membangunkan kepada Naura, di dengar Nichol. Hebatnya, perintahnya justru disetujui.
Naura menarik dagu Rahsya mengecup lembut bibirnya. "Bobo nya pindah ke kamar," ucapnya setelah memundurkan wajah.
"Bobo nya ditemani kamu?"
Naura mengangguk. "Iya.