Chereads / KEJEBAK CINTA / Chapter 44 - Selalu Mencintaimu

Chapter 44 - Selalu Mencintaimu

Merana duduk di tepi ranjang. Naura tak kenal bosan, lima hari berturut-turut mencuri waktu senggang meratapi cincin pernikahan yang tersemat di jari manis.

"Memasuki hari keenam, akankah kamu pulang menepati janji? Apa sebaliknya memilih setia menemani Adara? Mau sampai kapan kamu di sana, dan sampai kapan aku menanti?" monolog Naura.

"Aku sadar separuh hidupku tentang dirimu. Kehadiranmu kerap disampingku lalu hilang terpisah jarak membuatku meredam rindu sepanjang hari. Jangankan mendapat kabarmu di kejauhan sana, mendengar suara serakmu aja udah jarang kudengar lagi padahal kita berdua sama-sama menyimpan kontak telepon, tapi hingga malam ini ..." Jeda. Naura mendesah lemah. "Enggak ada sebuah notifikasi chat atau panggilan masuk darimu, emangnya kamu sesibuk apa sampai tega lupain aku di sini. Apa gunanya kita pegang handphone kalau sekedar mengirim pesan aja susah!" lanjutnya mengomel.

"Apakah menghabiskan waktu bersama Adara langsung mengubah perasaanmu terhadapku? Belum lama kita menikah tetapi secepat ini aku tersisihkan dari kehidupanmu, mudahnya kamu membuangku setelah kepercayaan kuberikan seutuhnya padamu. Miris sekali, hidupku enggak seberarti itu dalam cintamu, aku salah menilai perlakuan manismu selama ini ku terima, yang ku pikir aku lah satu-satunya perempuan paling beruntung di antara semua kenalan cewek-cewek dalam hidupmu rupanya aku termasuk salah satu perempuan berekspektasi paling tinggi kepadamu. Lucu ya, dinikahi terus ditinggal, sakitnya tak berdarah. Harusnya aku tak berharap tinggi ingin memiliki suami nyebelin kayak kamu. Sadar Naura, pernikahan ini terjadi secara kebetulan!" Naura menyela lelehan air mata.

"Siapa bilang pernikahan kita sebatas kebetulan?" tembak seseorang.

Suara familier itu ...

"Rahsya!"

Naura terkesiap, mata merah bengkaknya terpaku pada iris pekat lelaki di seberang pintu kamar yang perlahan melangkahkan kaki dengan membawa senyum manis di bibir.

"Aku kangen!" ungkap Naura.

"Aku tahu." Rahsya membantu Naura berdiri dan mencium lembut bibir mungilnya.

Sen tu han semula intens berubah agresif. Rahsya menekan tengkuk Naura memperdalam ciuman, sedangkan tangan satunya lagi meraih pinggang ramping istrinya amat posesif.

Naura tidak menolak, keinginannya melampiaskan rindu beberapa hari terpen ja ra di ruang hati akhirnya terbebaskan.

Sesudah melepas tautan, ga i rah Rahsya makin membara, Naura menggigit bawah bibir ketika Rahsya meremat pinggulnya.

"Aku mau kamu," bisik Rahsya, berat.

Naura menelan ludah malu-malu merespon pernyataan. "Aku juga mau kamu."

...

Ruangan Cafe dipadati anggota keluarga dan empat orang teman dari Asrama. Adara mengembang senyum tidak sabar bertemu kakak ipar seangkatan kelasnya dulu.

"Obat kamu tidak ketinggalan di rumah? Jika lupa dibekal Papa ambilkan dulu," ujar Pak Aksan sudah menganggap adik menantunya ini, sebagai putri sendiri.

"Ada di tas sekolah, udah di bawa Om," jawab Adara.

"Panggil Papa jangan Om terus," pinta Pak Aksan.

"Lupa Om, eh–Papa maksudnya," ralat Adara belum terbiasa memanggil dengan sebutan baru.

"Gimana kalau saya panggil Om, jadi Papa?" goda Dimas.

"Tentu. Kalian boleh panggil saya, Papa," balas Pak Aksan.

"Yeah! Gue coba manggil duluan!" heboh Kevin seraya bangkit. "Minta uang jajan, dong, Pa!" pintanya sembari menengadahkan telapak tangan.

