Chereads / KEJEBAK CINTA / Chapter 41 - Selalu Mencintaimu

Chapter 41 - Selalu Mencintaimu

Ketukan pertama gesit disambut penghuni kamar. Adara membuka pintu, memeluk sayang pinggang pemuda tinggi di depannya.

"Obatnya udah diminum?" tanya Rahsya.

"Belum," jawab Adara.

Sekejap Rahsya mengecup puncak kepala Adara, kembali menyalurkan kasih sayang selama ini terpaksa dipendamnya.

"Aku bawa hidangan penutup buat kamu makan," beritahu Rahsya.

"Apa itu?" binar Adara dengan wajah menengadah.

"Kamu bisa lihat di tangan Bunda," ucap Rahsya.

Adara mengintip dari sisi bahu kanan Rahsya, mendapati sang bunda menenteng keranjang berisi buah-buahan.

"Aku mau apel!" seru Adara.

"Dimakan setelah minum obat, kalau belum minum obat, kamu enggak dapat makan itu," terang Rahsya.

"Aku mau minum obat dan menghabiskan buah-buahan!" girang Adara.

Bu Salma dan Rahsya terkekeh pelan menertawai sikap manja kekanak-kanakan Adara.

"Suplemen peningkat selera makan jangan sampai lupa diminum Adara," kata Bu Salma.

"Aku akan merawat Adara sebaik mungkin," angguk Rahsya.

"Yuk, masuk lagi ke kamar, minum obat," lanjut Rahsya.

Adara tunduk mengikuti ucapan Rahsya, lalu duduk di pinggir ranjang menunggu obat diberikan. Bu Salma meletakkan keranjang buah di sudut nakas, mengeluarkan piring kecil, garpu serta pisau mini yang tersedia dalam bingkisan kiriman Kinan sewaktu di rumah sakit.

"Mas pengen ngunyah buah juga? Bunda kupasin kalau mau," tawar Bu Salma.

"Makasih Bun, tapi perut aku masih kenyang abis minum espresso," tolak Rahsya.

"Jangan keseringan minum kopi nanti tambah susah tidur," tegur Bu Salma.

Rahsya tersenyum tidak peduli atas teguran terlambat dikatakan Bu Salma. Lagi pula, selama ini penenang ampuh dikala berada di bawah tekanan masalah selalu diatasi dengan cara mengkonsumsi kopi dan merokok. Itu sudah cukup.

Obat dianjurkan dokter lancar diminum oleh Adara tanpa adanya hambatan. Rahsya membereskan obat-obatan dan memasukkannya ke dalam plastik putih, menyimpannya ke laci nakas.

"Potong apelnya kecil dadu Bunda biar mudah dikunyah sama aku," pinta Adara.

Bu Salma mengangguk, memotong apel sesuai bentuk keinginan putri kesayangan.

"Boneka kelincinya cantik," komentar Rahsya tatkala sepasang matanya menangkap benda putih tergeletak di tempat tidur.

"Bagus kan, Mas? Aku juga suka banget lho!" sahut Adara.

Rahsya menjiwir salah satu telinga Boneka kelinci dan memegang sisi-sisi badannya menggunakan kedua tangan, tersenyum penuh arti menyadari boneka berbulu lembut ini pembelian Naura.

"Kapan membeli ini? Kamu enggak ajak-ajak keliling mall, diam-diam belanja boneka tanpa aku," sambung Rahsya pura-pura tidak tahu.

"Aku enggak pergi ke mall, boneka itu dikasih Om Aksan pas jenguk aku di rumah sakit," balas Adara.

"Om Aksan baik sekali," gumam Bu Salma.

"Sangat baik Bun! Berada di dekat Om Aksan senang banget seakan-akan aku bisa merasakan kehadiran almarhum Papa melalui sosok Om Aksan," tutur Adara.

Rahsya tertarik menyimak, memilih duduk di samping Adara sembari memeluk boneka kelinci, berusaha fokus meresap kehangatan Naura selalu ada di pelukannya meski nyatanya tengah terpisah jarak.

"Om Aksan hanya kebetulan memiliki vibrasi seperti almarhum Papa makanya kamu merasa nyaman di sekitar dia," sanggah Bu Salma.

"Entah Bun, intinya aku senang bersama Om Aksan. Kita berdua sampai dibikin asyik bertukar cerita satu sama lain padahal posisi aku dan Om Aksan terbilang asing pada awalnya tapi anehnya lama-lama aku ngerasa Om Aksan adalah seorang Papa yang baik, persis almarhum Papa! Aku jadi mikir betapa beruntungnya hidup anaknya Om Aksan punya Papa se–humble beliau," curhat Adara merasakan kesan gembira saat bercengkrama banyak hal dengan Pria jangkung berpakaian formal tempo itu.

