Chereads / KEJEBAK CINTA / Chapter 39 - Selalu Mencintaimu

Chapter 39 - Selalu Mencintaimu

(1+L+0+V+3 plus n+@+u+r+4= ...+...)

x/y=?

Question: Aku, suka Naura. Tetapi, ada Rahsya.

x/y= Rahsya winner.

Gibran menunduk sebentar lalu mengangkat wajah, mengaku kalah bersaing dengan Rahsya.

"Minum kopi apa? Gue seduhin," tawar Rahsya meski kondisi tubuhnya sedang tidak fit, tanggung jawabnya melayani pengunjung tetap dilaksanakan.

"Gue belakangan. Dahuluin Kevin sama Dimas," kata Gibran.

"Nah, itu tahu minggir sana, gue pesan duluan!" ujar Kevin menggeser pijakan ke depan.

"Pakai topi hitam makin cakep aja Lo, udah cocok jadi barista asli!" puji Kevin.

Rahsya membetulkan topi berlagak pamer dan tersenyum miring. "Mau pesan apa?" tanyanya.

"Americano Coffe."

"Kalau Dimas?" lanjut Rahsya.

"Entar aja kayak Gibran. Gue mau merhatiin seberapa profesionalnya seorang Sangga Rahsya menguasai skill menyeduh kopi," sahut Dimas.

"Sialan."

Kevin dan Dimas tergelak tawa, sedangkan Gibran tersenyum tipis diam-diam menutupi perasaan sedih hatinya.

Pemuda bertopi hitam memakai kaus putih berlapis kemeja kotak-kotak yang tidak dikancingkan itu, mulai beratraksi.

Gibran mundur teratur menjauhi teman-temannya, mengendap-endap mencari Naura dan menemukannya di dapur tampak sibuk memasak.

"Lagi ngapain?" basa-basi Gibran.

Terlonjak kaget, Naura hampir menjatuhkan serokan berisi penuh gorengan pisang jika saja Gibran tidak cekatan maju ikut menahan gagang serok di tangan.

Naura mendongak, menatap Gibran yang sedang menatapnya juga hingga tak menyadari bahwa sudah tak ada jarak diantara mereka berdua.

"Eh, maaf!" ucap Naura tersadar punggungnya menempel di dada bukan suaminya.

Gibran pura-pura batuk guna menghilangkan kecanggungan tiba-tiba menyergap. "Gue haus boleh minta minum?" alasannya.

"Kamu enggak diseduhin kopi oleh Rahsya?" tanya Naura melempar keheranan.

Berdeham samar, Gibran menelan ludah alasan klasiknya dicurigai.

"Dibikinin kok, cuma nunggu antrian Kevin dan Dimas, karena tenggorokan gue udah kering pengen cepat-cepat dibasahi air, nyari aja ke sini siapa tahu dapat segelas air putih," jelas Gibran.

"Oh gitu. Minumannya dingin atau panas?" tawar Naura.

"Dingin aja biar cepat segar," pilih Gibran.

Meniriskan pisang goreng agar minyaknya turun. Naura mendekati kulkas mengambil poci kaca isi teh manis dan menaruhnya di meja makan lalu menuangkan air dinginnya kedalam gelas berkaki panjang.

"Minumannya Gib," ucap Naura.

"Boleh sekalian nyicip pisang goreng? Perut gue laper," cengir Gibran.

"Namanya juga buat kalian ambil aja," balas Naura.

Mengambil sepotong pisang goreng dan memakannya, Gibran menghampiri mengangkat gelas suguhan Naura lalu menyeruput teh dingin.

"Lo pandai masak, beruntung banget Rahsya dapatin Lo," celetuk Gibran.

Naura mematri senyum, kembali lagi menghadap wajan panas berisi gorengan pisang setengah matang.

"Menurut pandanganmu, Kinan gimana?" cakap Naura mengantikan topik pembicaraan.

"Kenapa melenceng ke dia? Pembahasan gue barusan tentang Lo sama Rahsya belum selesai," ralat Gibran.

"Aku dan Rahsya enggak perlu diulik lagi. Semua orang tahu gimana kisahku dengan dia, sekarang enggak menarik seperti pertama kali kita berdua saling mengenal. Kalaupun ada sekelumit penasaran dibenak orang lain, sebelum melontarkan tanya padaku, mereka lebih dulu mengetahui jawabannya," tutur Naura.

"Gue punya satu pertanyaan yang susah gue dapatkan jawabannya, apa Lo bisa jawab?" Gibran menggunakan kesempatan untuk menggali perasaannya lebih dalam.

"Apa yang ingin kamu tahu?" tanya Naura.

"Lo ingat percakapan belum rampung terakhir kita saat di kelas?" tembak Gibran.

"Aku lupa yang mana."

"Waktu Rahsya menyerahkan secarik kertas kemudian disobek sama Lo. Sebelum itu, gue sempat debat sama Lo prihal sebuah pertanyaan tak terucap oleh gue, dan Lo maksa ingin tahu dengan ngototnya bisa jawab pertanyaan gue," terang Gibran.

"Oh, ingat! Jadi, apa pertanyaannya?"

Perempuan itu selalu menggemaskan. Gibran memindai Naura yang tumbuh langsing semampai, gaun kuning sebatas lututnya memperlihatkan betapa putih mulusnya sepasang kaki.

"Semoga hubungan Lo dengan Rahsya langgeng," ucap Gibran.

"Lho, Gib, bukannya mau nyambung obrolan lama?" panggil Naura seraya nengok.

"Enggak jadi, udah lewat kadaluwarsa."

Usai mengatakan itu, Gibran pergi mengemas rasa sukanya terhadap Naura sebab tahu sampai kapanpun perasaannya takkan terbalas.

Naura mematikan kompor, berlari mengejar Gibran untuk dimintai kelanjutan bahasan tahun lalu.

"Pembicaraan kita belum selesai, Gib!"

Seruan kencang Naura mengejutkan perkumpulan tiga lelaki di salah satu meja dalam ruangan Cafe. Sementara Gibran mematung di ambang masuk ketika lengannya di cekal.

Rahsya tidak suka memergoki Naura sembarang pegang cowok lain membuat hati tenangnya tersenggol panas.

"Besok kepulangan Adara. Gue akan menjemputnya, ada kemungkinan mengharuskan tinggal beberapa hari di rumah bunda," putus Rahsya.

"Sekalian Lo siapin perlengkapan sekolah Adara buat semester dua," peringat Kevin.

"Pasti."

Pegangan Naura pada tangan Gibran terlepas. Apa katanya, Rahsya berencana menemani Adara?