Gibran menepuk tangan kosong Kevin yang mengambang di udara. "Malu-maluin!" ucapnya.

Tawa semua orang pecah menyaksikan tingkah Kevin dan Gibran. Pak Aksan belum henti tertawa namun tetap memberi selembar uang merah kepada Kevin. "Cash untuk kamu."

"Woah, thanks' Papa!" senang Kevin meloncat-loncat.

Kinan memutar bola matanya kesal, mengapa pula Pak Aksan memanjakan Kevin yang notabenenya anak orang lain.

"Sorry, kita berdua telat bergabung," bariton serak menimpali percakapan.

Mereka meluruskan pandangan mendapati pasangan serasi berjalan santai menghampiri. Rahsya mengecup pipi Naura sengaja memanasi tiga cowok di sini.

"Bangsat," umpat Kevin.

"Hadeuh, dasar bucin!" gumam Dimas.

"Perasaan malam ini hawanya dingin, kenapa gue kegerahan," celetuk Gibran menarik-narik kerah bajunya, seolah kepanasan oleh trik matahari di siang bolong.

"Mesra-mesraan nya di kamar aja jangan diumbar depan umum kasihan teman-teman Lo pada minat menyindir," sinis Kinan.

Rahsya tertawa pelan seumur-umur baru kali ini puas menikmati ekspresi sebal Gibran dan Kevin.

"Dengar sayang, teman kamu nyaranin kita mesra-mesraan di kamar aja sembunyi lagi, yuk?" bisik Rahsya.

Naura mencubit lengan kekar Rahsya menegurnya supaya diam tak asal bunyi.

"Ekhem!" deham Bu Salma.

Rahsya menormalkan raut wajah, membawa Naura duduk satu sofa bersamanya.

"Hai, Naura," sapa Adara tak ubah wajah riangnya mendominasi meski sesaat menonton adegan romantis.

"Apa kabar Adara?" canggung Naura.

"Baik. Kabar kamu gimana?" balik tanya Adara.

Sekilas Naura menatap Rahsya dari samping dan mengulas senyuman lembut. "Kabarku baik," jawabnya.

"Malam ini kami menginap di Sarasa Coffe. Kamu tidak keberatan Bunda dan Adara ada di sini?" the points Bu Salma.

Kejutan sungguh menyenangkan hati Naura. Entah mengapa saat kepulangan mendadak Rahsya menemuinya di kamar. Rahsya cuma senyam-senyum tanpa memberitahu bahwasanya Bu Salma dan Adara berkunjung sekaligus menginap. Juga membawa keempat teman lainnya turut diajak meramaikan tempat.

"Aku bahagia mendengarnya, tentu aja Bunda dan teman-teman sekalian di persilakan kapan aja menginap di sini, menemaniku dan Mas Rahsya," senyum Naura.

"Astaga, Mas Rahsya enggak tuh!" iri Kevin merosot duduk di tempat semula.

Dimas tergelak lagi, mengambil kue bulan dan memasukkannya ke mulut Kevin. "Ngemil aja Lo, ngenes gue liatnya!"

Kevin pura-pura menangis sambil mengunyah kue bulan membuat Dimas memangku toples kue dan memberi makan teman anehnya ini.

"Hadiah untuk kalian berdua," kata Pak Aksan meletakkan sebuah amplop kuning di atas meja.

"Segepok uang?" tebak Rahsya.

"Amplop nya saja keliatan gepeng sudah jelas isinya bukan seikat uang coba buka apa isinya, agar kami sama-sama mengetahui." Bu Salma melirik putrinya.

Adara mengangguk senang menunggu abangnya mengambil amplop untuk di buka.

"Tiket terbang ke luar negeri! Istanbul—Turki, seriusan Pa!" tercengang Rahsya menatap binar dua kartu elite khusus liburan.

"Papa bercanda," pucat Naura.

Dimas, Kevin, Kinan serta Gibran melongo kaget, sama-sama sukses dibuat membayangkan betapa asyiknya jalan-jalan di kota populer terletak di antara dua benua, Eropa—Asia, itu.

Adara mendekati pasangan muda, mengambil sebelah tangan Rahsya dan Naura lalu menyatukannya dalam satu genggaman.

"Happy holiday, my brother end my sister!"