"Dopamin, sensasi biasa dirasakan setiap individu manusia ketika mengalami kebahagiaan. Kamu berlebihan memuji Pria itu," dingin Bu Salma.

"Bunda bicara gitu karena belum pernah ngobrol langsung sama orangnya, coba udah ketemu Om Aksan dan cerita bermacam topik pasti Bunda senang juga kayak aku," kata Adara.

Bu Salma mendecih samar, sedangkan Rahsya senyam-senyum menyetujui argumen adiknya tentang kemampuan interaksi Pak Aksan. Papanya Naura memang jago, ngobrol ke arah mana pun pasti nyambung membuat lawan bicara betah bersamanya.

"Tidak mungkin kamu tak mengenali siapa putrinya Om Aksan," celetuk Bu Salma.

"Emang enggak tahu. Bunda tahu siapa anaknya?" beo Adara.

Rahsya menatap lekat iris Bu Salma melarang untuk tidak membocorkan apapun soal Pak Aksan, takut Adara serangan jantung jika mengetahui anaknya bernama Naura Natasha.

"Kenapa Mas?" tembak Bu Salma, komunikasi lewat percakapan ambigu setelah memahami arti lain tatapan putranya.

"Aku membutuhkan waktu senggang dan ruang kosong untuk mengistirahatkan diri dari jenuhnya situasi," kode Rahsya.

"Coba istirahat di perpustakaan pribadi Bunda, di sana kamu bisa membuka semua jendela dan duduk lesehan di hamparan permadani, diselingi membaca komik Hero atau menonton film action di laptop," saran Bu Salma.

"Harus ku coba. Kuharap Bunda enggak keberatan membawakan kacang almond kesukaanku," tandas Rahsya.

"Pergilah nikmati suasana hening ruang perpustakaan dan harumnya aroma lembaran buku, sebentar lagi Bunda menyusulmu membawa cemilan," tutup Bu Salma.

Boneka kelinci taruh di atas tempat tidur, sebelum melenggang pergi Rahsya mengelus singkat rambut Adara.

...

Ratusan buku terpajang rapih dijajaran lemari. Rahsya menarik keluar sebuah novel berjudul 'Camera and Action'. Kemudian membaca acak tanpa minat.

"Rasanya tidak adil menyembunyikan hal penting dari Adara," ujar Bu Salma seraya meletakkan setoples kacang almond dan sebotol teh pucuk, di meja rendah.

"Enggak sembarang asal membocorkan rahasia. Adara baru meninggalkan rumah sakit seandainya dia dikasih tahu sesungguhnya Naura merupakan putri Pak Aksan, apa Bunda menjamin Adara menerima kenyataan itu?" sahut Rahsya.

"Tidak akan terjadi apa-apa serahkan saja pada Bunda," yakin Bu Salma.

Rahsya terdiam, menutup buku dan menatap judul tebal di sampulnya, kata 'Action', membuatnya termotivasi harus segera bertindak.

"Apakah kamu dan Naura sudah melakukan hubungan suami istri?" lontar Bu Salma memecah keheningan sempat tercipta.

"Kenapa menanyakan sesuatu bersifat privasi," balik tanya Rahsya dengan nada dingin.

"Hanya sekedar memastikan bahwa kalian berdua sudah menjalani kehidupan berumah tangga, enam bulan lagi pernikahan kalian menginjak dua tahun. Apa salahnya Bunda mengetahui hal tersebut? Tinggal jawab antara iya atau belum. Setiap Ibu berhak mengetahui perkembangan pernikahan anak-anaknya, mereka sangat mendambakan seorang cucu lahir dari rahim menantunya," jelas Bu Salma.

"Aku enggak ngerti cucu apa yang sedang dibahas Bunda," gumam Rahsya.

"Bayi. Bunda membicarakan kapan kamu mencetak keturunan?"

Rahsya menyandarkan punggung di lemari, melamunkan hubungannya dengan Naura.

"Kapan kamu memberi cucu untuk Bunda?" tembak Bu Salma.

"Enggak tahu."

"Kamu dan Naura belum melakukan hal itu?" lirik Bu Salma.

"Belum."

"Kenapa? Apa hambatannya kamu belum siap menjadi ayah?" curiga Bu Salma.

Rahsya menegakkan tubuh, menyimpan Novel dicelah semula dan menegaskan jawaban. "Alasanku bukan itu, namun nanti setelah aku menyelesaikan masalah pribadiku, aku dan Naura akan sesegera mencetak kecebong."

Bu Salma terbatuk senang, mengetahui fakta mengejutkan Rahsya dan Naura belum saling menyentuh selayaknya pasangan telah menikah.